Part 10 Lamaran

2061 Words
Hari ini aku kembali masuk kantor setelah satu minggu penuh berada di lokasi proyek. Seminggu pertama pembangunan memang penuh pengawasanku, tapi dari minggu kedua hingga minggu kelima belas nanti aku hanya diwajibkan datang tiga hari dalam seminggu dan tidak sampai izin seperti minggu kemarin. Jujur saja, aku mulai lelah. Bolak-balik dari lokasi proyek dan rumah yang memang memakan tiga jam perjalanan saat jam macet membuatku stres. Aku memang sudah terbiasa seperti ini, namun tidak setiap hari. Hal itu juga membuatku memutuskan untuk kembali menempati apartemen yang selama tiga tahun terakhir tidak lagi kutinggali. Lagipula, masa sewa orang yang menempati apartemenku itu sudah habis bulan kemarin. Dan juga aku sudah meminta orang lain untuk membersihkannya serta melakukan perbaikan seperti mengubah letak barang-barang sesuai keinginanku. Aku mulai pindah hari ini. Sebenarnya, aku ragu akan keputusanku ini. Mau bagaimana lagi? aku tidak mungkin membuat risiko sakit saat keadaan Ibu masih terus mengkhawatirkan. Tidak apa aku berdebat dengan Ibu untuk masalah ini. Tidak apa-apa. Daripada aku kembali menambah masalah dihidup Ibu, lebih baik aku dimarahi habis-habisan. Untung ada Bima yang bersedia membelaku saat aku mengutarakan niatku ini pada Ibu. Bima benar-benar sudah bisa mengambil hati Ibu, dia hanya bicara satu kali, akhirnya ibu mengizinkanku untuk kembali tinggal sendiri dengan syarat hari kamis hingga weekend aku kembali ke rumah. Tidak apa-apa. Itu jauh lebih baik dari pada harus bolak-balik. Aku tau apa yang dikhawatirkan Ibu. Aku tahu dengan pasti, Ibu hanya tidak mau mengungkapkannya. Alasan yang sama itu pula menuntunku untuk merenovasi kondisi apartemenku itu hingga seratus delapan puluh derajat berbeda dengan keadaan sebelumnya. Aku hanya tidak ingin kenangan buruk itu kembali muncul di dalam pikiranku. Tanpa kusadari aku menghela nafas lelah, aku mengecek laporan mingguan yang harus kuberikan hari ini kepada Nata sebelum mengeprintnya melalui printer. Hubunganku dan Nata semakin baik, semakin tidak ada yang tahu maksudnya. Kami benar-benar bersikap professional pada saat ada orang lain di sekitar kami. Kami tidak pernah jalan keluar kecuali dalam urusan pekerjaan, meskipun Nata sering merengek kepadaku. Aku tidak mungkin membiarkan orang lain tau bahwa aku adalah orang ketiga diantara Nata dan Saras. Meskipun bagi Nata, Saraslah yang menjadi orang ketiga. Kenyataan itu memang menamparku. Kadang membuatku ketakutan dan menangis semalaman. Aku merutuki sikap bodohku yang tak bisa menghindari rayuan Nata, malah membuatku semakin mencintainya. Dari hari ke hari semakin bertambah. Aku juga tidak mengerti kemajuan perasaanku padanya saat ini, memikirkan hal ini hanya membuat kepalaku semakin pusing. Aku melamun menunggu printer mencetak laporanku. Baru setelah mendengar suara derap langkah kaki menuju ruangan, aku melirik ke arah lorong. Baru aku akan mengalihkan perhatian, sesosok perempuan cantik masuk ke dalam ruangan dengan anggun. Dia menggunakan flower dress selutut dengan bahu sabrina, tas beremerk terkenal menggantung di tangannya. Dia menggunakan kacamata hitam sebelum melepasnya setelah berada di ruangan. Jantungku berhenti. "Alodia?" gumamku pelan, dia tersenyum masuk ke dalam ruangan belum menyadari tatapan kami semua kearahnya. "Misii.. ini benar ruangan..." ucapannya berhenti saat melihatku, aku menahan nafas perlahan. Jangan sekarang. jangan sekarang. "MBAK TANIAAAA!" Oddi langsung berlari ke arahku dan memelukku yang sedang terpaku di tempat duduk. Aku membalas pelukannya. Oddi tersenyum manis saat melepas pelukannya. "Aku nggak tau Mbak sekarang sekantor lagi sama mas. Ya ampun, aku pangling sama mbak, makin muda aja sihh!" ujarnya yang hanya membuatku terkekeh pelan. "Pak Nataniel ada kok di ruangan" ucapku sopan, mengalihkan percakapan. Oddi tampak tidak senang dengan ucapanku, dia baru akan membalas ucapanku saat Nata muncul dari pintu ruangannya. "Oddi, Mas pikir siapa yang bikin keributan di luar" Oddi cepat mencium pipiku dan berjalan menuju kakaknya itu. "Nanti kita ngobrol ya, Mbak" ucapnya sebelum meninggalkanku. Aku menghela nafas dalam dan hanya menatap lurus ke arah mereka, tidak berani menatap ke arah lain. "Lo pernah satu kantor sama Pak Nata?" Sonny langsung menginterogasiku. Crap. Sial! Aku tidak pernah memperhitungkan bahwa Oddi akan mengunjungi Nata saat ini, yang aku tau adik dari Nata itu tengah kuliah di Los Angeles, mengambil jurusan bisnis. Di hari pertunangan Nata saja aku tidak melihat gadis itu dimanapun. "Iya dulu pas belum disini" jawabku mencoba santai. Yoana terkekeh pelan disampingku. "Kelihatannya Mbak akrab banget ya sama adiknya" "Perasaan lo aja, Na. Kita C=cuma pernah ketemu beberapa kali kok" pipiku terasa memanas sebentar sebelum akhirnya aku sok sibuk dengan pekerjaanku. * Aku mengetuk pintu ruangan Nata dengan pelan. Aku masih yakin Oddi ada di dalam ruangan itu, tapi deadline yang diberikan Nata sudah mencapai waktunya. Aku langsung masuk ke dalam ruangan dan mendapati Oddi tengah berada di sofa membolak-balikkan majalah, sedangkan Nata tampak sibuk dengan pekerjaannya. Saat aku masuk, Oddi tersenyum lebar kepadaku yang aku balas seadanya. "Ini laporan mingguan yang Bapak minta" ujarku meletakkan laporan itu di atas mejanya. Nata hanya mengangguk dan kembali berkutat dengan pekerjaannya. "Formal banget sih Mbak" komentar Oddi, aku tersenyum saja menanggapi. "Tania, tolong temenin dia dulu, aku mau ngirim anggaran ini ke bagian ekonomi" ujar Nata terlihat sibuk. Aku tersenyum simpul, selalu terpesona saat Nata sedang bekerja seperti ini, dia selalu tampak seksi. "Oddi kuliahnya gimana?" aku duduk di samping Oddi, gadis itu sudah menggeser duduknya hingga memberiku tempat yang agak luas. "Udah selesai mbak, datang yah ke wisudaku" ucapnya tanpa berpikir. "Mbak kirim ucapan selamat aja ya" aku tidak tau topik apa yang sebaiknya aku bicarakan pada Oddi, mengingat bahwa kami sudah tiga tahun tidak bertemu dan statusku sudah jauh berbeda dari sebelumnya. Aku tidak bisa sok-sok akrab lagi dengannya, atau dengan orang lain. Entahlah, apa yang salah dengan diriku beberapa tahun ini. "Aku nggak suka sama Saras" cetus Oddi tiba-tiba membuatku terbelalak kaget. "Aku lebih suka Mbak Tania yang jadi tunangannya Mas. Kenapa sih kalian nggak balikan aja?" Aku melirik nata yang tiba-tiba menghentikan pekerjaannya, menatap tidak percaya kepada Oddi, sama sepertiku. Aku merasakan kenyataan itu kembali menamparku. "Ya nggak bisa. Saras kelihatannya baik kok, mungkin karena kamu belum kenal aja" aku tidak bermaksud membela, namun seperti inilah yang seharusnya. Ya seharusnya. Tapi kenapa rasanya sakit sekali mendengar suaraku mengatakan hal itu? Oddi menggeleng. "Aku kesal banget sama mama mbak. Mama yang bikin Mas jadi orang gila karena harus putus sama mbak. Sekarang mama juga memperlakukan hal yang sama denganku. Aku nggak betah di rumah makanya kesini" Aku menelan ludah dengan susah payah. "Kamu jangan pikirin itu. Oddi ngomong gitu karena disuruh putus sama pacar bulenya" Aku tidak tau harus berkomentar apa. "Emang kenapa sama bule?" oddi mulai menggerutu dan menceritakan hal yang mengganjal dihatinya selama ini. Aku hanya sesekali menimpali sebelum akhirnya Nata bergabung bersama kami, memberikan beberapa nasihat kepada adiknya. Sedangkan aku seterusnya lebih banyak diam. Membayangkan seseorang dengan nasib yang sama denganku, entah kenapa aku kasihan sekali dengannya. Sama seperti aku mengasihani diriku sendiri. * Aku membalas pesan Bima dan menyampaikan aku sudah sampai di apartemen sebelum membuka pintu itu. ketika aku ke dalamnya, kenangan bersama Nata langsung menguak keluar dari ingatanku. Aku bahkan hanya bisa mematung di depannya. "Kenapa nggak masuk?" Nata mengalungkan lengannya di pinggangku dan membuatku mengerjap kaget. Terhempas dari kenangan-kenangan itu meskipun perabotannya sudah berubah. Nata memang sengaja mengantarku sampai ke dalam apartemen sebelum pulang, katanya dia ingin menghabiskan waktu lebih banyak denganku. Memangnya aku bisa menolak? Dia berjalan lebih dulu dariku dan menghidupkan lampu. Aku menahan nafas ketika mengikutinya masuk. Dia menyusuri satu persatu ruangan dengan cepat, sedangkan aku mematung di ruang tengah. Menahan segala kenangan yang masih berkecamuk di dalam otakku. Nata tersenyum kepadaku sebelum memelukku erat. Tanganku hanya diam di samping tubuhku, tidak membalasnya. Meskipun hangat, entah kenapa aku ingin menangis sekarang. segala hal yang berhubungan dengan Nata selalu membuatku seperti ini. "Aku kangen banget tinggal disini" ujarnya. Apartemen ini memiliki dua kamar satu ruang lepas dan dapur serta satu kamar mandi yang ada di luar. Kamar mandi lainnya ada di dalam kamar utama. Kamarku. Sedangkan kamar satunya lagi dulu sempat ditinggali nata. Hubunganku dengannya memang sudah sejauh itu dulu. Tapi aku masih memiliki kewarasan agar tidak menyerahkan segalanya pada Nata. Hal itulah yang membuatku mendapat hinaan dari Mama Nata. Aku memeluknya lebih erat. Aku juga merindukan ini, aku merindukan segala hal yang pernah terjadi disini. Tanpa sadar aku mulai menangis. Nata membiarkan kemejanya basah oleh air mataku. "Jangan nangis, Tania" dia mengusap air mataku yang mengalir sebelum memajukan wajahnya lebih dekat kepadaku. Dan aku menerimanya dengan antusias. Tidak ada yang bisa mengalahkan ciuman Nata. Aku bisa memastikan hal tersebut. Kami terus merapatkan diri hingga aku tersadar bahwa ini akan kembali membawa kami ke petaka yang lebih besar. Inilah alasan kenapa aku tidak diperbolehkan lagi tinggal sendirian. Ibu ketakutan bahwa aku kembali lalai dari pengawasannya hingga bisa berbuat sesuatu yang membuatnya terkena serangan jantung. Pikiran akan ibu itu membuatku tersadar sepenuhnya. Aku berusaha mendorong Nata menjauh, tepat saat sebuah panggilan masuk dalam ponselku. Dengan gerakan lebih cepat aku mendorongnya dan meraih ponselku. Wajahku sudah memanas, aku bisa melihat nata mengatur nafasnya tak jauh dariku. "Halo?" "Udah pulang? Mau gue beliin sate kambing? Gue lagi di Kalibata nih, katanya sate kambingnya enak banget loh" Aku melirik nata pelan, sedikit kaget dengan penampilannya yang acak-acakan sekarang. ulahku. Aku mengabaikan pikiran itu dan kembali fokus pada bima. "Nggak usah, gue udah makan" jawabku. "Bim, gue capek. Teleponnya nanti aja ya?" pintaku yang langsung disetuju oleh Bima. Aku membuka pintu balkon agar ketegangan antara aku dan Nata bisa cair. Aku memutuskan sambungan itu dan mengalihkan perhatian pada Nata yang ternyata menatapku dengan tajam. "Kamu mau minum apa?" tanyaku pada nata, mencoba mencairkan suasana. Aku tau, Nata sedang marah saat ini. aku hanya tidak ingin membuat pertengkaran baru. Diluar dugaanku dia malah menanyakan hal yang tak terduga. "Siapa 'Bim'? Siapa yang menelpon kamu tadi Tania?" Aku menegang di tempat, "Bima" jawabku nyaris berbisik. "Siapa dia?" Aku memberanikan diri menatapnya. "Cowok" aku menelan ludahku. "Yang dijodohin Ibu sama aku" Setelah itu, aku hanya melihat kilat kemarahan yang ada di mata Nata sekarang. Aku bergerak mendekatinya. Ini memang akan jadi masalah besar, mengingat bahwa Bima kuterima dengan tangan terbuka sedangkan aku dan Nata sedang menjalani hubungan seperti ini. "Aku nggak setuju. Tapi Ibu bilang coba dulu buat pendekatan, Bima setuju. Aku nggak punya pilihan lain" belaku pada diriku sendiri. Nata masih mengalihkan pandangannya padaku. "Sayang" panggilku padanya. "Ini cuma pendekatan" Nata menghela nafas dalam sebelum menatapku. Tanpa membuang kesempatan aku segera mendekatkan diriku padanya. Menciumnya. Berharap ini semua bisa meredakan kemarahannya dan dia tidak akan mengingat nama bima lagi. * Aku tertawa mendengar cerita Bima akan pasiennya. Setiap hari pasti ada saja hal-hal ajaib yang dia ceritakan. Aku bersyukur Bima tak sependiam dulu, dia sekarang lebih suka bicara dibandingkan aku. "Parah lo. Dokter apaan, bilang pasiennya ganjen" Bima menggedikkan bahu. "Nggak salah gue dong, ganteng" ujarnya, aku melirik ponselku diatas meja berbunyi, pesan dari Nata. Aku segera membalasnya. "Sibuk banget neng daritadi, abang disini dianggurin" Aku mendengus ke arah bima. "Jayus banget sumpah!" Bima tertawa pelan. Kemudian melirik ke arah jalanan yang macet. Aku memperhatikan hal yang sama, membayangkan kejenuhan Nata yang sekarang juga tengah terjebak macet. "Ta" panggil bima, membuatku menoleh. "Kenapa Bim?" "Masih belum suka gue ya?" pertanyaan polos itu membuat jantungku berhenti berdetak beberapa saat. Aku menegang di tempat, sebelum akhirnya satu chat lagi masuk dari Nata. Aku segera membalasnya dan mengabaikan tatapan Bima. "Udah lama kita pendekatan, masih belum ya?" Tanya Bima lagi, aku kembali menyibukkan diri dengan ponselku. Baru membalas lagi, ponselku ditarik oleh Bima. Dia sedikit melirik ke arah layar ponselku sebelum kembali fokus padaku. Aku hanya bisa diam, memperhatikan ponselku di tangannya. "Hape gue Bim, ada chat penting tentang proyek" aku memang sedang membahas proyek dengan Nata saat ini yang diselingi oleh chat-chat tidak penting yang dikirimnya. "Masih lebih penting proyek dibandingkan gue ya?" Aku menghela nafas dalam. "Bim, siniin hape gue" "Lo nggak bisa ngelak terus, Ta" Bima mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Membuat jantungku kembali berhenti berdetak. Dia mengeluarkan kotak beludru itu, "Gue mau melamar elo, jadi gue ingin tau gimana perasaan lo sekarang" Aku terdiam di tempat. Kalah telak. Aku tidak bisa melanjutkan ini semua, aku tidak ingin menyakiti bima dan juga pada ibu yang berharap penuh akan hubungan ini. "Jangan.... " aku menunduk, menggelengkan kepala dengan cepat. Aku memang belum bisa menyukai Bima. Bagaimana caranya? Sedangkan nata kembali menjeratku. "Jangan sekarang" mohonku. "Gue nggak bisa" ujarku pada akhirnya. Bima menghela nafas dalam. Dia menyerahkan ponselku dengan gerakan pelan. "Ada chat dari Nata, dia bilang dia kangen sama lo" Bima kemudian menyerahkan lagi kotak cincin itu padaku. "Kalau yang ini lo simpan aja dulu, kasih gue jawaban kalau memang lo udah bener-bener yakin" Aku benar-benar ingin menembak kepalaku sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD