Ketika sepasang suami istri memiliki hubungan yang baik dengan Rabb-nya, maka baik pula hubungan keduanya. Hanya ada keharmonisan dan keimanan yang mewarnai rumah tangga mereka. Rumaysha berjalan mendahului Ardan. Dia sedikit kikuk saat membuka pintu kamarnya.
"Masuk, Kak," kata Rumaysha. Ini pertama kalinya ada laki-laki selain Abang, Aysar, dan Papa memasuki kamarnya. Terkadang Abang saja suka dia usir karena risih.
"Kamu suka warna biru?" tanya Ardan saat menyadari kalau warna dinding beserta benda-benda lainnya seperti sprai hingga jam berwarna biru.
"Iya hehe," jawab Rumaysha dengan sedikit kekehan.
Rumaysha membuka lemarinya. Dia mengeluarkan handuk cadangannya untuk dia serahkan pada Ardan yang asyik menatap hiasan kamar buatannya. Dia sendiri sudah mengganti pakaiannya dengan gamis berwarna biru beserta hijab senada yang panjangnya mencapai perut karena gaun pernikahannya terasa kurang nyaman.
"Mau mandi dulu, Kak?"
"Iya nih gerah," jawab Ardan mencoba santai meski sebenarnya dia pun gugup.
"Bajunya di mana? Biar aku siapin."
"Itu di kotak hantaran yang itu, Mama sengaja beliin yang couple." Rumaysha mengambil kotak yang ditunjuk Ardan. Senyumnya mengembang kala mendapati 2 pasang piyama berwarna coklat moka dengan motif kotak kecil-kecil.
"Aku mandi duluan, ya?"
"Iya, Kak, duluan aja. Aku–eh kok di sini!" Rumaysha menutup wajahnya saat mendapati Ardan tengah membuka kemejanya. Pipinya langsung bersemu. Melihat istrinya yang malu, Ardan terkekeh kecil.
Dia langsung berjalan menuju kamar mandi.
"May!" panggil Ardan dari dalam.
"Iya, Kak?"
"Boleh minta tolong ambilin sampo aku gak? Di tas aku," pinta Ardan.
Rumaysha mengambil tas Ardan. Tidak lama waktu yang dia butuhkan untuk menemukan barang yang dimaksud suaminya. Dengan langkah gemetar, Rumaysha berjalan ke arah pintu kamar mandi.
"Masuk aja, May!" Rumaysha memberanikan diri membuka pintu sambil menutup matanya.
"Ini, Kak," panggil Rumaysha dengan pelan.
"Mana?"
"Ini, Kak." Rumaysha jadi gemas sendiri. Sebab Ardan seperti sengaja melama-lamakan langkahnya. Padahal Rumaysha ingin supaya sampo di tangannya segera diambil. Dengan santai Ardan menghampiri Rumaysha meski bagian atasnya tak terbalut apa pun. Mata Rumaysha membulat seketika.
"Huaa–hmmpfttt." Hampir saja Rumaysha berteriak. Untung Ardan menutup mulut Rumaysha. Bahaya kalau sampai terdengar keluar.
"Ssssst, gak usah panik, ya?" Rumaysha menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan Ardan.
Rumaysha menatap Ardan yang kini juga menatapnya. Pipinya langsung bersemu. Ditatap saja sudah membuatnya lemas. Satu detik, dua detik hingga sepuluh detik keduanya masih asyik bertatapan. Merasa kalau terus-terusan begini tidak baik untuk jantungnya, Rumaysha memutuskan pandangannya lebih dulu. Bayangkan saja, di sini keadaannya Ardan shirtless. Apa tidak jantungan dia melihat keenam roti sobek yang menempel di perut suaminya itu?
"A-aku mau hapus make up dulu," kata Rumaysha sambil melepaskan dirinya. Ardan tersenyum canggung.
"Eh iya, maaf," jawab Ardan sambil berdeham kaku. Dia melepaskan tangannya dari pinggang Rumaysha.
Keluar dari kamar mandi, Rumaysha menggigit kukunya dengan gemas. Wanita berjilbab biru itu berusaha menetralkan detak jantungnya setelah insiden tadi. Dengan sisa kewarasannya, Rumaysha memilih menghapus make up yang masih menempel di wajahnya. Dia jadi kepikiran. Haruskah dia melepas hijab di hadapan Ardan? Jujur saja dia masih sangat malu. Dia berusaha membiasakan dirinya untuk berinteraksi bersama Ardan. Laki-laki yang sejak 4 jam lalu menjadi suaminya.
Oh iya, dia sedang berhalangan. Jadi sewaktu suaminya sholat berjama'ah, Rumaysha lebih memilih mengganti pakaian dan membuka kado di kamarnya yang lumayan banyak.
Setelah semua make up-nya terhapus oleh micellar water, Rumaysha memutuskan untuk melepas hijabnya. Ketika ikat rambutnya dilepas, rambut hitam legam panjangnya terurai dengan indah. Ardan yang membuka pintu dibuat terpana dengan pemandangan itu. Jantungnya berdebar. Ini kali pertama dia melihat Rumaysha tampa hijab. Ternyata istrinya itu amat cantik. Beruntung sekali dia mendapat Rumaysha.
"Eh maaf," ucap Ardan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Gak apa-apa, Kak." Rumaysha menundukkan kepalanya.
"Aku mau mandi dulu," kata Rumaysha bermaksud meminta Ardan menyingkir dari depan pintu kamar mandi. Dia hanya mampu meremas piyama beserta keperluan pakaiannya.
Alhasil keduanya malah berdiri di hadapan pintu kamar mandi.
"Eh astaghfirullah, maaf," sesal Ardan.
Silakan dihitung, berapa kali Ardan meminta maaf ketika dia melakukan sesuatu yang tak pernah dia lakukan pada Rumaysha sebelumnya.
Rumaysha menangis. Dia juga tidak tahu kenapa malah menangis. Perasaannya begitu sensitif. Mungkin pengaruh datang bulan juga.
"Maaf, Kak Ardan. Aku masih belum terbiasa. Maaf kalau ngebosenin," sesal Rumaysha.
Ardan langsung menghampiri istrinya. Dia meraih tangan Rumaysha. "Aku yang harusnya minta maaf, aku tau ini semua pasti gak mudah. Jadi sebelum ke tahap lainnya. Aku pengen kamu benar-benar nyaman sama aku. Kamu gak usah takut, aku gak gigit kok. Udah, ya, jangan nangis. Jangan minta maaf juga. Sekarang kamu mandi, habis itu kita istirahat," ucap Ardan dengan lembut. Dia memberanikan diri mengelus puncak kepala Rumaysha yang tak terbalut apa pun.
Rumaysha mengangguk patuh. Dia bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Melihat Rumaysha yang sudah masuk ke kamar, Ardan langsung menjatuhkan badannya ke kasur. Laki-laki itu memeluk guling Rumaysha dengan girang. Ah, rasanya begitu membahagiakan sekali.
Ardan mengambil kacamatanya. Dia lupa kalau beberapa hari lagi akan ada ujian semester. Meskipun agak pemalas, dia tidak boleh malas-malasan lagi. Apalagi, sekarang sudah ada penyemangat hidupnya. Saking seriusnya Ardan membaca materi kuliah, dia sampai tidak sadar kalau waktu sudah berlalu lima belas menit lamanya. Rumaysha pun sudah selesai mandi.
Di kamar mandi, Rumaysha menatap pakaiannya dari atas ke bawah. "Kok punya Kak Ardan lengan panjang? Yang aku malah lengan pendek.”
Sebenarnya, Rumaysha merasa ragu untuk keluar. Namun, perempuan itu tidak mungkin terus-terusan berada di kamar mandi. "Bismillah aja deh."
Rumaysha membuka pintu kamar mandi. Senyumnya tertahan saat mendapati Ardan tengah membaca buku. Lihatlah, bagaimana tampannya laki-laki itu. Masyaallah.
"Kak, laper gak?" tanya Rumaysha.
"Eh udah beres. Iya, sih, agak," jawab Ardan. Laki-laki itu langsung meletakkan bukunya,tanpa melepas kacamata yang dia kenakan.
Rumaysha menatap dispenser yang tersedia di kamarnya. Dia punya dua mie cup rasa soto, kira-kira Ardan mau tidak, ya?
"Aku ada mie cup, mau gak?" tanya Rumaysha.
Ardan mengangguk. "Wah boleh tuh, udah lama juga aku gak makan mie," jawab Ardan.
Dengan semangat Rumaysha mengambil mie cup-nya. Dia mulai menuangkan bumbu untuk mie-nya juga Ardan. Selesai memasukkan bumbu, Rumaysha memasukkan air panas ke dalam cup pop mienya. "Eh ada yang mau aku bahas." Ardan tiba-tiba berucap. Rumaysha menatap suaminya.
"Kita kan udah nikah, ini waktunya kita buat bangun keluarga kita sendiri. Semisal aku ajak kamu pindah ke rumah mama yang sekarang aku tinggalin sendiri. Gimana? Mungkin ini enggak aku beli pakai uang aku, karena untuk saat ini rencananya uangnya mau aku alokasiin buat biaya kuliah kamu," terang Ardan membuat mata Rumaysha berkaca-kaca.
"Kalau semisal memberatkan Kak Ardan, gak usah Kak. Aku gak kuliah juga gak apa-apa," ujar Rumaysha.
Mungkin saat itu ambisinya untuk kuliah begitu besar, dia tidak menampik kalau menuntut ilmu amatlah penting. Apa lagi usianya yang masih begitu muda. Masih sangatlah butuh mencari banyak pengalaman dan ilmu untuk bekal hidup.
"Gak bisa gitu, Sayang, pendidikan kamu penting. Insyaallah rezeki Allah itu luas, aku percaya istri aku ini mampu membagi waktu dengan baik," ujar Ardan membuat hati Rumaysha terasa damai. Kali ini dia benar-benar menjatuhkan hatinya pada Ardan.
Dia memberanikan diri memeluk Ardan. Hal itu membuat tubuh Ardan seketika mematung. Tak lama, sebab beberapa detik kemudian senyum senang terlukis di bibirnya. Dia mengecup puncak kepala Rumaysha yang harum sampo melon.
"Jadi, mau 'kan mulai semuanya sama aku?" Rumaysha menganggukkan kepalanya dengan mata yang berkaca-kaca. Matanya terpejam erat kala Ardan mendaratkan kecupan di keningnya.
Semoga saja niat baik, dan doa mereka bisa terealisasikan dengan baik pula.