Aku sudah tau bahwa aku akan ditolak, oh baiklah Tita akan menolak rencana Bu Ningsih. Tapi yang paling membuatku kaget adalah aku ditolak mentah-mentah. Seolah-olah aku laki-laki paling tidak pantas untuk mendapatkannya. Pesimisme Tita yang mengatakan ini tidak akan berhasil membuatku emosi.
Bagian mana yang menurutnya tidak berhasil padahal dia belum mencoba apapun?
Seberapa besar rasa cintanya pada keluarga Liam itu?
Aku tidak peduli.
Harga diriku tercabik mendapatinya seperti itu. Benar-benar tercabik. Meskipun saat kuliah aku tidak pernah menjalin hubungan tapi setelah koas aku berhasil membangun sebuah hubungan dan bertahan selama tiga tahun.
See? Bagian mana di dalam diriku yang tak bisa diharapkan?
Setelah Bu Ningsih pulang ke rumah, aku tidak lagi bisa menemui Tita. Tidak sempat. Aku sibuk dengan jadwal praktek dan rumah sakit sedangkan dia sepertinya sibuk dengan pekerjaannya. Setelah pembicaraan dingin yang kami lakukan saat itu, aku tidak pernah lagi menghubunginya.
Sepertinya, Tita juga tak berniat menghubungiku. Dia memang tak akan melakukan pergerakan apa-apa.
Sial!
Sisi egoisku menang kali ini. Aku terbiasa dengan Tita yang selalu mengejarku, memintaku hal macam-macam dan pada akhirnya tetap kuberikan tatapan dingin. Aku merasa malu jika harus mengejar-ngejarnya sekarang.
Itu seperti hukum karma.
Sialan!!
Aku masih bisa mengingat pertanyaan aneh Tita saat kami masih duduk di bangku kuliah.
"Bim, nanti temenin aku nganter laporan bentar dong ke kos temen" Tita santai sekali menonton televisi di ruang tengah Dia duduk di lantai dan mengemil potato chips. Tita memakai kaus oblong hasil kepanitiaan yang pernah dijalaninya, sedangkan jerawat batu tampak muncul di dagu putihnya.
Aku baru saja pulang ujian Anatomi. Pikiranku ruwet. Mendapati pemandangan seperti ini di kontrakan membuat kepalaku semakin pusing.
Aku masih mencoba ramah padanya, "Kenapa nggak Rizky aja?" lemparku langsung. Aku berdiri di depan kamar, tapi urung setelah menyadari Tita masih menatapku.
"Dia masih telponan tuh, lihat! Telponan mulu tapi jadiannya nggak pernah"
Aku memandang datar gadis itu, tahu sekali bahwa dia mencoba melawak dan tak akan berhasil. Aku mendesah lelah. "Nggak ah. lagi pusing, Abis ujian"
"Yah.. kok dimintain tolong gitu sih?"
Aku menggidikkan bahu. "Sama Farhan aja bentar lagi pulang, atau Leo tuh!"
Tita tak melanjutkan aksi makannya. Aku memilih mengabaikannya dan membuka pintu kamar.
"Kamu beda banget sih sama temen jurusanku! Temenku tuh nggak pernah biarin cewek pergi malam-malam gini"
Aku menoleh kesal kepadanya. "Kenapa lo nggak minta tolong mereka aja?"
Tapi ekspresi Tita malah semakin memelas, membuatku tidak tega, aku bisa bersikap lebih dingin dari ini. Namun aku masih bisa mengingat bahwa dia adalah sahabat Rizky. Kalau tidak karena Rizky, aku sebenarnya tidak akan menurutinya.
"Jam berapa?"
Ekspresi tita berubah menjadi sumringah. "Nah gitu dong, makin cakep kan jadinya" dia memakan potatonya lagi.
"Lo kenapa sih sering banget kesini. Temen lo si jessi aja jarang banget kesini. Nggak takut lo disini kandang cowok?" omelku pelan, mengusirnya secara halus.
Tita mengacuhkanku. "Jessi sibuk pacaran, aku kan kesini juga usaha buat dapet pacar. Hehe" dia tertawa seolah-olah ucapan tadi hanyalah sebuah gossip bahwa angkutan umum sudah mulai kembali masuk kota ini.
"Becanda! Kenapa sih lo horror banget! Bosan nih, nggak ada tugas. Gini banget kan gue, bosan nggak ada tugas. Lagian kan disini ada bodyguard gue, macem-macem kalian.. hmmm" dia melayangkan tangannya di bawah lehernya, membuatku semakin menatapnya datar karena tidak mengerti.
"Oh" tanggapku malas. "Jam berapa nanti?" aku ingin segera mengakhiri percakapan ini.
Tita menatapku dengan sumringah. "Jam Sembilan"
Aku melirik jam dengan cepat. "SEMPRUL! Masih dua jam lagi! Kenapa nggak minta tolong yang lain?" aku semakin mengomel karena tau sudah dibodohi.
Tita tertawa keras. "Bodo! Yang penting kamu udah janji. Nanti sekalian antar aku pulang ya"
Menyebalkan sekali gadis ini!
"Nggak ada! gue tarik ucapan gue" aku masuk ke dalam kamar dengan cepat
"Gentle banget kamu jadi cowok! ingkar janji!" komentarnya, tahu sekali aku tidak bisa direndahkan seperti itu.
BRAK!
Aku membanting pintu kamarku karena kesal, dan yang kudengar selanjutnya adalah tawa Tita yang penuh kemenangan.
*
Aku mengusap kedua kepalaku dengan gelisah. Jika memang Tita yang saat ini adalah Tita yang dulu pernah mengejarku, kini tak ada ruginya bukan dia menjalani hubungan denganku? Atau setidaknya mencoba. Tapi dia malah menolak mentah-mentah.
Seolah-olah aku yang mengharapkan semua ini.
Memang, bodoh.
Aku menggeram kesal. Seminggu ini, beberapa kali Tita muncul di hadapanku, dia ternyata memang mengurusi proyek pembangunan rumah sakit ini. Tapi aku tidak bisa bahkan untuk sekedar menyapanya. Dia selalu berjalan dengan direktur atau wakil direktur, ataupun orang-orang yang tidak kukenali. Dia terlihat sangat sibuk sekali.
Bagaimana caranya meyakinkan Tita? Atau sekedar menemuinya?
Aku tidak mungkin kan muncul tiba-tiba di rumahnya? Hanya membuatku terlihat agresif dan tergila-gila padanya. Kalau Tita sekarang jual mahal, aku juga harus mencari cara agar terlihat mahal. Aku tidak mau jadi laki-laki gampangan.
Tapi bagaimana?
Ini benar-benar pergolakan batin paling parah di dalam hidupku. Tidak ada satu orangpun yang bisa membuatku seperti ini, tidak sebelumnya bahkan dengan mantan pacarku.
Menemui jalan buntu. Akhirnya aku menghubungi Rizky, akan lebih baik aku bertanya padanya bagaimana sebaiknya mendekati Tita tanpa terlihat gampangan. Atau apalah! Yang penting aku serius dengan ucapanku pagi itu.
Me : Woy
Rizky : whats up?
Me : gue mau nanya.
Rizky : apaan
Me : lo ada acara nggak sama tita jessi deket2 ini?
Rizky is writing a message...........
Aku menggeram karena Rizky tidak segera membalas chatku. Benar-benar teman yang tidak bisa diharapkan. Padahal saat ini aku sangat bergantung padanya, kalau mereka punya acara, aku akan datang pura-pura menemani Rizky. Hingga tita tidak akan bisa menolak lagi.
Pinter banget gue. pujiku pada diriku sendiri.
Sibuk melamun malah membuatku tidak sadar bahwa Rizky meneleponku, aku segera mengangkatnya.
"Apa?"
"Assalamualaikum. Ada apa dengan Bima?"
Aku mengerinyitkan dahi, Rizky semakin tidak jelas.
"Jawab aja. Ada nggak?"
"Gue nggak mau jawab sebelum lo jelasin! Jadi.. lo udah dapat karma?
"Apa lo bilang?"
Tanpa diduga Rizky tertawa terbahak di seberang sana. "Udah gue bilang sama lo dari dulu, Hati-hati sama karma. Kena kan lo!"
Aku mendengus kesal, bukan ini yang kuharapkan.
"Ibunya mau jodohin gue sama Tita"
"what?"
"Gue dokter ibunya Tita, trus kemarin-kemarin Bu Ningsih nanya gue mau nggak dijodohin sama Tita, coba dulu"
"Trus lo jawab iya?"
Aku berdeham pelan.
"Jadi Tita nolak lo makanya lo kalang kabut?" aku tidak menanggapi Rizky sama sekali. "mampus kan lo"
"Lo mau bantuin gue nggak?" tanyaku gerah pada akhirnya.
"Lo serius nggak nih, kalau lo Cuma bikin tita galau gue nggak mau ya"
"Gue udah bilang iya sama nyokapnya menurut lo gue nggak serius?"
"Go suka dia?"
"Salah nggak sih?"
"Ya nggak.. tapi Tita udah cinta mati sama Nataniel, Bim. Susah banget untuk ngerebut itu"
"Ah lo bikin gue pesimis aja. Mereka udah putus lama kan? Si liam-liam itu juga udah tunangan kata lo"
Rizky baru akan berbicara sepertinya kembali diurungkannya. Aku menjadi penasaran. "Yaudah, gue sama Tita janjian minggu ini buat kerumah Jessi. Ngumpul gitu. Tapi gue bawa Inke. Lo tau kan bini gue sensi banget sama mereka berdua"
Aku tersenyum lebar. Merasakan perasaan lega yang luar biasa setelah seminggu ini berkabut. "Thanks bro. jam?"
"Sepuluh"
*
Pukul sepuluh tepat, aku sudah berada di area rumah Jessi. Aku sengaja tidak menggunakan kendaraan dengan modus menebeng dengan Tita. Pokoknya hal ini harus berhasil. Aku memang menunggu Rizky di minimart depan perumahan, karena aku juga tidak tau nomor rumah Jessi. Lagipula aneh sekali kalau aku datang sendirian sedangkan cecunguk itu belum datang. Terang saja ini membuatku gugup, bertemu dengan Tita lagi setelah kami berdebat sengit minggu lalu.
Ini akan menjadi langkah besar.
Setengah jam kemudian, mobil Rizky berhenti tepat di depan minimart dan membunyikan klakson. Aku berjalan menuju ke arah mereka dengan cepat . Inke menurunkan kaca dan tersenyum padaku. "Maaf ya telat, si dedek tadi rewel" ujarnya terlampau lembut, Rizky tersenyum lebar di sampingnya.
Aku kadang heran kenapa Inke mau-mau saja menikah dengan Rizky dan menerima segala sikap absurnya.
"O.. OM!!" Denara, anak pertama Rizky yang berumur tiga tahun turut menurunkan kaca mobil di belakang, juga menyapaku.
"Hai cantik!" sapaku membuat pipi bocah itu merona. Aku gemas sekali. Aku membuka pintu belakang dan duduk di samping Denara. Bocah itu langsung duduk di pangkuanku.
Aku memang sering mengunjungi Rizky setelah selesai dari sekolah spesialis. Kadang aku menginap di rumahnya dan menjaga Denara, membiarkan Rizky dan Inke pacaran entah kemana. Rizky juga sering memintaku menjaga anaknya jika dia dan Inke sedang ada keperluan. Alasannya karena Denara memang menyukaiku dan kami sudah cukup dekat, dibandingkan teman-teman kami yang lain, yang terlampau sibuk.
Kami langsung melaju ke rumah Jessi, hal ini kembali membuat jantungku berdegup kencang. Bagaimana tidak? Kemungkinan Tita sudah datang kesana. Perkiraanku terjawab ketika melihat mobil Juke putih Tita terpakir di depan rumah Jessi. Jantungku sekarang malah tak karuan.
Kenapa aku menjadi pengecut seperti ini?
Aku turun dari mobil lebih dahulu dan turun dengan menggendong Denara. Inke turun menggendong Alya, bayi kecil mereka yang baru berusia tiga bulan, sedangkan rizky pergi ke bagasi untuk menurunkan keperluan-keperluan mereka.
Inke membuka pagar dan berjalan cepat menuju menuju pintu masuk. Dia menekan bel dengan kerepotan. Aku menunggu Rizky jalan duluan baru mengekor di belakangnya. Pintu rumah itu terbuka dengan cepat, seolah kedatangan kami memang ditunggu. Seketika aku menghentikan langkah.
Titania yang membukanya.
"Inkee!! Ditungguin dari tadi juga" dia mencium gemas Alya, dia sama sekali belum menyadari kehadiranku.
"Maaf mbak, macet banget tadi, padahal week end"
Tita menggelengkan kepalanya. "Kalau udah macet mah nggak usah di bahas!" pandangannya beralih pada Rizky dan berakhir padaku. Satu detik. Hanya satu detik, ekspresinya berubah kaget. Tapi kemudian Tita tersenyum lebar ke arah kami.
"loh... Bima juga ikut?" tanyanya seolah kami tidak memiliki masalah apapun.
"Iyaa, denara minta pacarnya ikut" jawab Rizky dengan asal, Tita hanya tertawa saja dan masuk ke dalam rumah. Membiarkanku terpaku sebentar di depan pintu sebelum mengikuti mereka semua.
Apa yang terjadi padanya?