Proses Menuju Bucin

1302 Words
Rumaysha mengerjapkan matanya saat merasa kalau ada sesuatu yang melingkari pinggangnya. Dia melirik sebelah kirinya. Ada Ardan yang masih terlelap. Dengan perlahan dia berusaha melepaskan tangan Ardan dari pinggangnya. Diliriknya ponsel miliknya untuk melihat jam, ternyata sudah pukul setengah tiga pagi. Nyatanya sekali pun semalam dia dan Ardan tidur begitu larut karena banyak bercerita, jam bangunnya tetap pada pukul setengah tiga pagi. “Rasanya kayak mimpi,” celetuk Rumaysha begitu pelan. Jika biasanya dia hanya mendapati guling saat bangun tidur, kali ini ada Ardan di sampingnya. “Jam berapa?” tanya Ardan membuat jantung Rumaysha berdebar karena terkejut. Semenjak memutuskan hijrah tepatnya 2 tahun lalu, Ardan memaksakan dirinya yang biasanya jam 6 baru bangun untuk bangun sangat awal. Saat pertama kali melakukannya semua terasa begitu berat, tetapi setelah terbiasa, semua itu jadi hal yang mudah untuk Ardan. Tanpa alarm sekali pun tubuhya hafal kapan jadwal dia bangun. “Masih jam setengah tiga, Kak.” Semalam, keduanya membuat program PDKT alias pendekatan. Atas usulan Ardan, keduanya membuat sebuah catatan tentang masing-masing. Nantinya Ardan akan menulis tentang Rumaysha, begitu juga sebaliknya. Dimulai dari apa yang disuka dan apa yang tidak disuka. Kemudian, berlanjut ke makanan favorit, warna favorit, dan style yang disuka. Tidak hanya itu, mereka juga sampai membuat jadwal. Mengingat Ardan begitu sibuk dengan kuliah juga pekerjaannya. Oleh karena itu, Rumaysha berinisiatif mengatur jadwal kencan mereka setiap akhir pekan. “Kamu lagi libur sholat, ya?” tanya Ardan dengan mata yang masih tertutup. “Iya, Kak Ardan mau sholat? Biar aku siapin deh,” kata Rumaysha. Ardan mengangguk, dia masih setengah sadar sebenarnya. Dengan langkah sempoyongan dia berjalan menuju kamar mandi. “Kak, jalannya jangan merem.” Rumaysha menatap ngeri ke arah suaminya yang berjalan sambil memejamkan matanya . “Enggak merem kok, May–“ Dug! Mata sipit Ardan seketika terbuka lebar-lebar saat keningnya menghantam pintu kamar mandi. Ringisan kesakitan keluar dari bibirnya. Sontak saja Rumaysha langsung menghampiri suaminya. Dengan lembut dia mengusap kening Ardan. “Duh pasti sakit ini,” ujar Rumaysha dengan raut wajah khawatir. “Iya, nih, sakit banget,” ringis Ardan melebih-lebihkan. Niatnya sih mau caper sama istri sendiri. “Pakai apa ya biar gak sakit?” Rumaysha masih belum sadar kalau dia dikerjai Ardan. “Coba, deh, tempelin bibir kamu di bagian kening aku yang kejedot, katanya sih lipstik bisa nyembuhin.” Ardan menahan senyumnya. “Gitu? Aku coba deh,” ujar Rumaysha polos. Dia tidak sadar kalau dia sendiri tidak mengenakan lipstik. Semalam dia hanya mengenakan lip mask yang mungkin saja sudah hilang entah ke mana. Ardan mengangguk sambil tetap mempertahankan ekspresi kesakitannya. “Alhamdulillaah rezeki pagi. Dapet vitamin C dari istri,” ujar Ardan disertai senyum jahil. Seketika Rumaysha sadar ternyata Ardan mengerjainya. “Kak Ardan ih!” “Kenapa?” Ardan menaik turunkan alisnya membuat Rumaysha kesal sekaligus malu. “Gak tau, males!” Rumaysha meninggalkan Ardan dan memilih menenggelamkan tubuhnya di dalam bed cover. “Kamu marah?” Ardan bergegas menghampiri istrinya. Siaga satu kalau di hari pertama mereka menjadi sepasang suami istri, dia sudah membuat Rumaysha marah. “Aku gak marah, tapi malu!” rengek Rumaysha membuat Ardan tertawa gemas. “Ya udah iya. Kamu gak mau lihat aku nih?” Rumaysha tidak menjawab. “Gak gitu, tapi malu aja.” Ya Allah, tolong kuatkan iman hamba, batin Ardan saat melihat tingkah istrinya yang begitu menggemaskan di matanya. “Istri,” panggil Ardan sambil turut bergabung ke dalam bed cover, lalu memeluk Rumaysha. Diperlakukan seperti itu membuat pertahanan Rumaysha goyah. Pada akhirnya dia menikmati pelukan hangat Ardan. “Tidur aja lagi,” bisik Ardan. Mata Rumaysha terasa memberat tanpa sadar. Hal ini membuat Rumaysha kesulitan membuka matanya. Dia pun tertidur dalam dekapan Ardan. “Gemes banget sih.” Ardan mengelus puncak kepala Rumaysha. Lalu melepaskan diri dari Rumaysha secara perlahan dan memutuskan untuk melaksanakan qiyamul lail. Ardan memutuskan untuk langsung mandi dan bersiap ke subuh bersama Zayn juga Papa mertuanya. Sembari menunggu waktu subuh dia melaksanakan sholat sunnah tahajud beserta witir satu rakaat yang dilanjut dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Ketika adzan subuh tiba, Ardan memutuskan untuk mengajak Zayn ke masjid. “Pagi amat,” komentar Zayn membuat Ardan terkekeh. “Napa sih ni jomblo sewot banget perasaan,” ejek Ardan. “Songong ye lo!” kesal Zayn yang mendapat tawa kecil dari Ardan. “Dede mu itut!” Zayn memejamkan matanya. Kenapa si bocil sudah bangun, sih? Zayn melirik ke arah Aysar yang ada dalam gendongan Rafan. Anak batita itu mengenakan baju koko beserta kacamata hitam. “Iya Dede ikut sholat sama Papa sama Abang,” kata Rafan. “Abang danteng! Mana Tata?” “Masih tidur Kakaknya,” jawab Ardan membuat Zayn menatap sahabat yang kini sudah jadi adik iparnya. “Ya udah yuk berangkat!” Lebih baik mereka segera berangkat. Daripada nantinya Aysar malah bertanya-tanya hal yang membuat pusing kepala. Pagi harinya, selepas terbit fajar Rumaysha terbangun dari tidurnya. Gadis itu meregangkan tangannya yang terasa amat pegal. Matanya membulat saat mendapati Ardan sudah tidak ada di kamarnya. Sekarang sudah pukul setengah enam pagi lewat. Sepertinya Ardan belum pulang dari masjid. Rumaysha bergegas merapikan kasur lalu membersihkan dirinya. Selesai mandi dan berpakaian. Dia memutuskan untuk pergi ke dapur untuk membantu ummanya. “Tumben siang,” goda Maika. “Aku ketiduran, Umma,” rengek Rumaysha yang paham dengan maksud Umma. “Oh ketiduran toh.” “Umma ...” Maika tertawa. Dia mencubit pipi chubby putrinya. “Haha, iya-iya Umma percaya deh. Umma minta tolong, ini tolong dipotongin bakso, wortel sama timurnya. Umma mau buat nasi tim buat Aysar. Kamu masak nasi gorengnya.” Rumaysha menuruti ucapan ummanya. Dia mulai memotong bahan-bahan yang digunakan untuk membuat nasi goreng kecap spesial yang terdiri dari bawang merah, cabai merah, sedikit bawang putih, bakso, telur. Ada juga timun dan wortel untuk acarnya. “Tata! Mana adik bayina?” tanya Aysar penuh semangat. Kata Umma, Rumaysha tengah menyiapkan adik bayi lucu untuknya. “Adik bayi?” Rumaysha mengernyitkan keningnya karena masih belum paham dengan apa yang Aysar maksud. “Adik bayi, Tata! Nang nangis-nangis. Bayi puna Tata sama Abang danteng,” jelas Aysar kesal. Dia berusaha mengingat penjelasan Maika soal adik bayi yang akan diberikan Ardan dan Rumaysha. Makanya semalam waktu ingin memainkan lampu yang ada aroma terapi di kamar Rumaysha, Aysar urungkan. Ardan dan Rumaysha saling bertatapan. Seketika pipi Rumaysha langsung merah. Tak jauh beda dari Rumaysha, telinga Ardan juga ikut merah. Niat hati ingin menemui istrinya juga menyapa Ibu mertuanya, eh malah dapat pertanyaan dari bocah kecil. “Bocil, ini cupangnya kenapa mati?” gerutu Zayn saat melihat salah satu cupang kesayangannya mengambang tak bernyawa. “Ail na bau. Dede silam minyak wangi puna Abang, bial wangi. Itu ikan na agi tidul,” kata Aysar membantah Zayn. Mendengar itu sontak saja aliran darah Zayn terasa naik. Dia ingin marah. Sangat-sangat marah. Apa tadi katanya? Tidur? Jelas-jelas cupangnya mengeluarkan darah dengan kondisi tubuh mengambang. “Ya Allah, saya gak boleh marah. Saya penyabar boy. “ Zayn merapalkannya berulang kali. “PAPA NIH ANAK TERSAYANGMU, MATIIN CUPANG ABANG!” kesal Zayn pada akhirnya. Dongkol sekali rasanya. Sepanjang acara sarapan, Zayn bad mood. Sudah cupang kesayangannya yang bernama ‘Mimin’ mati, sekarang dia harus dihadapkan dua versi keuwuan halal. Melihat Ardan yang diambilkan nasi oleh Rumaysha, begitu juga Papa yang diambilkan nasi oleh Umma. “Blo, tolong ambil mamam Dede!” titah Aysar membuat Zayn mendengus. “Iya da aing mah apa atu!” Rafan dan Ardan menertawakan kesewotan Zayn. “Dua tahun lagi, Boy. Sabar,” kata Rafan. Zayn tidak menjawab. Kepalang bad mood. “Dahlah, mau jadi mermaid aja,” jawab Zayn asal. “Dede mu itut!” “Ikut mulu maneh!” kesal Zayn membuat Aysar merasa sakit hati karena dibentak. “Huaaa Umma, abangna dahat!” Tolong berikan Zayn kesabaran setinggi gunung. Biar dia bisa kuat menghadapi Aysar beserta keuwuaan di sekitarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD