Aku benar-benar kagum dengan keakraban yang terjadi diantara Bima dan Denara. Mungkin sebaiknya dia beralih profesi menjadi dokter anak dibandingkan dokter penyakit dalam. Melupakan masalah di antara kami, aku berusaha bersikap santai dan sesekali menimpali obrolannya. Dia juga sepertinya tidak berniat membahas hal tersebut.
Lagipula, aku sudah terlatih menjalani akting cantik ini, di depan Nata yang bisa membuatku panas dingin saja berhasil kulakukan, menyembunyikan apapun yang terjadi diantara kami pada semua orang. Kalau hanya bersikap pura-pura ramah pada Bima, ini hanya masalah gampang.
Sebenarnya, tidak membenci Bima karena mengiyakan saran Ibu. Aku sadar, dia juga tak punya pilihan, sepertiku. Tiba-tiba ditodong untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang asing oleh Ibuku memang bukan perkara mudah. Aku tau seperti apa ekspresi yang ditampilkan Ibu saat meminta Bima untuk mencoba hubungan denganku.
Ini bukan perkara mudah.
Aku melirik Bima lagi dan sepertinya dia juga mencuri-curi pandang kepadaku, diantara keakrabannya pada Denara. Namun baru satu jam berbincang-bincang, bayi kecil Jessi menangis di kamar, bukan hanya itu Denara juga sepertinya sudah mengantuk hingga diambil alih oleh Rizky. Rizky meminta izin untuk ke kamar tamu pada Jessi, untuk menidurkan Denara. Kini hanya ada aku, Bima dan Inke di ruang tengah keluarga Jessi ini.
"Mbak, aku nyusul mas Rizky sebentar ya. Mau nyusuin"
Aku mengangguk saja, membiarkan Inke meninggalkanku dan Bima di ruang tengah ini. Baru setelah itu, perasaan yang cukup asing menyeruak di dalam dadaku. Aku tidak perlu meliriknya untuk memastikan keadaan yang cukup canggung ini.
Aku memilih untuk menghidupkan tv dan menyetel salah satu chanel adventure di televisi.
"Gue minta maaf" ujarku pada akhirnya, menoleh ke arah Bima yang daritadi hanya bungkam, menyadari kecanggungan diantara kami.
"Buat?"
Aku menghela nafas dan menggeser dudukku mendekatinya. "Seharusnya gue nggak marah-marah sama lo soal.. Rencana Ibu. Seharusnya gue juga tau kalau lo nggak punya pilihan juga. Nggak enak nolak juga, karena Ibu pasien lo. Apalagi Ibu bawa-bawa kematian" aku mencurahkan beban pikiran yang selama seminggu ini berakar dipikiranku, bahkan setelah aku disIbukkan oleh pembangunan proyek rumah sakit, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran ini.
"Gue panik kemarin. Seolah-olah pernikahan udah di depan mata gue, makanya gue marah-marah sama lo. Tapi yaudahlah. Nanti gue pelan-pelan ngomong ke Ibu kalau kita nggak cocok" aku menatap Bima dengan senyuman. "Gimana menurut lo?"
Dia hanya terdiam di depanku, ekspresinya datar sekali, seperti ekspresi yang dia tunjukkan kalau dulu aku mencoba membuat lelucon. Aku berusaha untuk tidak terganggu dengan pikiran itu. Lagipula, bertatap-tatapan seperti ini dengan Bima tak memiliki efek apapun dalam diriku. Aku tidak berdebar-debar, aku hanya merasa canggung.
Kalau dulu aku benar-benar menyukai lelaki ini, seharusnya debaran itu masih ada bukan? Seperti debaran yang kurasakan setiap Nata ada di sekitarku, bahkan tidak berkurang intensitasnya setelah kami berpisah tiga tahun.
Bima menghela nafas dalam. "Kenapa lo yakin banget ini nggak akan berhasil, Ta?"
Aku terdiam sebentar sebelum kembali menatapnya. "Gue cinta orang lain Bim. Dalam hidup gue, gue nggak akan bisa mencintai dua orang sekaligus"
"Gue nggak nuntut lo jatuh cinta dulu sama gue. Gue cuma mau lo nyoba. Seperti saran Ibu lo. Kita coba dulu. Lagian lo single kan? Gue single juga. Nggak ada salahnya kita coba pendekatan" ucapan itu sontak membuatku kaget setengah mati.
Apa yang baru saja dia ucapkan?
Aku tidak mungkin mengaku bahwa aku sudah kembali pada Nata bukan?
"Gue nggak mau.."
"Apa karena gue nggak memenuhi kriteria lo?"
Aku menatapnya setengah kesal. "Kenapa lo pengen banget ngejalanin ini? Kita punya dunia sendiri-sendiri Bim. Lagian lo sibuk, gue juga sibuk. Kapan pendekatannya?"
"Buktinya sekarang kita ketemu" sanggahya cepat. "Kalau kita punya dunia sendiri-sendiri, kita nggak akan sering ketemu, Ta. Lo yakin ini bukan benang merah buat kita?"
Mataku melebar dengan cepat, semakin tak percaya dengan apa yang dia ucapkan. "Maksud lo kita jodoh gitu?"
Dia menggedikkan bahu. "Gue nggak mau ya kita berdebat masalah ini lagi. Lo sama gue udah sama-sama dewasa. Gue mau nyoba ini, gue mau menjalin sesuatu sama lo, ta"
"Why?"
"Telat nggak kalau gue bilang gue suka sama lo?"
Aku tertawa dengan keras, sepertinya dia telah membuat kekonyolan besar diantara kami. Menyukaiku? Yang benar saja! Dia dulu menolakku mentah-mentah.
"Kenapa lo ketawa?"
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. "Lo lucu" aku merebahkan diriku pada sandaran sofa. "Terserah lo lah, mau ngapain. Yang jelas, gue nggak mau bikin ini berhasil" putusku pada akhirnya. Terserah dia saja akan melakukan apa. Kalau aku memang akan melakukan pendekatan dengan Bima, tidak akan sulit membuat Ibu yakin bahwa aku dan dia benar-benar tidak cocok. Setidaknya Ibu sudah melihat perjuanganku untuk bersamanya.
Ini malah lebih bagus bagiku.
"Tadi itu ajakan perang?" Tanyanya cepat.
Aku menggedikkan bahu, tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Aku memilih untuk menonton televisi, mendengarkan presenter acara ini jauh lebih baik dari mendengar bualan Bima. Belum sempat aku memfokuskan diri, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselku.
Aku menegang membaca nama yang tertera di layar ponsel itu, jantungku langsung berubah menjadi cepat. Dengan segera aku berdiri, pergi ke teras untuk mengangkat telepon dari pangeranku itu.
Nataniel.
*
Aku sedikit kaget melihat Bima langsung masuk ke dalam mobilku saat aku pamit pulang. Aku tidak bisa membiarkan mereka mendengarkan percakapanku dengan Nata, tadi Jessi sempat curiga karena aku hampir satu jam menelepon di luar. Mereka akan mengadiliku jika tahu aku telah kembali kepada Nata. Aku belum siap diadili.
Rizky dan Inke belum bisa pulang karena anak-anak mereka masih tertidur lelap. Meskipun sempat menahan, Jessi akhirnya mengerti bahwa aku harus pulang duluan karena ada pekerjaan. Apalagi kalau bukan pekerjaan merecoki Nata.
"Lo ngapain disini?" Ucapku melihat dia sedang menghidupkan mesin mobilku. Aku masih berkacak pinggang di luar.
"Gue nebeng sama lo ya. Gue nggak bawa mobil" jelas sekali dia memiliki maksud lain dari percakapannya. Aku menggelengkan kepala cepat, enak saja, dia bisa mengganggu quality timeku bersama Nata.
"Nggak ah. Lo nebeng sama rizky aja, atau sama taksi sana!" Ujarku, menarik lengannya agar segera keluar, namun tenaganya besar sekali.
"Nggak. Gitu lo sama calon suami lo?"
Aku mendengus mendengar ucapan itu. Masih tidak percaya sama sekali. "Calon suami kepala lo! Sana pergi! Gue ada urusan" jika dia masih mengharapkan titania beberapa tahun lalu masih sama dengan titania yang sekarang, dia jelas salah besar.
Aku tidak lagi mempunyai waktu untuk memaksa atau bermanja-manja padanya.
Tidak ada alasan bagiku melakukan itu.
Bima menatapku lurus, tepat di manik mataku, tatapan itu membuat sesuatu di dalam dadaku berdebar. Hanya sedikit sekali, sebelum aku sempat mengendalikan diri.
"Lo udah janji untuk kasih gue kesempatan!" Ucapnya memaksa. Aku memutar bola mataku. Tidak ada gunanya berdebat dengannya, sebaiknya aku segera menuruti apapun permintaannya dan segera menelpon Nata. Berdebat dengannya hanya mengulur-ngulur waktuku saja.
Aku berdecak dan menutup pintu pengemudi. Berjalan cepat menuju kursi penumpang sebelah kemudi, sebelum aku sampai, ternyata Bima sudah membukakan pintu itu padaku. Aku kembali mendengus ke arahnya dan duduk dengan santai.
"Yaudah, gue antar lo dulu" aku akhirnya mengalah. Bima terlihat sangat sumringah mendengar ucapanku. Mungkin dia merasa menang telak.
Dia melajukan mobil dengan sangat pelan. Kami sudah berada di dalam mobil ini selama lima menit dan ini baru sampai di depan perumahan Jessi. Aku mencium hal-hal yang tidak beres disini, seperti kesengajaan. Saat aku melirik kesal ke arah Bima, dia seolah tenang-tenang saja.
"Pelan banget lo bawanya. Sini gue aja yang nyetir!" Aku mendongkol setengah hati kepada Bima.
Bima menoleh ke arahku dan mengerinyitkan dahi. "Yang ada kita bisa kenapa-kenapa liat sikap lo yang kayak bipolar itu!"
Aku membelalakkan mata. "Bipolar kata lo?"
"Apa dong namanya? Lo bisa jutek dan manis dalam satu waktu. Namanya apa kalau nggak bipolar"
Aku membuang wajah ke arah jendela. "Nggak mutu ngomong sama lo"
Selanjutnya perjalanan ini kami isi dengan kekosongan. Baik aku dan Bima tidak ada yang memulai pembicaraan. Untuk apa? Aku malas juga, jika akhirnya pembicaraan kami hanya mengarah pada rencana Ibu. Membuatku bisa naik spaning seketika.
Bima berdehem pelan, aku tetap tak mengacuhkannya, memandang jalan sangat sangat jauh lebih baik. "Oke" suaranya kembali terdengar. "Karena lo udah ngasih kesempatan gue buat deketin lo hari ini gue mau ngajak lo kencan. Hitung-hitung pedekate kita yang pertama"
Mendengar hal tersebut spontan membuatku merinding, tanpa kusadari dia sudah membelokkan mobil ke jalan tol. Aku tidak tau alamat Bima, jadi kubiarkan saja dia membawaku entah kemana. "Apa-apaan?" Tanggapku, berusaha mencerna apa yang baru saja dia katakana.
"Kencan" dia melirikku sekilas. "Kenapa gue nggak suka lo ngomong lo-gue sama gue. Ganti pake aku-kamu"
Aku spontan tertawa mendengarnya, benar-benar luar biasa! Dia baru saja bertemu kurang dari sebulan denganku dan berani-beraninya mengatur-ngatur hidupku sepertinya. "Nggak ada peraturan, gue nggak mau sok-sok manja sama lo"
"Biasanya juga lo pake aku kamu sama gue"
"Dulu! Sekarang udah beda"
"Apa bedanya?"
"Gue udah nggak suka sama lo" ujarku cepat, beberapa detik kemudian aku bisa merasakan aura Bima yang berubah. Namun aku mengabaikannya, aku tidak peduli.
"Terserah! Yang penting gue mau lo kencan sama gue sekarang"
Aku ingin turun dari mobil ini sekarang. Tapi strategi Bima ternyata benar-benar jitu untuk membuatku diam. Aku tidak mungkin melompat di jalan tol dengan kecepatan kendaraan diatas rata-rata seperti ini.
Aku menghela nafas pasrah, mengeluarkan ponsel dan menghubungi Nata bahwa sebaiknya dia tak menungguku untuk menemuinya.
*
Dia ternyata membawaku ke salah satu café ice cream yang akhir-akhir ini terkenal. Aku pernah kesini sekali bersama Arini. Aku sangat menunjukkan aura ketidaksukaanku saat dia memaksaku turun. Aku baru saja ingin merebut kunci mobilku tetapi dia lebih dulu memasukkannya di saku celana depannya. Benar-benar menyebalkan.
Dia menyuruh lebih tepatnya memerintahkanku untuk duduk terlebih dahulu semetara dia memesan. Aku memilih dua kursi yang berada di dekat jendela, mengarah ke parkir. Seketika bayangan kenanganku bersama Nata saat kami bersama dulu melintas di benakku.
Ah ya, kapan-kapan aku harus mengajaknya kesini.
Aku tidak tau melamun berapa lama saat seseorang menyodorkan ice cream cokelat dengan tambahan marsmallow diatasnya. Aku langsung tertegun melihatnya. Berusaha untuk mengeraskan diri, aku mengendalikan diri dan menerima ice cream yang dibawanya.
"Gue masih ingat banget lo suka sama ice cream cokelat sama marsmallow"
Aku mendengus dan mulai melahap ice cream ku. "Lo ternyata diam-diam merhatiin gue juga ya dulu"
Bima tertawa sumbang. "Lo lupa? Selama setahun maksa-maksa gue buat nemenin lo terus?"
Aku mengedikkan bahu tidak peduli dan memilih untuk menghabiskan ice creamku. Kebersamaan kami kembali diisi dengan kekosongan. Aku tidak tau apa yang salah. Jika dulu, aku terlampau cerewet, bersama Bima yang pendiam membuatku merasa biasa-biasa saja. Setelah aku berubah menjadi seperti ini, segalanya terasa canggung bersama Bima.
Aku melihat notifikasi chat di ponselku. Nata sudah membalas pesanku ternyata. Aku membuka aplikasi chatting tersebut dan kemudian larut bersama ponselku. Tidak lagi melihat Bima yang sekarang ada di depanku.
"Ta" Bima memanggilku. Aku menengadahkan kepala. "Belepotan tuh"
Aku segera menyingkirkan ponsel di tangan kananku dan mengusap sudut bibirku. Klise sekali jika saat ini Bima yang melakukannya untukku. Aku sebaiknya tidak mengharapkan apa-apa saat ini.
"Bukan disana" Bima mengulurkan tangannya padaku dan mengusapnya pelan.
Aku kaget. Kami bertatapan sebentar sebelum aku mengalihkan. Berusaha mengecek sesuatu dalam jantungku.
"Baru sekali jalan udah sentuh-sentuh lo. Nggak sopan!" Omelku, yang kembali membuatnya terkekeh.
"Lo yang kayak anak kecil. Makan eskrim aja belepotan! Ingat udah mau kepala tiga!" Dia kembali mendebatku. Aku tak mengubrisnya. Sepertinya memang ini yang terbaik saat bersama Bima, berdebat, daripada menikmati kecanggungan yang terasa mencekam.
Bahkan saat Bima mengusap bibirku seperti tadi saja, aku tak merasakan bahwa kecepatan jantungku berdetak abnormal. Semuanya benar-benar mati rasa setelah aku kehilangan Nata, dan hanya Nata yang bisa membuatku kalang kabut.
"Lo serius bim?"
Dia mengerinyitkan dahi. "Serius buat ini semua?" Tanyanya, aku mengangguk mengiyakan.
"Iyalah. Trus ngapain kita disini?"
"Lo nggak benci sama gue?"
"Kasih gue alasan kenapa harus membenci lo?"
Aku tersenyum tipis, tidak tau harus membalas apa. Aku tau sekali bahwa semua ini hanya sangat kecil kemungkinannya berhasil. Bukan keseriusan Bima atau perjuangan Bima yang membuat ini gagal, tapi diriku sendiri.
Aku tak siap menerima orang lain selain Nata.
Yasudahlah. Lebih baik aku juga turut menikmati kencan-kencan ini bersama Bima. Mungkin takdir bisa membuat jalanku lebih baik daripada hanya menjadi seorang kekasih laki-laki yang sudah bertunangan.