Part 6 : Perjodohan Ibu

1607 Words
Nata : Udah sampai kantor? Aku melirik chat Nata dan menghela nafas perlahan. Aku masih marah padanya. Tidak aku masih sangat kesal padanya. Aku tidak tau kenapa aku harus sekesal ini pada laki-laki itu. Mungkin karena dia menghilang semalaman? Kenapa nggak kamu cek sendiri? Aku membalas chatnya dengan dingin. Tidak peduli emosi seperti apa yang akan ditampilkan laki-laki itu padaku saat dia datang ke kantor. Aku tidak sempat memikirkannya karena aku lebih dulu menyibukkan diri dengan rencana pembangunan rumah sakit. Aku sudah tenggelam dengan pekerjaanku saat mencium aroma aftershave memenuhi rongga hidungku. Aku menengadahkan kepala dan melihatnya tersenyum pada staf. "Pagi" sapanya, namun saat melihatku dia tersenyum miring. Aku masih kesal padanya. Aku kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan setelah itu. Tidak tau berapa lama aku bekerja, tiba-tiba wangi itu kembali bercampur dengan oksigen disekitarku. "Tania, ke ruangan saya sebentar. Oh ya, Rroyek rumah sakit akan dimulai berapa hari lagi?" tanyanya tenang seperti biasa. Aku mengerinyitkan dahi. "Tiga hari lagi, Pak" Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kita bahas ini sampai jam makan siang" aku melirik jam dinding, masih ada dua jam lagi menuju makan siang. Sebelum aku menjawab, dia sudah berjalan ke arah ruangannya. Aku menghela nafas dalam dan mendesah pelan. "Mbak Titaaa, semangat!" ujar Yoana memberiku semangat. Semua orang tahu, Nata akan bertingkah saat pembangunan akan dilaksanakan. Dia bisa membuat seluruhnya stres bukan kepalang. Selain itu, rapat dadakan dengan Nata bukanlah sebuah pertanda baik. Kemarin dia baru saja memarahiku karena kesalahan sepele. Dan oh ya, Sampai jam makan siang yang dia maksud tadi bisa menjadi setelah makan malam. Itu kadang menjengkelkan. Dan yeah, aku telah jatuh cinta pada lelaki seperti itu. Rasanya baru kemarin aku menangis-nangis menahan sakit, sekarang yang kurasakan hanya perasaan kesal padanya. Aku menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan dan membawa laptop. Aku melirik ke arah ruangan Nata dan dindingnya sudah tidak lagi transparan. Nata sepertinya memang lebih memilih untuk tidak mengganggu siapapun saat bekerja belakangan ini. Aku mengetuk pintu pelan dan masuk ke dalam ruangan Nata. Dia sudah duduk di sofa dan mempersiapkan proyektor untuk membahas proyek ini. Aku segera duduk di sofa single dan meletakkan laptop dan menyambungkan laptopku dengan proyektor. Aku mencoba bersikap biasa saja saat mengetahui dia mulai melirik-lirik tidak pantas. Aku menolehkan kepala dan kaget saat melihatnya sudah di depanku. Dia memajukan wajah dan mencium pipiku sekilas, "Pagi" sapanya sambil tersenyum tidak jelas. Aku menatapnya sedatar yang kubisa. Menahan aliran darahku jangan sampai berkumpul di wajahku. Dia masih cengar cengir tidak jelas di depanku. "Kamu serius bisa nggak sih?" tanyaku, meskipun aku tau dia tidak berniat untuk serius saat ini. ini proyek pertamaku sebagai leader-project setelah lima tahun bekerja disini. Aku tidak mau ada kesalahan apapun, sekecil apapun. Tidak mudah mendapatkan ini semua. "Aku kan udah bilang, detail yang direvisi sama anggarannya kemaren sore. Masa kamu belum ngerevisi?" ujarnya santai. Aku menghela nafas pelan. "Aku mau kamu lihat-lihat lagi. Ini project pertamaku, Nata.. aku nggak mau-" aku langsung mundur kebelakang saat Nata memajukan wajahnya. Dengan gerakan pelan aku menahan wajahnya agar tidak lebih mendekat. "Nata" tegurku pelan. Dia hanya terkekeh ringan dan memelukku erat dari samping. Kepalanya di tumpukan dibahuku membuatku ikut tersenyum akan perlakuannya. "Lepas dari ini semua, aku senang kita baikan" aku hanya diam mendengar ucapannya. Seraya mengaminkan. Aku memutar badan dan balas memeluknya. Laki-laki yang kucintai dan laki-laki yang paling kurindukan tiga tahun ini. Tiga bulan terakhir adalah masa-masa paling berat bagi kami untuk menahan diri satu sama lain. Mau bagaimana lagi? Aku tidak tau apakah pilihan terbaik atau justru pilihan terburuk yang pernah kuambil. Aku tidak ingin memikirkannya. Aku tidak ingin tau jawabannya. Setelah hari kemarin, aku baru menyadari bahwa hidupku sudah mulai kembali ceria sejak aku dan Nata berbaikan dengan cara seperti ini. Inilah hidupku. Inilah hidup yang kuinginkan. Aku menutup telinga dan mataku rapat-rapat dari semua kenyataan-kenyataan yang berada di dekat kami. Aku menginginkan Nata, dan bukan salahku, jika dia menginginkanku juga. Kami hanya menjalani hal yang membuat kami bahagia. Aku ingin egois kali ini. * Aku membuka pintu kamar inap Ibu dan kembali melihat Bima disana. Aku tersenyum ringan kepadanya. "Hai Bim!" sapaku, meletakkan tas tanganku di meja dan duduk di dekat ibu. "Baru balik, Ta?" Aku mengangguk pelan. "Macet tadi. Seharusnya udah bisa pulang jam 5. Lo rajin banget nemuin nyokap gue" aku hanya bercanda mengatakan hal tersebut. Setelah Bima tampak kaget, aku tertawa pelan. "Bercanda bim" klarifikasiku Ibu tersenyum diantara kami. "Ya rajin tho, Bima ini nemuin calon mertuanya" Aku mengerinyitkan dahi. "Arini udah putus sama Adit?" tanyaku pelan. Berpura-pura tidak mengerti dengan maksud ucapan Ibu. Aku tidak mau hubunganku menjadi canggung dengan Bima, karena ucapan-ucapan konyol Ibu. Bima tak mengubris ucapan Ibu dan hanya tersenyum, setelah itu, dia mulai membicarakan apa-apa saja yang harus ibu lakukan setelah keluar dari rumah sakit. Aku menyimak saja. Tidak berniat menginterupsi. Inilah Dokter Bima yang dulu menjadi idolaku. Aku benar-benar senang dia bisa menjadi dokter yang baik. "Baik Bu, saya permisi dulu" ujar Bima pamit, aku mengantar Bima hingga ke depan pintu. "Nduk" ibu menanggilku saat masih di ambang pintu. Aku berjalan mendekat ke arah ibu, duduk di tepi ranjang. "Kenapa, Bu? Ibu pusing lagi?" tanyaku cemas, akhir-akhir ini kekhawatiranku perihal kondisi ibu semakin memuncak. Membuatku pusing sendiri mengatur emosiku. Ibu hanya menggeleng. "Ibu mau kamu menikah dengan Bima" Aku tersentak dengan ucapan itu. Darahku berdesir cepat, sepertinya keinginan ibu untuk aku segera menikah sangat memuncak sekarang. ibu bahkan tidak mempertimbangkan lagi siapa yang akan jadi calonku dan malah memilihkannya. Apa aku menikah siri saja dengan Nata? Ini lebih gila lagi. "Ya Ampun, Bu. Ini udah kita bahas berapa kali coba. Bima itu cuma temen kuliah Tita, nggak ada yang spesial diantara kami" "Tapi kamu pernah suka kan sama dia?" Aku membelalakkan mata. "Darimana Ibu tau?" tanyaku tak percaya. "Dari nak Bima" jelas Ibu, aku mengerinyitkan dahi. Sedekat apa ibu dengan Bima, hingga bima bisa menceritakan hal-hal begitu pribadi dengan ibu. "Nggak sulit kan, suka lagi sama Bima, nduk?" Aku menghela nafas dalam. "Sulit, Bu" ujarku lemah. Apalagi sekarang Nata sudah mengisi hari-hariku lagi. "Dulu itu Tita cuma ngefans sama Bima. Nggak ada rasa cinta, Bu. Orang yang Tita cintai itu..." aku menghentikan ucapanku saat melihat ekspresi murung Ibu. "Ibu..." aku berusaha memberi pengertian. "Ini hidupku, Aku nggak bisa menyerahkan hidupku pada sembarang orang" "Kapan kamu menikah kalau gitu? Dia sudah bertunangan, Ta" Tapi dia mencintaiku Aku hanya diam. "Kamu nggak menyerahkan hidupmu pada sembarang orang. Ini Bima, lho. Sudah kamu kenal baik dari kuliah. Siapa lagi yang mau kamu cari, nak Bima sudah setuju kok." Aku mengerinyitkan dahi, setuju? "Apanya yang setuju?" "Ibu sudah bilang ke nak Bima untuk mencoba hubungan dengan kamu dan dia setuju. Dia mau dijodohkan dengan kamu, nduk. Asal kamu juga menerima" aliran darahku mengalir cepat mendengar ucapan Ibu. Aku langsung berdiri, tubuhku terasa linglung saat berdiri. Apa lagi ini? Aku kesal sekali kali ini. Benar-benar kesal, bukan hanya pada Ibu tapi juga pada Bima yang membuat harapan pada Ibu bahwa semua ini akan berhasil. Setuju? Bullshit! Aku tidak bisa menerimanya. Tidak akan pernah. Kepalaku berdenyut saat ini. "Aku nggak mau dijodohkan dengan Bima!" teriakku emosi, membuat Ibu terbelalak di tempat tidur. Seketika emosiku yang membara langsung disiram oleh air dingin. Bagian mana dari tujuan hidupku untuk membahagiakan Ibu jika sikapku seperti ini? Ibu hanya menunduk dalam, mungkin setelah selama ini baru kali ini aku meninggikan ucapanku. Aku berjalan mendekati Ibu, pikiranku begitu penuh sekarang. "Tita minta maaf bu. Tita mau, Tita mau. Tapi aku harus pastiin dulu Bima serius dengan ucapannya atau cuma buat nyenengin ibu" mendengar penjelasanku ibu pelan-pelan mengangkat wajahnya. Aku berdiri dan memeluk Ibu dengan erat. Sudahlah, yang harus kulakukan saat ini, memastikan agar Bima menolak semua ini. Aku tidak mau mengakhiri hidupku bersamanya. * "Dokter Bima" Aku berdiri di belakang Bima yang sedang mengecek entah apa di tangannya. Aku tidak peduli lagi. aku sengaja sudah siap dari pagi dan berniat menunggunya di ruangan dokter tadi, namun karena Bima tidak kunjung datang aku memilih sarapan di kantin rumah sakit dan baru kembali kesini. Bima tersenyum ke arahku, yang kutanggapi dengan senyum tipis. "Hei, Ta" sapanya, baru setelah dia memahami ekspresiku, raut wajahnya berubah. Kami keluar dari ruangan itu dan berjalan ke lorong rumah sakit yang sepi. Aku sudah tidak bisa lagi bersikap baik-baik saja disaat dia menjanjikan yang tidak-tidak untuk ibu. "Batalin" ujarku tanpa basa-basi. Bima langsung menoleh kearahku dan menatapku bingung. "Apapun yang lo bilang ke Ibu, Batalin" ujarku lagi, aku melipat tanganku di depan d**a dan menatap lurus ke arahnya. Mencoba mengirim sinyal mematikan padanya. "Apa maksud--?" "Apa maksud lo setuju-setuju aja saat Ibu mau ngejodohin kita? Lo nggak tau jawaban lo itu ngasih harapan besar ke Ibu?!" aku tidak bisa menahan emosiku. Bima hanya diam di depanku, aku tidak tau apa yang ada dipikirannya. Biar sajalah. Aku ingin dia sendiri yang membatalkan ini semua. "Gue nggak bisa batalin lagi" ujarnya, masih dengan ekspresi tegangnya. Aku menggeleng. "Gue nggak mau, Bim. Gue nggak mau" "Apa salahnya lo nyoba sama gue?" "Nggak akan berhasil!" Dia menatapku sengit. "Darimana lo tau ini nggak akan berhasil?" Aku terdiam. Pertanyaan Bima membuatku dongkol. "Buat apa lo nerima usulan ibu? Lo nggak pernah suka sama gue, dan gue juga nggak suka sama lo. Ini cuma akan ngecewain Ibu. Gue nggak mau ibu kecewa gara-gara ini!" "Kenapa lo pesimis banget sih, Ta? Lo butuh jodoh, gue juga butuh jodoh. Nggak ada yang masalah dari itu. Cinta itu bisa dipupuk" Aku menggeleng. "Nggak. Nggak akan bisa" Dia memasukkan tangannya pada jas putihnya, berdiri tegak disampingku. "Oke kalau lo mau nolak ini semua. Tapi sebelum lo nolak, kasih gue kesempatan buat meyakinkan lo kalau semua ini akan berhasil" Aku mendengus pelan. "Terserahlah!" ketakutanku dari semalam menjadi kenyataan. Bima tidak akan mundur dari ini semua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD