Part 5 : Bima - Pertanyaan Jebakan

1608 Words
CANTIK! Cantik banget Ya Tuhan. Lima tahun nggak bertemu membuat Tita semakin menawan. Dia sudah berubah dari gadis manja dan cerewet menjadi gadis yang anggun. Dari cara bicaranya tadi, dia benar-benar sudah berubah menjadi seorang wanita. Dia juga terlihat sangat menyayangi Bu Ningsih. Aku seketika tersadar, beberapa minggu lalu Bu Ningsih memang menceritakan anak sulungnya padaku yang gila kerja, saat aku bertanya kenapa selalu Arini yang menemani beliau check up. Dari sanalah pembicaraan mengenai hal-hal pribadiku dimulai. Jadi Tita yang mau dikenalkan Bu Ningsih kepadaku? Aku tanpa sadar tersenyum. Jika Tita yang tadi adalah Tita yang cerewet dan berisik seperti dulu, mungkin tak akan membuat diriku seperti ini. Namun melihatnya menggunakan kemeja pas badan dan rok span, ditambah heels hitam yang semakin memperlihatkan kaki jenjangnya, Astaga. Beresin otak lo Bim! Tapi aku tidak akan mengelak lagi sekarang. Dulu, Tita kurus sekali, katanya bawaan tugas yang banyak dan tidurnya yang tidak teratur. Dia susah gemuk. Sekarang badan Tita jadi jauh lebih berisi. Jerawat-jerawat di wajahnya hilang entah kemana. Tita dulu memang tidak sejelek itu sih, dia cukup menarik tapi tidak cukup untuk menarik perhatianku. Tapi tadi... Aku menggeleng pelan. Ini mungkin bawaan karena aku sudah lama tidak bertemu Tita, atau karena memang dari dulu mataku sudah tertutup dari pesonanya? Jujur saja, pertemuanku kembali dengan Tita tadi membawa dampak buruk bagi pikiranku. Wajah Tita yang penuh keringat dan masuk ke dalam ruangan dengan terengah tadi membuatku.... Aku benar-benar harus mengumpat sekarang. Pantas saja teman-temanku kemarin tidak bisa berhenti membicarakannya. Mungkin Rizky harus memasang kuda-kuda pada cowok-cowok yang berani mendekati sahabatnya itu. Rizky memang terserang friendship-complex. Aku sudah selesai melakukan visit. Mungkin aku harus mengunjungi Bu Ningsih untuk bertanya keadaannya. Bukan karena ingin bertemu Tita, tapi karena Bu Ningsih adalah pasienku yang berarti juga tanggung jawabku. Kalau bertemu lagi dengan Tita, itu bonus bukan? Hehe Aku mengenyahkan pikiranku itu dan fokus untuk berjalan. Kamar inap Bu Ningsih sudah mulai terlihat. Aku mempercepat langkahku, semakin cepat aku bertanya keadaan beliau, semakin cepat aku pulang. Aku menghentikan langkahku saat terlihat seseorang keluar dari ruangan itu. Jantungku berhenti berdetak saat melihat Tita yang keluar. Dia tampak tak menyadari kehadiranku. Pandangannya kosong, dibandingkan siang tadi, penampilannya sekarang tampak jauh lebih lelah. Dia melangkahkan kaki dengan meringis, memilih duduk di tempat duduk di depan ruangan tersebut. Kemudian, dia melepaskan heelsnya dan memijit perlahan tumitnya. Sepertinya kakinya kesakitan karena mengenakan heels seharian. Tiba-tiba aku menjadi gugup, entah dorongan darimana aku ingin menyapanya. Tapi sepertinya dia belum juga menyadari kehadiranku. Kenapa aku menjadi pengecut seperti ini? Tanpa membuang-buang waktu aku melangkahkan kaki mendekatinya. "Ta..." panggilku pelan, membuatnya kaget dan terlonjak sedikit. Rambutnya yang tergerai kini sudah dikucir kuda, ada kesan imut yang terlihat sekarang. TIta berusaha tertawa. "Bikin kaget aja lo, Bim" tapi semua itu tak menghapus wajah lelahnya. Aku duduk disampingnya. "Bim, gue nggak nyangka lo yang jadi dokter nyokap gue" Lo Tita yang dulu selalu menggunakan aku-kamu kepadaku. Dulu aku tau itu hanya modusnya supaya lebih manja dan dekat kepadaku. Sekarang, mendengar panggilannya seperti itu, aku tau sekarang memang Tita tak ada lagi perasaan apapun padaku. Aku merasakan kekecewaan. Hanya sedikit. "Kenapa? Karena gue baru ya? Lo nggak percaya sama kemampuan gue?" Tita tertawa dan mengibaskan tangan. "Bukan! Bukan! Lo ini negative-thinking aja sih. Gue yakin banget lo pinter dan bisa nolongin banyak orang" Darahku berdesir karena pujiannya. "Tapi Bim....." dia menatap datar padaku. Membuatku sedikit kaget karena ini pertama kalinya Tita menampilkan ekspresi datar. Dulu, dia sering memang berekspresi kesal dan datar bersamaan saat Farhan menggodanya, tapi tidak pernah sedingin ini. Aku sibuk memandang wajahnya sedangkan dia mungkin sibuk mengatur emosi di dalam dirinya. "Nyokap gue baik-baik aja kan?" lanjutnya setengah berbisik, seolah-olah tidak ada lagi orang yang bisa dia percaya di dunia ini. Aku hanya mengangguk. "Iya, nggak ada masalah serius asal makannya dijaga terus" Ekspresi Tita berubah menjadi santai. Baru saat aku akan mengajukan pertanyaan, seorang perawat datang tergesa-gesa menuju kami. "Dokter ngga dengar alarm cito?!" Aku langsung berdiri dan menghampiri perawat itu, baru beberapa langkah aku melihat Tita menatapku dan perawat itu. kenapa lo lupa pamit sih, Bim?! "Duluan, Ta" Tita hanya mengangguk pelan sebelum mengalihkan pandangan kearah lain. Detik itu juga, aku benar-benar merasa bahwa Titania yang sekarang bukanlah Titania yang mengejar-ngejarku dulu, yang berlama-lama di kontrakan hanya untuk bertemu denganku ataupun yang paling agresif mendekatiku. Titania yang sekarang adalah Titania yang belum pernah kukenal. * Aku mengetuk kamar inap Bu Ningsih beberapa kali sebelum masuk. Ibu itu sedang menyantap sarapan paginya sambil menonton TV. Arini dan Tita sepertinya sudah pergi bekerja sehingga beliau seorang diri di ruangan. Waktu visit-ku memang dua jam lagi. Aku sengaja ingin pergi ke ruangan Bu Ningsih untuk menyapa beliau. Sekaligus modus ingin melihat Tita. Bu Ningsih tersenyum ramah ke arahku. Dari semua pasienku, aku paling menyukai Bu Ningsih. Ibu ini memperlakukanku seperti anaknya, tidak terlalu cerewet. Pokoknya, begitu menyenangkan berinteraksi dengan beliau. Bukan karena aku pilih kasih, hanya saja, jika ada pasien terfavorit aku akan memilih Bu Ningsih. "Ibu sudah nggak pusing lagi?" aku berdiri di ranjang sebelah kirinya. "Baik banget, dok. Saya merasa udah sehat" Aku tertawa pelan. "Tapi Ibu harus tetap disini loh, sampai tiga hari kedepan. Memastikan gula darah ibu nggak naik lagi" Ibu Ningsih hanya mendengus saja. "Nak dokter mau buah?" Aku menggeleng pelan. "Nggak Bu, ibu saja yang makan. Saya kesini cuma mau melihat kondisi ibu saja. Saya akan visit dua jam lagi" ujarku ramah, memang hanya inilah yang ku harapkan dan datang kesini, emang lo mau apa lagi dungu? Suasana hening kembali saat Ibu Ningsih melanjutkan sarapannya. Aku memperhatikan gerak-gerik beliau, memastikan bahwa stroke ringan yang terjadi kemarin sudah sembuh sepenuhnya. "Dokter Bima, temennya Rizky ya?" Tanya Ibu Ningsih memulai obrolan lagi. Aku duduk di kursi di samping tempat tidur. "Iya, Bu. Saya teman satu kontrakannya" "Berarti sudah lama kenal Tita?" Aku hanya diam sebentar, menebak-nebak ke arah mana pembicaraan ini berlanjut. "Sudah, Bu" Bu Ningsih tersenyum pelan. "Rizky itu teman Tita yang paling bawel dan santun. Sayang sekali Tita nggak mau bersamanya" Tidak jodoh. Aku terkekeh pelan. "Saya juga suka nak Bima yang jadi temannya Tita" aku membelalakkan mata. "Sejak lulus kuliah dan bekerja, Tita jadi anak yang ansos. Nggak pernah lagi cerita tentang teman atau bawa temannya ke rumah. Jadi Ibu agak khawatir..." "Tita punya teman-teman hebat kok, Bu. Mungkin karena bawaan sudah dewasa dan sibuk, jadinya nggak pernah lagi main ke rumah" Ibu Ningsih tersenyum. "Semoga ya. Saya itu selalu khawatir sama dia, tapi dia nggak pernah khawatir sama dirinya sendiri. Sejak ayahnya pergi, yang ada di pikirannya cuma kerja dan cari uang supaya saya sembuh" Aku tersenyum pelan mendengarnya. "Kalau saya kenapa-kenapa. Nak Bima, mau kan menjaga Tita untuk saya?" Jujur saja ucapan itu membuat sistem apapun dalam tubuhku berhenti. Jantungku berdebar cepat. Tiba-tiba saja aku merasakan khawatir yang luar biasa. Juga merinding. "Jangan bicara begitu, Bu. Umur memang ngga ada yang tau, tetapi kita bisa mengusahakan yang terbaik" Ibu Ningsih terkekeh pelan, seolah yang beliau ucapkan tadi itu bukan apa-apa. "Saya mau menjodohkan Tita dengan Nak Bima, kalau Nak Bima nggak keberatan dan kalau belum ada pasangan juga" Aku kehabisan kata-kata, tidak enak juga kan menolak ini? "Nak Bima jangan menatap horror saya seperti itu. Pertimbangkan saja dulu, Tita bukan pilihan yang buruk lho. Dia pintar masak dan mengurus rumah. Hanya... ya kepribadiannya saja yang agak bermasalah" Ibu Ningsih kembali tertawa, aku ikut tertawa mendengarnya. Melihat Ibu itu tertawa membuat perasaanku yang tadi dingin menghangat. Aku hanya pernah merasakan ini kepada Mama. Perasaan ingin melindungi dan ingin menuruti apapun permintaannya. Ibu Ningsih membuat aku merindukan Mama yang berada di kampung halaman kami. Sepertinya, aku harus mempertimbangkan pulang kampung segera. Dan... "Gimana nak Bima?" Aku tersenyum pelan dan berdiri. "Baik bu, akan saya pertimbangkan" jawaban itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku tau Tita akan menolak semua ini, namun biar sajalah. Mencoba tidak ada salahnya bukan? * Pucuk dicinta ulampun tiba. Aku hanya berniat mencari buku-buku kedokteran di toko buku mall ini kemudian pulang. Namun melihat siapa yang tengah mengantre di salah satu kafe donnuts dan coffee di lantai dasar, aku membelokkan keinginan untuk kesana juga. Sepertinya aku sudah mulai gila akan semua ini. Aku tidak tau kenapa bertemu dengannya membuatku bersemangat akhir-akhir ini. "Ta" sapaku menyapanya dengan menepuk bahunya. Dia terkesiap dan membalikkan badan, saat melhatku senyumnya merekah. "Lo hobi banget ngagetin orang!" Aku menikmati pemandangan di depanku dengan tersenyum. "Ngapain?" tanyaku, semoga Tita berniat untuk nongkrong dulu disini. "Nih beli donat buat Arini habis meeting. lo?" Aku menatapnya kecewa. "Oh.. take away?" Kenapa aku harus kecewa? Tita mengangguk pelan. "Lo mau take-away juga?" Aku memikirkan cara untuk mengajaknya duduk-duduk dulu. Namun ucapan yang terucap dimulutku sudah mencuri start akal sehatku. "Niatnya duduk dulu, mau nemenin gue?" Tita mengerinyitkan dahi dan menatapku aneh, membuatku sedikit risih. "Wow" ujarnya penuh takjub. Dia belum mengucapkan apapun karena kami memesan pesanan. Aku tersenyum lega melihatnya jalan duluan dan duduk disalah satu kursi. Hatiku bersorak riang tanpa kusadari. Aku memesan Americano dan segera menyusul Tita, duduk didepannya. Dia memandangku dengan senyuman geli. Ini juga membuatku kembali risih. "What?" Dia menggeleng saja. "Nggak..." dia kembali tertawa. "Kalau lo bilang kalimat tadi enam tahun yang lalu, gue pasti langsung sorak-sorak gembira" dia kemudian terkekeh pelan. "Gue masih ingat banget lo nolak gue mentah-mentah kalau gue udah minta temenin sana-sini" Yah.. Ta, itukan dulu. Sekarang lo mau kemanapun pasti gue temenin. "So, what's up, Bima? Lo baru sadar gue mempesona sekarang?" Aku mendengus mendengarnya. Ternyata sikap narsisnya masih tidak hilang dari dulu, "Iya Ta. Lo mempesona banget sekarang" Dia kembali tertawa, seolah-olah ucapanku itu hanyalah informasi doraemon gagal diet dan badannya masih gemuk. Tidak ada rona malu atau kemerahan di wajahnya. Dia tertawa seolah aku pembual ulung professional. Ta, gue serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD