Abstract
Abstrak.
***
Perbedaan menimbulkan kontradiksi akan lahirnya peperangan. Berpegang teguh pada keegoisan, tak sampai juga pada jalan perdamaian. Dunia tidak menghadirkan keamanan untuk manusia yang hidup ditengah bentangan luas labirin tak berpintu. Pikiran terus berotasi dipaksa melampaui nalar musuh abadi. Pengorbanan untuk meraih kemenangan mengalir tanpa henti.
Air mata bahkan telah mengering ketika tiada lagi asa di depan mata. Sudah terlalu banyak pertumpahan darah. Hingga menguras tunas-tunas bahagia yang kini melebur bersama buih di lautan.
Kemunculan mereka membawa malapetaka bagi makhluk lemah yang disebut manusia. Apalagi ketika guratan layung menghilang di ufuk barat dan dewi serigala menatap bumi dengan keanggunannya. Malam adalah waktu kesunyian itu tiba. Memeluk manusia dalam hening ketakutan. Tiada lagi suara tercetuskan. Hanya gemuruh jantung berdebar kencang memasang alarm waspada.
Entah siapa yang memulai pertikaian. Sampai rasanya lelah hidup dalam lingkaran permusuhan. Ditengah-tengah ketegangan, seorang anak ditakdirkan untuk menghentikan pertarungan. Penderitaan dan penghinaan yang selalu diterima tidak membuat ia membenci mereka. Sekali pun adorasinya tidak pernah ternilai di mata orang-orang yang telah kehilangan nurani. Ketakutan telah membutakan sinar ramah kemanusiaan.
Ia tak pernah balas melempar batu. Melempari batu dan yang dilempari batu ada batasan yang tak dapat mereka jangkau.
Egoisme manusia itu sekuat baja. Ia tahu itu. Ketika darah menyapu pandangan di malam gelap bulan merah. Dan gelombang amarah tercipta di d**a namun tak mampu ditunjukan, saat itulah dendam terlahirkan.
Oleh sebab alasan tersebut ia masih berada di sini. Dengan ambisi yang menjadi tombak kekuatan untuk menerjang hempasan badai, ia melawan kelemahan sebagai manusia untuk menghabisi mereka dengan segenap tekad diri.
Darah, raga dan jiwa ia taruhan untuk membebaskan manusia dari belenggu intaian mata merah.
***