Part 9 : Bima - Jatuh Cinta

1529 Words
Aku tersenyum-senyum seperti orang gila. Baiklah, setelah –sepertinya- Tita setuju untuk kami pendekatan, dia jauh lebih terbuka akan telepon-telepon dan pesan-pesan yang ku kirim padanya. Bahkan kami hampir setiap hari menelepon apabila sudah di rumah masing-masing. Biasanya, aku yang menelepon, dia tak pernah menghubungiku lebih dahulu. tapi sudahlah, yang penting proses pendekatan ini lancar. Tita sudah tampak tak menolak lagi. Aku menekan nomor dial up Tita di layar touchscreenku. Tadi aku sempat melihatnya di lingkungan rumah sakit, mungkin sedang mengurusi proyek pembangunan rumah sakit di bagian belakang yang dulu dijadikan lapangan golf. Tapi aku tidak sempat menemuinya karena ada jadwal visite. "halo" suara tita kembali menyapa pendengaranku, lembut sekali, ini adalah suara yang dulu menurutku membosankan dan berisik. Sekarang aku benar-benar termakan oleh karmaku. "Masih di rumah sakit?" tanyaku, tanpa bisa menyembunyikan perasaan girangku. Aku memang sudah lama tidak jatuh cinta FYI. Jadi tidak apa kan aku bersikap sedikit norak seperti ini? "masih. Lo udah selesai visite?" Aku tersenyum lebar, benar-benar seperti bocah. "Udah. Mau dinner?" Hening sejenak. Aku bisa menemukan pola bagaimana Tita menerima ajakanku, setelah aku mengemukakan permintaan, akan ada jeda yang cukup panjang sebelum dia menjawab. Seperti hal itu adalah keputusan besar yang harus diambilnya. Bukan seperti itu kan seharusnya orang sedang pendekatan? Kadang, disaat seperti ini aku merasa tita semakin membangun tembok-tembok kokoh di hadapanku. Tembok tak kasat mata. "Boleh. Sate tapi ya?" ujarnya datar, aku langsung kembali tersenyum. "Oke, ketemu di parkir aja? Gue nggak bawa kendaraan" "Kebiasaan lo!" Aku tertawa puas sebelum mematikan sambungan telepon. Kehadiran tita di dalam kehidupanku ternyata membuat hidupku semakin berwarna. Setiap hari aku berusaha menebak-nebak apa yang dipikirkannya dan bagaimana perkembangan perasaannya padaku. Seperti orang gila. "Senyum senyum aja Dok" Audy, perawat di bagian praktekku menyadarkanku dari lamunan panjang. Kenapa gue jadi lebay gini sih? "Tau aja kamu, Dy" Audy tertawa pelan sambil meletakkan beberapa berkas. "Jodohnya udah kelihatan ya Dok?" "Udah.. udah banget" jawabku pede sekali, Audy hanya tertawa masam. Aku membuka jas putihku dan memakai jaket andalanku dan membawa tas keluar dari ruang praktekku. Baru beberapa langkah berjalan, aku tersenyum sumringah melihat Tita sudah menungguku di pintu masuk. Aku berjalan cepat kearahnya, tidak bisa lagi menunggu lebih lama. Baiklah, sepertinya aku benar-benar gila karena Tita. * "Ta, week end ini gue boleh main ke rumah?" Tita yang sedang asik menikmati satenya perlahan menghentikan gerakannya, menatapku lekat. Bola matanya sedikit melebar, menandakan dia begitu kaget. "Emangnya kita udah sedekat itu ya" Hatiku mencelos. Ouch. Sakit sekali. Jadi dia menganggap kedekatan kami beberapa waktu ini hanyalah sebuah ilusi? "Berarti nggak boleh nih?" tembakku langsung. Tita tampak merasa bersalah. "Bukan gitu, Bim. Maksud gue itu, nanti kalau lo main, Ibu mikirnya kita udah serius banget" Aku menghela nafas dalam. "Emang kenapa kalau Bu Ningsih ngira kita udah serius banget?" tanyaku pada akhirnya, Tita memang selalu menghindari pertemuanku dengan Bu Ningsih. Entah karena apa, padahal jadwal check up ibunya itu seharusnya minggu depan. "Gue nggak mau ngecewain nyokap, bim" Lalu memangnya aku mau mengecewakan ibunya? Aku memandangnya tidak suka. Selama pendekatan ini, Tita selalu memuluskan jalanku untuk mendekatinya kecuali bertemu dengan ibunya. Padahal ibunya ini yang mencetuskan jika kami mencoba bersama. Seharusnya dia berterimakasih bukan malah mengelak-elak. Aku kadang merasa kesal dengan sikap Tita yang seperti ini, tapi aku masih menyukainya kok. "Iya boleh. Gue larang lo bakalan maksa juga kan?" Tita seperti biasa mengalah. As always. Dia hampir tidak pernah membantah permintaanku selama proses pendekatan ini berlangsung. Dan aku menyukainya, aku tidak perlu repot-repot mendebatnya dulu untuk mempertahankan keinginanku. "Gitu dong, calon istri" Tita hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan. Dia membiarkanku mengusap rambutnya pelan. Aku juga sudah hafal gerakannya saat aku melakukan ini. Hanya lima detik, detik kemudian, Tita menyingkirkan kepalanya dari tanganku. "Bau Bim, seharian di proyek" Aku hanya terkekeh pelan. Kemudian melanjutkan makanku. Kecepatan hubungan kami memang mengalahkan kecepatan angin. Ini memang terlalu cepat dan memang tidak mudah bagiku untuk membuat tita nyaman dan menyukaiku lagi. itu adalah hal yang pasti. Selama dia masih bekerja dengan keluarga Liam. Aku yakin sekali sikap Tita yang masih membangun tembok ini ada hubungannya dengan mantannya itu. Aku hanya berharap, Tita bisa menemukan kesungguhan dari dalam diriku ini, dan mencoba benar-benar menyukaiku. Yeah.. aku hanya mengharapkan hal itu. * Aku datang ke rumah Tita pagi-pagi sekali. Benar-benar niat untuk ke rumahnya kali ini. Aku memastikan penampilanku tetap tampan seperti biasa. Ini pertama kalinya setelah beberapa tahun aku bersikap bocah seperti saat ini. Aku mengambil bunga di bangku penumpang sebelahku dan segera turun dari mobil. Jantungku langsung berdegup tidak menentu, seperti seseorang yang memiliki kelainan jantung. Rumah Tita minimalis, bagian depan rumah memiliki sempadan jalan yang sangat luas untuk dijadikan tempat parkir mobil hingga tidak mengganggu lalu lintas. Kemudian setelah menemukan pagar terdapat taman kecil tempat Bu Ningsih mungkin menanam bunga-bunga. Bagian kiri tempat car port yang cukup untuk dua mobil, baru setelahnya terdapat tangga menuju pintu rumah. Aku menaiki beberapa anak tangga sebelum bertemu teras, setelah berkaca sebentar pada jendela rumah Tita baru mengetuk pintu rumahnya. Aku sudah menghubungi Tita bahwa aku sudah sampai. Baru beberapa detik setelah aku mengetuk, terdengar suara derap langkah kaki dari dalam. Aku mencoba bersikap santai ketika pintu dibuka, namun setelah melihat siapa yang membukakan pintu aku tidak bisa lagi menahan-nahan sikap santaiku. Tita menggunakan kaus kebesaran putih dan celana jeans selutut. Sangat berbeda dengan Tita yang menggunakan kaus polo teknik yang biasa dia gunakan saat kuliah dulu. Rambutnya dibiarkan di gerai, aku baru sadar bahwa rambut tita yang hitam pekat sangat mampu menambah pesonanya. "Niat banget datang pagi-pagi" komentarnya melihat penampilanku. Aku mengabaikan ucapannya dan tersenyum manis, memberikan bunga yang tadi kusembunyikan padanya. "Nih.. buat lo" "Nggak romantis!" Balasnya sebelum tersenyum manis sekali menerima bunga itu, dia mencium aroma bunga yang sudah kupastikan sangat wangi tadi, baru setelahnya mendengus kearahku. "Bawa itu makanan bukan bunga! Bunga mah mana bisa dimakan!" Tita terkekeh kemudian membuka pintu rumah lebih lebar kepadaku. Tanpa pikir panjang lagi, aku masuk ke dalam rumahnya. "Ibu, ada dokter kesayangan ibu nih!" Aku tau sekali bahwa ucapan itu hanya lelucon belaka, namun hatiku tiba-tiba menghangat mendengarnya mengucapkan hal tersebut. Aku bisa merasakan pipiku menghangat, namun tentunya pasti tidak akan memerah. "Bima!" Bu Ningsih datang dari ruang tengah dan membawakan beberapa minum dan camilan. Aku langsung sadar bahwa Tita sudah mempersiapkan semuanya saat aku mengatakan akan datang. "Macet nggak tadi di jalan?" Tanya Bu Ningsih ramah. "Nggak bu, Lancar banget" balasku sopan seperti biasa. Bu ningsih hanya tersenyum dan duduk di depanku dan Tita, meletakkan minuman ke meja yang di depanku. "Nggak biasanya lo, Tita bangun pagi! Kalau sabtu gini biasanya dia ngebo!" ujar Bu Ningsih, membuat Tita tergelak di sampingku. Aku tidak sempat melihat wajah penuh tawa Tita saat melihat ekspresi apa yang baru saja ditampilkan Bu Ningsih. Ibu itu tersenyum, bukan tersenyum biasa tetapi seperti penuh haru. Seakan-akan sudah lama tidak melihat tita tertawa. Aku mengabaikan pikiranku dan melirik ke arah tita. "Demi lo nih bim. Gue udah siap-siap dari pagi" timpal tita sambil bercanda lagi. Aku tersenyum ke arahnya. "Arini mana?" tanyaku memperhatikan sepertinya tidak ada lagi yang tinggal selain ibu ningsih dan tita. Tita mengambil lagi bunga yang tadi di taruhnya di meja, kemudian berdiri. "Tadi pagi pergi kondangan keluarganya Adit. Gue mau naruh ini di vas dulu ya" pamitnya, meninggalkan aku dan bu Ningsih berdua di ruang tamu. "Ibu gimana keadaannya? Masih ada keluhan?" Bu Ningsih menggelengkan kepalanya. "Kamu disini mau ngapelin anak ibu kan bukan buat meriksa ibu?" Aku hanya tertawa menimpali. "Sekalian bu" "Senang sekali ya kalau ibu punya menantu perhatian seperti kamu" puji Bu Ningsih membuatku tersanjung mendengarnya. "Ibu jangan mikir macam-macam dulu" tita menanggapi dengan cepat, dia berjalan bersama vas kaca dan sudah ada bunga yang kuberikan tadi di dalamnya. "Cantik ya Bu, bunganya?" Bu Ningsih tersenyum, "Ya cantik dong. Nak Bima kan niat serius sama kamu, bukan buat jadi pacar saja" Aku terbatuk mendengarnya, sedangkan Tita hanya diam sejenak. Namun setelah menemukan ekspresinya sudah biasa, dia kembali duduk di sampingku. Aku lega karena dia tak mempermasalahkan hal itu. Kami membicarakan hal-hal ringan bertiga sebelum Bu Ningsih pamit untuk istirahat di kamar. Aku menatap tita memperhatikan ibunya dengan khawatir. Aku meraih tangannya dan mengusap pelan, "Nggak ada yang harus di kuatirin ta" Tita hanya menatap tanganku kemudian menarik tangannya cepat. Penolakan yang selalu dia lakukan saat aku sudah mulai menyentuhnya. Hatiku mencelos. Sedikit. Kecewa. Namun dia hanya tersenyum pias padaku. "Tetap aja gue cemas, Bim" "Lo nggak sendirian" Tita hanya menghela nafas dalam, sebelum akhirnya mendekat dan menyandarkan kepalanya di bahuku. "Makasih, makasih banget Bim. Tolong kasih yang terbaik buat nyokap gue" ujarnya lirih, aku menatapnya sejenak tak ada air mata yang mengalir disana. Aku lega dan juga gugup karena tidak biasanya Tita seperti ini. Jika kemarin-kemarin aku yang memulai duluan, sekarang dia bisa membuatku merasa dibutuhkan meskipun sekarang dia dibawah tekanan kecemasan keadaan Bu Ningsih. Sudahlah, jangan berpikir macam-macam dulu. Aku mengusap lengannya pelan, mencoba menenangkannya. Aku tau bahwa tidak mudah cinta tumbuh diantara kami. Namun jika memang harus jujur saat ini, aku benar-benar sudah jatuh cinta pada gadis yang ada di pelukanku saat ini. Gadis yang dulu ku tolak karena tidak menarik, menjadi begitu sempurna di mataku saat ini dan mungkin seterusnya, meskipun dia tidak bisa memberikan hal yang sama padaku. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD