Part 4 : Bertemu Bima

1572 Words
"Lo kemarin datang nggak sih Tan, ke pertunangan Bos kedua?" Sonny datang ke kubikelku saat aku baru saja sampai ke kantor. Aku melepas syal di leherku dan membuka blazer. Melirik ruangan Nata sebentar baru menjawab pertanyaan Sonny. "Dateng, kok" ujarku mencoba santai. Mengingat hal yang terjadi di pesta pertunangan Nata bisa kembali membuat jantungku terasa di remas. "Kita nggak lihat" Aku mendengus pelan. "Gue juga nyari-nyari kalian. Tapi nggak ada, yaudah abis salaman, gue pulang" jelasku padanya. Yoana ikut bergabung bersama kami setelahnya. "Gila! Tajir banget ya keluarga mereka" aku tersenyum tipis menimpalinya. "Abis ini nikah deh si Bos, langsung diangkat jadi Direktur" ini bukan gosip baru lagi diantara kami. Nata memang dikatakan akan menjadi direktur setelah dia menikah. Tapi sepertinya itu bukan hal yang aneh lagi mengingat dengan jalan hidup yang dipilih oleh keluarganya. Aku melirik lagi ke ruangan Nata, kalau sampai dia diangkat jadi Direktur, aku tidak perlu repot-repot menabahkan hati lagi bertemu dengannya. Ruangan direktur memang berbeda dengan ruangan ini, berada tepat di sebelah ruangan kami, dilanjutkan dengan ruang meeting. Tentu saja, Direktur tidak akan langsung berhubungan dengan staff-staffnya karena sibuk mengurusi masalah eksternal. Semakin cepat dia menikah, malah semakin bagus bagiku. "Sonny, laporan minggu lalu sudah selesai?" suara itu membuat kami bertiga mengalihkan pandangan. Nata baru datang ternyata, dengan jas yang dilipat dan diletakkan dilengannya. Aku menunduk seketika dan berpura-pura membuka laci untuk mengerjakan apapun. Yoana hanya berdiri di kubikelku melihat Sonny melakukan apapun. "Titania, tolong ke ruangan saya sebentar" dia melirik ke arahku dan seketika aku mengerinyitkan dahi. "Baik pak" Aku menatap ruangan Nata dengan bingung, dinding ruangannya sudah diatur tidak transparan lagi, membuatku curiga ini bukan percakapan akan pekerjaan. Biasanya, jika menyangkut pekerjaan, Nata akan tetap membiarkan dindingnya menjadi transparan. Aku yakin sekali pembicaraan ini mengarah pada pertunangannya. Aku langsung mengetuk pintu ruangan itu dan masuk. Aku melihat Nata berdiri di depan mejanya dan menatapku. Kali ini, tatapannya sangat kesal. orang butapun akan tahu kalau dia sangat kesal saat ini. aku menutup pintu sebelum berjalan mendekatinya. Saat mendengar bunyi click otomatis, aku baru membelalakkan mata. Nata mengunci pintu otomatisnya dengan remote control. Ini sudah tidak bisa dibiarkan. "Ada apa?" aku tidak perlu berbasa-basi dan bersikap professional saat aku benar-benar tau dia ingin melakukan apa saat ini. Nata memang tak pernah berubah, dia masih sangat mudah dibaca. "Apa maksud kamu pergi sama Andreas kemarin?" Aku mengerinyitkan dahi mendengar suaranya yang sekarang menahan amarah. Sesaat setan di dalam badanku bersorak gembira karena menandakan kecemburuannya, namun aku masih memiliki malaikat yang masih meletakkan kewarasanku di tempatnya. "Ada masalah, Pak?" tanyaku masih bersikap sopan, dia berjalan mendekatiku dan berdiri menjulang di depanku. Wangi parfum aftershave nya langsung memenuhi indera penciumanku, wangi parfum yang dari dulu bisa membuatku kehilangan kesadaran. Dulu aku suka mengendus bau itu dengan memeluknya. Sialan! Aku benar-benar gadis amoral jika didekatnya. "Kamu tau Andreas itu playboy! Kalau dia—" Aku memberanikan diri menatapnya. "Kalau dia kenapa? Dia sahabat bapak" tantangku. Nata mengusap wajahnya dengan gusar sebelum menghempaskan diri pada sofa di sebelahnya. Aku masih diam di tempatku. Tak akan goyah untuk menenangkannya. "Saya pikir pembicaraan ini sudah selesai. Bisa Bapak buka pintunya sekarang?" aku tau akan menyulut emosinya saat ini. namun aku juga tidak punya pilihan, berdua-duaan dengan Nata saat perasaan kami masih menggelora satu sama lain akan menyebabkan masalah lain. Aku berjalan menuju pintu, mengabaikan apapun emosi yang dirasakannya sekarang "Aku kangen, Tan" Aku menghela nafas dalam. Seharusnya kubalas, aku juga. "Maaf?" aku membalikkan badan. Saat itu, aku baru menyadari bahwa pilihanku benar-benar salah. Bukan Nata yang tegas dan angkuh saat dia presentasi, bukan lagi Nata yang menyenangkan saat menghadapi stafnya. Aku hanya menemukan Nata yang t***l karena cinta. "Kamu bersikap begini cuma bikin masalah lain, Nata" aku mengeraskan rahangku, sekalipun aku ingin memeluknya sekarang. aku harus bisa mempertahankan diri. "Aku bisa apa Tan? Aku nggak bisa suka sama Saras" "Apa saya harus mengajukan surat pindah atau pengunduran diri?" tanyaku langsung. Nata menatapku dengan tajam. "Don't you dare!" Lalu aku harus apa?! Aku geram. Mengerti dengan apa yang diinginkan Nata jauh lebih pelik daripada mengetahui keinginan klien. Dia tau dengan pasti bahwa kami tak bisa lagi bersama, dia tau dengan jelas alasannya. Bersikap bodoh seperti ini hanya akan membuat masalah lain pada orang-orang sekitar kami. "Aku pikir tiga tahun pergi bisa membuat aku melupakan kamu. Nggak ada yang berubah" Sama. "Lalu kamu mau apa sekarang?" "Kamu! Aku mau kamu Tania. Aku nggak mau orang lain selain kamu!" ujarnya frustasi. Konyol. Dia baru saja bertunangan tiga hari yang lalu dan sekarang berani-beraninya dia memintaku untuk berada disisinya. Memangnya aku bodoh? Tidak perlu dijawab orang lain akupun tau jawabannya. Kami bodoh karena masih saling mencintai, padahal jelas, tidak ada lagi kemungkinan akan itu semua. Aku pikir suasana hatiku akan membaik pagi ini, namun ternyata sama saja saat aku menghadiri pesta pertunangannya. Aku tidak tau apa yang lebih sakit, menyadari bahwa orang yang dicintai bersama orang lain, atau mencintai satu sama lain tapi tidak bisa bersama. * Sibuk memikirkan pembicaraanku dengan Nata tadi pagi membuatku tak menyadari teleponku sudah berdering. Aku masih sibuk melamun tanpa mendengar apapun. "Mbak Tania, hpnya diangkat" ucapan Yoana menyadarkanku. Aku menatap layar ponsel dan melihat nama Arini tertera disana, tanpa pikir panjang, aku langsung mengangkat telepon tersebut. "Mbak.. gula Ibu Naik" What the....! Aku langsung mematikan telepon dan membereskan barang-barangku. Sebentar lagi makan siang, tidak masalah sepertinya kalau aku lebih dahulu keluar. Aku mengambil tas, segera berpamitan pada Yoana dan Sonny untuk mengatakan pada Bos bahwa aku izin lebih dahulu. Aku tidak bisa berpikir dengan jernih lagi sekarang. sejak setahun yang lalu, Ibu divonis menderita diabetes, membuatku kalang kabut untuk mencari pengobatan terbaik untuk Ibu. Aku tidak akan masalah bekerja lebih lama untuk mendapatkan uang pengobatan. Namun, Ibu tidak mau dibawa ke luar negeri untuk pengobatan yang lebih baik. Ibu lebih memilih untuk tetap disini. Kata Ibu, kematian sudah sejak kita di dalam kandungan, tidak perlu membuang-buang uang untuk sesuatu yang sudah pasti. Aku ketakutan. Tentu saja, terlebih setelah diabetes, Ibu sering mengalami stroke ringan. Membuatku menjadi lebih gila lagi. aku tidak tau hubungan diabetes dengan stroke, atau memang Ibuku yang malang itu harus mengalami keduanya sekaligus. Aku menekan pedal gas dengan lebih kencang tanpa sadar. Memikirkan bahwa Ibu akan segera meninggalkan aku dan Arini membuat seluruh badanku menegang. Aku tidak mau Ibu pergi sebelum aku menikah seperti ayah. Aku tidak mau! Aku sampai di rumah sakit tempat Ibu berobat dan segera memarkirkan mobil. Aku berlari menuju kamar rawat Ibu yang sudah diberitahu Arini. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang yang tidak peduli dengan kakiku yang sakit karena berlari menggunakan heels. Ibu lebih penting sekarang. Aku membuka kamar rawat inap itu dengan cepat. Itu kamar rawat biasa, yang berisikan dua orang. aku mengerjap sebentar dan melihat Ibu sudah duduk dan berbicara dengan seorang dokter. Mungkin dokter yang menangani Ibu. Aku memang tidak pernah menemani Ibu check up setelah Ibu pindah rumah sakit, karena aku terlalu sibuk mengurusi beberapa proyek. Tanpa sadar aku menghela nafas dalam. "Mbak..." aku sibuk mengatur nafasku dan melirik ke belakang. Tampak Arini telah menebus obat-obat Ibu karena tangannya penuh dengan obat-obatan. Aku bisa merasakan diriku sudah tidak setegang itu. aku mengalihkan pandangan pada Ibu, mengabaikan dokter yang ada disebelahnya. "Ibu bikin Tita jantungan Bu. Jangan gini lagi" Diluar dugaanku, Ibu terkekeh. "Arin aja yang bikin kamu panik. Ibu udah bilang sama dia kalau ngasih tau kamu nanti saja" Aku mendengus. "itu malah bikin aku ngamuk" Arini terkekeh di belakang. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. "emangnya nggak ada yang VIP, Rin? Kalau berdua gini kan nggak leluasa" aku mengomentari kamar yang dipilih Arini. Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, aku baru bisa melihat wajah dokter yang menangani Ibu tadi. Aku terpaku. "Full, mbak. Besok baru ada yang kosong" Aku segera mengalihkan pandangan ke Arin. "nanti aku bilang sama wakil direkturnya" ujarku cepat. "Emangnya mbak siapa? Bisa nemuin wakil direktur rumah sakit?" Arini mencibir dan duduk di samping Ibu, Ibu hanya tersenyum mendengar percakapan kami. "Jangan salah ya kamu. Mbak-mu ini yang ngurus proyek rumah sakit ini" ujarku kemudian tertawa, aku bisa lega sekarang karena tidak ada masalah serius. Itu memang benar, perusahaan kami yang mendapatkan tender untuk membangun rumah sakit ini, pembangunannya akan dijalankan mulai minggu depan. Proyek yang membuatku stress belakangan ini. "Mbakmu itu sibuk terus ngurusin proyek, sampai-sampai jodohnya nggak ketemu sampai sekarang" Aku mencibir dengan ucapan Ibu. Kemudian mengalihkan pandangan ke arah dokter tadi, yang masih tersenyum mendengar interaksiku dengan Arini. Aku yakin tidak salah orang saat melihatnya lagi. "Apa kabar, Bim?" Sapaku padanya. Bima tersenyum ringan. "Aku pikir kamu lupa denganku, Ta" Mana mungkin aku bisa melupakannya. Aku hanya bisa tersenyum menjawab ucapannya. Dibayanganku aku bisa melihat bima dengan kemeja santai yang selalu dikenakannya saat kuliah dulu. "Baiklah, mungkin kita bisa mengobrol kapan-kapan. Saya harus visit dulu" ujarnya pamit, aku mengekori bima dengan tatapanku. Bertahun-tahun tidak bertemu membuatnya semakin tampan saja. "Kalian sudah saling kenal?" Aku mengangguk pelan. "Dia teman satu kontrakannya Rizky dulu, Bu" Rizky itu adalah sahabatku semasa kuliah yang juga satu SMA denganku. Ibu tersenyum pelan. "Dia baru selesai spesialis penyakit dalamnya loh, Ta. Anaknya baik dan sopan. Ibu mau punya mantu kayak Bima, Ta" Aku memutar bola mataku. "Yaampun, Bu. Kita cuma temen kuliah" "Kamu harus temenin Ibu kalau check up mulai sekarang. Nak Bima itu juga masih single, siapa tau cocok denganmu" Aku diam saja dan menatap Arini yang menatapku geli. Aku menghela nafas pasrah dan duduk di tempat tidur Ibu. "Iya, Bu. Yang penting Ibu sembuh" aku menjawab dengan pasrah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD