Ku Pinang Kau dengan Bismillah

1677 Words
“Kalau selaku orang tua, kami hanya bisa menyerahkan keputusan sepenuhnya pada putri kami. Sebab dia yang nanti akan menjalankannya. Meskipun begitu, kami pun punya standar tersendiri untuk memilihkan siapa yang tepat menjadi pendamping hidupnya. Yang paling utama adalah agama, akhlak juga sikap tanggung jawabnya.” Samar-samar Rumaysha mendengar suara papanya. Gadis itu mengernyitkan keningnya. Kepalanya terasa begitu pusing sampai membuka mata saja rasanya begitu berat. Pelan-pelan, dia mencoba membuka satu persatu kelopak matanya. Hal pertama yang dia lihat adalah Aysar dengan topeng spiderman duduk di meja rias milik Umma sambil memegang mainan pedang-pedangan. Dia melirik ke arah jendela yang terbuka. Warna langit sudah gelap. “UMMAAAA! TATA NA BANGUN!” teriak Aysar lalu melempar topengnya ke sembarang arah dan berlari cepar keluar kamar. Melihat tingkah Aysar, Rumaysha hanya mampu menggelengkan kepalanya. Dia memijat pelipisnya yang terasa pening lalu berusaha bangkit dari posisinya. “Alhamdulillah udah sadar, minum dulu, Kak,” kata Maika seraya menyerahkan segelas air hangat pada putrinya. Maika memanggil Rumaysha dengan sebutan ‘Kakak’. Dia tidak ingin Aysar memanggil Rumaysha dengan panggilan ‘somay’ karena mendengarnya memanggil dengan panggilan ‘Umay’ mengingat cowok itu pernah sekali memanggil Rumaysha dengan panggilan ‘Omay’. “Umma, ini bukan mimpi?” Maika tertegun mendengar pertanyaan itu. Ingatannya seolah terlempar pada kejadian 21 tahun lalu saat Maika dilamar oleh Rafan ketika usianya menginjak angka 18, bahkan dia sampai terbawa mimpi. “Bukan dong. Mereka juga masih ada kok, tadi kami sempat sholat magrib berjamaah juga,” jawab Maika sambil tersenyum lembut ke arah putrinya. Jawaban dari Maika membuat Rumaysha mengusap wajahnya. First impression mereka setelah 2 tahun tidak bertemu, kenapa harus Rumaysha yang membukakan pintu dengan memakai sheet mask dan pingsan? “Jadi gimana?” Rumaysha menarik napasnya sejenak. Dia tidak bohong jantungnya masih berdebar untuk sebuah nama yang tidak dia sangka ternyata hari ini mendatangi rumahnya. Namun, dia masih ragu. Menikah bukan suatu hal yang bisa diputuskan secara spontan. Harus dipikirkan baik- baik karena ini menyangkut masa depan, bahkan kehidupan akhiratnya. “Umma setuju kalau Umay sama Kakak itu?” Maika tersenyum mendengarnya, lalu mengangguk. Bukan tanpa alasan Maika setuju begitu saja. Didampingi ibu dari Ardan juga Zayn, Maika sudah menginterogasi Ardan. Selama Rumaysha terlelap, dia mengajukan pertanyaan soal bagaimana pemahaman Ardan terkait Aqidah Islam? Seberapa baik bacaan Al-Qur’an Ardan?. Apa visi misi hidup Ardan ke depannya? Apa Ardan sudah memiliki pekerjaan? Kenapa memilih Rumaysha di antara banyaknya perempuan yang ada? Lalu Maika juga menanyai soal apakah Ardan memiliki penyakit atau tidak? Apakah ada perempuan lain di masa lalunya? Tidak lupa terkait tujuan Ardan ingin membangun sebuah rumah tangga. Tidak hanya itu, Maika juga menjelaskan bagaimana Rumaysha sebenarnya. Tentang kekurangan kelebihan putrinya. Tak tanggung–tanggung, bahkan Maika sampai merekamnya. Begitu mendengar jawaban yang Ardan berikan, Maika rasa dia memang laki-laki yang tepat untuk Rumaysha. Insyaallah, Maika rida jika putrinya menerima pinangan Ardan. “Insyaallah dia laki-laki yang baik, Umma sempat tanya banyak hal sama dia.” Rumaysha mengangguk-nganggukkan kepalanya mendengar itu. Katanya, rida Allah terletak pada rida orang tua. Karena Umma rida, Rumaysha yakin dengan keputusannya. Sebelum itu, dia ingin bertanya pada Papa juga. “Umma, Umay mau minta pendapat Papa juga,” kata Rumaysha dengan pelan. Dia merasa begitu gugup. “Aysar sholehnya Umma, panggilin Papa, Nak,” pinta Maika pada Aysar. Aysar yang memang hanya akan menurut pada Maika langsung lari keluar kamar. “Papa! Tata na manggil,” kata Aysar. Rafan tersenyum, lalu berpamitan pada keluarga Ardan. Bukannya ikut dengan Papanya, Aysar malah menggantikan peran Rafan. Dia duduk di sebelah Zayn membuat Zayn mendengus kecil. Bukannya suudzon pada Aysar, tetapi bocah ini tidak bisa dipercaya untuk tidak menjatuhkan citra baiknya. “Bang, namana sapa?” tanya Aysar dengan suara imutnya pada Ardan. Ardan tersenyum, dia mengelus puncak kepala Aysar. “Ih, Abang matana hilang!” seru Aysar heboh. Seketika seluruh keluarga Ardan—Mama, Papa juga Ibu sambungnya tertawa. Terkait kelanjutan rumah tangga orang tua Ardan, mereka memutuskan untuk bercerai dan melanjutkan hidup masing-masing. Mayra sudah memaafkan keduanya dan menerima kehadiran anak mantan suaminya itu. Hubungan mereka juga membaik. Mayra pun sudah menikah kembali. Hanya saja suaminya tidak bisa turut hadir karena ada urusan pekerjaan. “Kan ...” dengus Zayn. Dia dan Aysar ini bagaikan Tom and Jerry. Ah tidak, lebih tepatnya Aysar sangat suka menindas Zayn. Zayn yang sudah besar, tetapi tidak mau kalah. Sedangkan Aysar yang kecil-kecil cabai rawit selalu berhasil membuat Maika mengomel. “Abangna danteng! Abang Zayn jole!” ejek Aysar. Pelafalan Aysar memang belum sepenuhnya jelas. Alih-alih melafalkan kata dengan tambahan ‘nya’ Aysar justru melafalkannya dengan tambahan ‘na.’ Tidak hanya itu, ia juga menyebutkan ganteng menjadi danteng, lalu kata jole yang aslinya adalah jore. Arti jore sendiri adalah jelek. Jadi Aysar mengejak Zayn jelek, sedangkan Ardan ganteng. “Kalian ribut terus, ya?” tanya Mama Ardan yang sudah tidak mampu menahan tawanya. “Dia ini hobinya memang mancing keributan, keahliannya debat, Tan,” jawab Zayn. “Dede mau sama Tata, da main dulu, ya,” kata Aysar memberi informasi terkait dirinya yang tidak mau main dulu. “Jug ditu gak ada yang mau main sama kamu lagian!” usir Zayn. Aysar tersenyum manis, dia berlagak menyugar rambutnya mengikuti Zayn. Padahal rambutnya tidak ada karena sudah dicukur oleh Maika. Di kamar Maika, Rumaysha, Rafan juga Maika tengah berunding. “Jadi , gimana, Kak?” “Kakak mau minta pendapat Papa,” kata Rumaysha. Rafan tersenyum. Dia mengelus puncak kepala putrinya. “Papa yakin, dia laki-laki baik. Bibit bebet bobotnya juga jelas.” “Bibit bebet bobot itu apa, Pa?” tanya Rumaysha membuat Maika terbahak. Kenapa kelemotannya harus menurun pada Rumaysha, sih? “Gini, Nak. Bibit tuh artinya rupa, asal-usul atau keturunan. Gima latar belakang keluarga dia. Baik atau enggak. Setelah tadi Papa tanya sama Ardan juga mama papanya, insyaallah mereka keluarga baik. Bebet, maksudnya kesiapan seseorang dalam memberi nafkah keluarga. Ardan kalau nikahin kamu mampu enggak bertanggung jawab secara finansial? Dan ternyata dia kuliah sambil kerja jadi bagian public relation di kantor Papanya. Nah kalau bobot maksudnya kualitas individu sang calon pasangan dalam arti yang luas. Kayak latar belakang pendidikan, akhlak dan agama.” Rumaysha terdiam. Dia tidak polos-polos amat masalah rumah tangga. Dia sering dengar pembahasan Umma. Terkadang dia menonton kajian tentang pernikahan juga. Rumaysha menarik napasnya yang mendadak terasa sesak. Dia belum bisa membahagiakan orang tuanya, bahkan masuk universitas negeri saja Rumaysha gagal. “Tapi, Umay belum bisa buat Umma sama Papa bahagia, Umay bahkan gagal masuk Universitas Negeri.” Akhirnya Rumaysha menyampaikan suara dalam pikirannya. “Hadirnya kamu di dunia ini aja sudah buat Umma sama Papa bahagia,” kata Maika membuat mata Rumaysha berkaca-kaca. “Tapi kuliah Umay gimana?” “Ardan gak ngelarang kamu kuliah, bahkan dia mau biayain kuliah kamu juga,” jawab Maika membuat Rumaysha semakin goyah. Dadanya berdebar begitu kencang. Tangannya mendadak dingin. “Bismillah, Umay terima lamarannya Kak Ardan,” kata Rumaysha gemetar. Sontak saja Maika dan Rafan langsung berpelukan heboh. “Ayo, Yang! Kabarin ke mereka,” seru Maika antusias. Rafan langsung keluar kamar dengan semangat. Wajah sumringah Rafan berhasil membuat Ardan deg-degan. Dia tidak bisa berhenti meremas kedua tangannya. “Jadi, bagaimana, Pak?” tanya Papa Ardan yang seolah memahami keresahan putranya. Rafan tersenyum misterius. “Bismillaah, mewakili putri saya. Dia bilang dia menerima lamaran Ardan,”kata Rafan membuat Ardan dan Zayn bertos ria. Ardan sampai sujud syukur saking senangnya. “ALHAMDULILLAH YA ALLAH. YASUBHANALLAH WALHAMDULILLAAH WA LAA ILAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR!” seru Ardan girang. “Woah kayaknya kamu emang ngincer anak Om, ya?” tanya Rafan jahil membuat Ardan salah tingkah. Ardan ketahuan begitu antusias ingin menikah dengan Rumaysha. “Benar sekali, Pak. Dari dia lulus SMA, bilangnya ingin meminang seorang gadis. Awalnya saya kira dia bercanda, ternyata dia serius soal itu. Jadi kalau saya boleh menyarankan, ada baiknya pernikahan mereka segera dipercepat. Bagaimana?” “Boleh, saya tanya anaknya dulu, ya.” “Aysar, panggilin Kakak, ya.” Aysar cuek, dia asyik mengemil camilan yang disuguhkan untuk keluarga Ardan. Alhasil Rafan hanya bisa menghela napasnya. Mungkin karena Rafan selalu mengisengi Aysar, jadinya begini. Balas dendam ceritanya. Zayn pun berinisiatif untuk menjalankan perintah Papanya. Tak lama kemudian, Rumaysha datang. Diapit ummanya juga Zayn. Gadis itu terus menundukkan kepalanya. “Begini, May, Ardan pengin kalau pernikahan kalian disegerakan. Jadi gimana?” Rumaysha mengangguk setuju. Tangannya menggenggam tangan Maika membuat Maika tahu seberapa gugup putrinya. “Insyaallah saya siap. Tapi, boleh saya memberikan syarat?” “Boleh banget!” sahut Ardan. “Eh astaghfirullah, maaf.” Ardan menggaruk tengkuknya. Para orang tua tertawa. “Ini yang bucin duluan kayaknya cowoknya, ya,” celetuk Maika membuat Ardan semakin malu. “Gak apa-apa, bagus!” timpal Mama Ardan begitu semangat. “Rumaysha tidak siap kalau harus dipoligami. Bukan berarti membencinya. Hanya saja untuk ke tahap sana, begitu sulit untuk belajar ikhlasnya. Dan kalau boleh memberikan saran, untuk pernikahannya tidak perlu ada pesta, lebih baik biayanya disimpan untuk keperluan berumah tangga nanti. Jadi cukup acara kecil-kecilan saja dan undang anak yatim. Itu saja. Maaf kalau banyak permintaan,” jelas Rumaysha membuat Ardan tidak henti-hetinya berucap ‘masyaallah’ dalam hatinya. “Maunya saya cuman Rumaysha saja kok—Eh maksudnya—“ Ardan menggaruk tengkuknya salah tingkah, sementara Zayn mendengkus. “Belum halal!” tegur Mamanya Ardan seraya mencubit paha putranya. “Sudah dengar sendiri, ya, Nak? Dia cuman mau kamu aja. Untuk sarannya sangat bagus, pantesan Ardan ngebet banget. Kami setuju, Sayang,” kata Mamanya Ardan. “Berarti satu minggu lagi pun siap?” tanya Papanya Ardan. Rumaysha meneguk ludahnya dengan kasar. Satu minggu lagi? “Gimana, May?” tanya Maika. Akhirnya Rumaysha hanya mampu mengangguk. Yaa hayyu yaa qayyuumu, birohmatika astaghiitsu ashlih lii sya’-nii kullahu wa laa takilnii ilaa nafsiI thorfata ‘aiin, batin Rumaysha memanjatkan doa. Dia serahkan semua urusannya pada Allah taala yang menciptakan dirinya beserta alam semesta dan segala makhluk yang ada di dalamnya. Rumaysha percaya kalau segala ketetapan yang Allah tetapkan adalah yang terbaik dari segala definisi kebaikan menurut versinya. Insyaallah, dia akan berusaha memaksimalkan diri. Semoga niat baik mereka akan menghasilkan sesuatu yang baik lagi dan berjalan sebagaimana yang seharusnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD