Permainan berbahaya

1153 Words
Catatan medis itu mengatakan segala hal tentang Dirgantara. Bagaimana ia menjalani terapi selama bertahun-tahun tapi tidak menghasilkan apapun. Obat-obatan pasti sudah membuatnya muak hingga bersedia menerima bantuan dari orang sepertiku. Selain trauma atas kasus kecelakaan, Dirgantara memang pada dasarnya sudah mengalami imsomnia dari kecil. Hanya saja bertambah parah setelah dewasa. Aku tahu kalau hidup orang kaya dipenuhi oleh tekanan. Apalagi jika harus menjadi ahli waris yang dituntut untuk mempertahankan harta turun temurun. Mereka akan dinilai oleh ribuan mata penjilat sekaligus musuh dalam selimut. Pantas saja saat ada kasus hukum yang menjeratnya, mental Dirgantara langsung down. Ada kemungkinan dia tidak mendapat dukungan dari siapapun. "Apa ini?" tanya Dirgantara memicing. Ia baru selesai mandi dan rambut lembabnya masih sedikit basah. Andai diperbolehkan aku ingin mengambil pengering untuk menyapu helaian rambutnya. Tapi semua itu harapan kosong belaka. "Teh jahe. Minumlah, agar badanmu hangat" sahutku hati-hati. Kebetulan tadi aku mendengar suaranya serak. "Aku tidak suka teh," tolaknya sedikit ketus. Mata tajamnya melirik, memberi tatapan sebal. "Kalau begitu tidak usah diminum," ucapku enteng. Dirgantara terpaku sinis,"jadi sebenarnya apa maumu?" "Aku tidak suka memaksa. Jadi, tolak saja apapun yang membuatmu tidak nyaman." Aku menarik maskerku ke atas untuk menyembunyikan kekecewaan. Banyak alasan kenapa Dirgantara sulit untuk menerima kebaikan orang lain. Dari rekam medis aku tahu, ia melalui banyak kesendirian setelah ibu kandungnya meninggal. Dirgantara menggelengkan kepalanya sebentar kemudian bersiap untuk merebah di atas ranjang. Hari ini, ia memakai baju tidur warna putih dengan dua kancing yang sengaja dilepas. Mungkin itu sebuah kebiasaan. Tapi meski sudah menahan mataku untuk tidak melihat, tetap saja aku mencuri kesempatan untuk menatap dadanya yang bidang. "Tunggu, rambutmu masih basah," ucapku tanpa sadar. Aku khawatir kalau pendingin ruangan akan membuatnya sakit kepala. "Biarkan saja. Aku sengaja melakukannya agar cepat tidur." Dirgantara mengibaskan tangan dengan tidak sabar. "Jadi kamu rela menyakiti diri sendiri?" gumamku sedikit menusuk. "Jangan bicara seolah aku punya penyakit mental. Dengar, keluarkan jam di tanganmu dan cepat hipnotis aku," ancam Dirgantara melebarkan mata. "Kalau terlalu sering melakukan hipnotis, efektifitasnya akan berkurang. Bagaimana kalau kita ngobrol dulu?" "Tidak. Aku tidak suka menghabiskan waktu untuk hal yang sia-sia," decih Dirgantara meninggikan suara. "Sikapmu itu adalah penyebab kenapa imsomniamu semakin akut. Biar kutebak, saat menjalani terapi di rumah sakit, kamu pasti tidak mau mengikuti prosedur dengan benar, bukan? Kalau tetap keras kepala, hipnotis dariku tidak akan bertahan lama. Pada akhirnya, semua bertambah buruk dan sia-sia," ucapku serius. Kali ini aku berusaha menyingkirkan perasaan pribadi. Akulah yang salah karena melihatnya sebagai pria dewasa. "Jadi kamu tidak mau memakai hipnotis?" tudingnya kesal. "Aku tetap akan melakukannya, tapi setelah kamu berbagi satu hal. Katakan apa saja, misal sesuatu yang menganggumu hari ini." Dirgantara terdiam sebentar, terlihat enggan. "Tidak ada yang special." "Pasti ada. Kamu terlambat pulang hampir satu jam tadi," tebakku asal. Tapi ucapan itu berhasil menarik Dirgantara. "Ini rahasia perusahaan. Aku tidak bisa membaginya dengan orang luar," kilahnya bersikeras. Aku menghembuskan napas kesal. Kapan kira-kira batu di kepalanya pecah? Kalau terus begini, ujung-ujungnya aku yang akan dipersalahkan. Terutama oleh Sisil. "Oke, begini saja. Apapun masalahmu itu, coba taruhlah di telapak tangan lalu hancurkan. Anggap saja kamu sudah menyelesaikan harimu dengan baik." "Itu sulit." "Gampang kalau kamu mau berkhayal sedikit," bisikku menaruh jemariku di depan wajahnya. Di saat yang sama, tatapanku tanpa sengaja tertambat pada rahang kuat Dirgantara. Posisi kami memang tidak seberapa jauh hingga pendengaranku kadang bisa menangkap deru napasnya. Saat itulah bulu kudukku tersadar lalu meremang. Saking kuat sensasinya, aku harus mundur karena takut ketahuan. Tapi terlambat, mata tajam Dirgantara memicing curiga. "Aku tidak suka caramu melihatku," ucapnya tiba-tiba. Tatapannya menguat, mengurung pergerakan mataku yang sejak tadi berlarian cemas. "Apa?" bisikku tercekat takut . Jangan-jangan ia sadar? Sejak kapan? Dirgantara seketika bangkit, mendekatkan wajahnya sembari mengeratkan gigi. Hal itu membuatku nyaris tidak bisa bernapas. Jantung ini serasa ingin meledak. Dia kasar, tidak ramah tapi kenapa begitu menggairahkan? Aku pasti sudah gila. "Aku tidak akan mengulang perintahku lagi. Hipnotis atau lakukan apapun. Aku muak dengan teori." Dirgantara menarik kerah blouseku sebentar sebelum akhirnya mendorongku ke belakang. Sikap kasar itu nyatanya tidak menakutkan. Aku justru semakin gugup karena sempat merasakan sentuhan singkat pada leherku. Parfumnya tercium dan membekas di helaian blouse. "Ba-baiklah," gumamku menunduk pasrah. Lagi-lagi aku terpedaya. Seringai Dirgantara justru memancing semburat merah di pipiku. Dadaku pun ikut memanas karena terpatik gairah yang tidak perlu. Di malam lain juga malam-malam berikutnya, aku akan memanfaatkan tiap moment dengan pendekatan seperti siput. Lambat, tapi berhasil sampai tujuan. Aku yakin kalau agresif, harga diriku akan diinjaknya hingga ke dasar bumi. Sebelum menikah, sebelum Dirgantara resmi menjadi milik Sisil, aku ingin menyentuh tangan, wajah dan bibirnya. Sekali saja. --- Siang itu, pabrik kain sedang dalam situasi tidak kondusif. Sejak pagi hingga istirahat makan siang, aku mendengar banyak desas-desus tentang kecelakaan yang terjadi kemarin. Dari sekian gosip, yang paling membuat hatiku was-was adalah pemanggilan. Bagaimana kalau nanti aku akan berhadapan langsung dengan Dirgantara? Walau biasanya masalah seperti itu hanya sampai di bagian humas, tapi aku tetap khawatir. Tahun lalu ada kejadian serupa dan nyatanya tetap diselidiki langsung hingga atasan. Maklum, dana untuk memberi santunan pada kasus seperti itu cukup besar. "Nad, kamu dicari sama Pak Dibyo. Sudah ketemu belum?" tanya salah satu teman kerja yang kebetulan bertemu denganku di pintu keluar kantin. Saat itu aku tengah bersama Menik. "Astaga, jangan lagi," keluh Menik menggerutu kencang. Sudah jelas, kami akan ditanyai banyak hal. Sulit bagi perusahaan untuk mengeluarkan asuransi kalau kecelakaan kerja disebabkan oleh human error. Jadi nantinya akan ada penyelidikan panjang. Namun, tentu saja bukan itu yang aku takutkan. Tidak peduli seberat apapun aku ditekan oleh kepala bagian, bagiku asal jangan sampai Dirgantara melihatku. Bukan masalah ketahuannya, tapi aku ragu bisa bersikap natural. Benar saja, tak berapa lama kemudian sosok Pak Dibyo datang. Pria bertampang menyebalkan itu langsung menyuruhku ikut dengan omelan khasnya. Semua orang yang bekerja di bawah pengawasannya sudah hapal kalau ia cenderung mencari-cari kesalahan. Bahkan seringnya terkesan mengada-ada. Aku yakin, Pak Dibyo adalah tipe penjilat yang haus pujian dari atasan. "Nadira, mau aku beri saran?" ucapnya di sela langkah kaki kami. Menik tidak ikut karena ia punya giliran sendiri. "Ah, iya pak dengan senang hati," sahutku sopan. "Berikan jawaban untuk keuntungan karirmu sendiri. Aku berjanji akan mengangkatmu sebagai pegawai tetap kalau bersedia menjaga keutuhan tim kita. Kamu tahu kan? Ini bukanlah human error. Seorang teknisi pemula salah meletakkan skrup, jadi mesin pemotong itu kendor sedikit. Dengar, aku, kamu juga semua orang akan terkena sangsi. Jadi, cukup saja berlagak jadi orang bodoh. Bilang tidak tahu." Pak Dibyo mendekat sembari berbisik padaku. Sebenarnya yang bodoh aku atau dia? Aku benar-benar tidak tahu sampai dia membongkar boroknya sendiri padaku. Tunggu, bukannya ia punya keponakan di bagian tekhnisi? Jangan-jangan yang sedang ia lindungi keluarganya sendiri? "Ngomong-ngomong siapa yang akan memeriksa saya?" "Bagian humas dan atasan." "Atasan?" "Anak Pak Budiman, Dirgantara." "A-apa?" ucapku membeliakkan mata. Bukan hanya lidahku yang nyaris tergigit, tapi sekujur kakiku serasa beku dan ingin melarikan diri. Tapi kabur memangnya efektif? Akulah yang sejak awal nekad masuk ke dalam permainan berbahaya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD