Part 3 : Bima - Rizky Sialan

1390 Words
"Bro" Tepukan itu membuatku menoleh dan mendapati Rizky sedang nyegir bebas di belakang. Entah apa yang dipikirkannya. Masa bodoh. Kita memang janjian di coffee shop ini sehabis mereka pulang ngantor, karena aku sudah tidak ada visit lagi, jadilah aku datang lebih dahulu. Selain Rizky, dibelakangnya ada Farhan, Leonel dan Abimana. Empat cecunguk itu adalah temanku saat kuliah dulu. Kami memang mempunyai jurusan yang berbeda, namun dipertemukan oleh Rumah Rindu. Sebuah kos-kosan lima kamar yang akhirnya kami kontrak sebagai rumah. Ibu kos waktu itu bisa tergoda oleh rayuan Abi. Ngomong-ngomong, arti dari Rumah rindu itu sendiri adalah... Rindukasih sayang. Aku ingin muntah. Grup w******p kami memang dinamai itu. Leo yang menamainya. Aku sebagai bocah lugu dulu hanya menurut saja, tanpa tau benar-benar arti sesungguhnya dari nama grup itu. Sudahlah. Kenapa jadi bahas nama grup w******p? "Udah jadi dokter masih culun aja lo" Leo mengamati penampilanku, aku memang memakai kemeja putih dan celana bahan navy. Dibandingkan dengan mereka yang memakai jas saat akan pergi ke kantor, aku tidak mempedulikan baju yang kupakai karena akan tertutupi oleh jas putih. Jas putih kebanggaanku. Bukan salahku aku bangga sekali menjadi dokter, bisa lulus lebih cepat dan kemudian mengambil program spesialis. Saat sekolah aku masuk kelas akselerasi. Sekarang usiaku belum dua puluh delapan tahun tapi aku sudah satu tahun bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam di sebuah rumah sakit swasta. Thanks to My Geek. Aku melihat Rizky sedang senyam-senyum sendiri menatap layar ponselnya. Mungkin sedang dikirim foto anak mereka oleh istrinya. Bapak beranak dua itu memang lebih matang dari kami, diantara kami, hanya Rizky yang sudah punya anak. Leo yang sudah menikah tahun lalu, istrinya belum hamil-hamil. Sedangkan aku, Farhan dan Abi masih betah kekurangan kasih sayang. "Senyam senyum aja lo kayak orang gila" aku mencibir Rizky yang semakin bertingkah aneh. "Dikirim Inke foto topless ya bro?" timpal Farhan, yang membuat kami seketika tertawa. Rizky langsung membelalakkan mata. "Asem lo! Pengen ya? Makanya kawin!" balasnya tidak terima. Aku mendengus saja melihat interaksi mereka, tanpa berminat sedikitpun menimpali. Rizky kemudian menyodorkan ponselnya kepada kami. "Si Tita lagi ngigau di grup" Nama itu membuat darahku berdesir. Titania Kiaraswari. Sudah terlalu lama rasanya aku tidak melihat sahabat Rizky itu. Rizky, Tita dan Jessi memang teman satu SMA, satu universitas dulu di Jogja membuat mereka membuat geng tersendiri dan akhirnya bersahabat hingga sekarang. "Tita makin cakep, bro" ujar Farhan membuka foto profil Tita di ponsel Rizky. Belum aku melihat, Rizky langsung mengambil ponsel itu cepat. "Jangan macem-macem lo sama adek gue" Farhan mencibir. "Halah Adek! Dulu juga lo suka" Rizky hanya tertawa cekikikan, "Sayangnya dia nggak suka gue. sukanya sama si gagu ini" aku mendelik saat Rizky menatapku dengan tatapan tidak berdosa. Aku mengabaikannya. Sudah terlalu sering mereka bersikap seperti itu. Dari dulu. "Tapi lebih sayang lagi, Tita udah nggak suka sama lo. Dia naksir berat sama rekan kerjanya. Udah tiga tahun putus, masih aja belum move on" Aku mengerinyitkan dahi, tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Sejak Koas, aku tidak pernah lagi mendengar kabar Tita baik dari Rizky maupun yang lain. "Maksud lo, yang dari Keluarga Liam itu? Gue pernah mergokin mereka pacaran dulu" ujar Abi seolah dia presenter acara gossip dan semakin membuatku tidak mengerti dengan pembicaraan ini. "Liam? Buju buneng, hebat banget si Tita dapet konglomerat! Liam group itu juga salah satu investor di perusahaan gue!" "Wow" Farhan menjadi lebih tertarik. "Nggak heran sih. Dia kan kerja disana. Dulu pas kuliah Tita biasa aja, anak teknik bro. Tapi waktu gue ketemu satu tahun yang lalu di Bali, Tita jadi cakep banget" "HEH! Yang kalian omongin sohib gue!" Rizky tampaknya sudah tidak tahan dengan obrolan teman-teman kami. Aku terkekeh sendiri mendengarnya, tidak heran Rizky sangat protektif dengan Tita, dia memang sudah terbiasa seperti itu, sampai-sampai dulu sewaktu awal-awal menikah Inke marah besar karena saat mereka bertengkar si bodoh Rizky ini datang ke apartemen Tita untuk mengadu. Aku geli sendiri mengingatnya. "Trus gimana? Jadi nggak dia masuk keluarga Liam? Lumayan bro, nikahannya kita datang" Rizky mengambil tisu dan melemparnya ke arah Farhan. "Udah putus gue bilang. Nggak direstui" Abi mengangguk-angguk. "Agak susah sih, kalau diterusin" "Tapi Tita pinter banget bisa masuk itu perusahaan, bersih tanpa ikatan darah" Rizky menyesap kopinya dan melihatku sekilas. Aku mengedarkan pandangan kesana-kemari untuk melihat apapun. Jujur saja, aku tidak tertarik dengan topik Tita dan anak konglomerat. Terserahlah, semua orang mempunyai jalan hidup sendiri-sendiri. Termasuk Tita. Apapun yang dia lakukan sekarang, tidak akan membuatku tertarik, sama seperti dulu. "Sekarang dia single dong?" pertanyaan itu ternyata masih bisa diserap telingaku. "Masih. Lo mau sama dia? Deketin lah! Gue kasian, dia nggak move on-move on" ujar Rizky kembali. Farhan tertawa. "Sekarang standar Tita mah bukan si gagu ini lagi, masalahnya ini dari keluarga Liam. Gue angkat tangan!" "Dia nggak matre kali!" bela Rizky. Farhan mencibir, "Bukan masalah itu!" "Gue kemaren chat sama Tita, dia welcome-welcome aja kok" "Yaudah, lo aja yang deketin!" ujar Leo santai. "Si gagu ini aja nih. Dari tadi diam aja. Makin gagu ya lo?" Aku meringis dan tertawa kecil. Entah kenapa dari dulu, segala topik tentang Tita tak begitu berarti bagiku. Aku tidak tau apa yang salah. Dulu, Tita memang biasa saja, tidak cantik namun aura keanggunan masih bisa kulihat. Tidak heran banyak yang tergila-gila padanya saat ini, saat dia sudah bisa merawat diri. Namun, entah kenapa aku merasa Tita kurang menarik saja. Aku juga tidak tau kenapa. "Bima kan, diam-diam dulu suka Tita" Rizky tertawa setelah mengucapkan hal tersebut, membuatku menggelengkan kepala cepat. "Enggak! Enak aja lo! fitnah!" Mereka hanya tertawa cekikian. "Beneran lo nggak suka Tita" Aku mengerinyitkan dahi. "Nggak!" ujarku tegas. "Meskipun lo udah liat dia yang sekarang?" Aku mengangkat bahu, obrolan tentang Tita tak lagi berlanjut karena pelayan mengantar pesanan Abi dan Farhan. Setelahnya kami membicarakan topik-topik lain, seperti pekerjaan dan beberapa masalah politik yang sedang marak. Aku menghela nafas entah untuk apa. * Obrolan Tita ternyata masih berlanjut saat Rizky mengantarku pulang. Aku memang tidak membawa kendaraan saat ini. satu hal, macet saat pagi. Lagipula, apartemen yang kutinggali tidak begitu jauh dari rumah sakit, aku lebih biasa menggunakan ojek-online atau KRL, supaya lebih cepat sampai. "Bro, gue mau beli kado dulu buat anak Jessi, nggak apa-apa kan?" Aku tertawa. "Kayak sama pembantu aja lo segan!" "Lo kan emang pembantu gue" "Bangke!" Rizky tertawa pelan. Jam sudah menunjukkan pukul delapan dan dia berhenti di depan sebuah mall besar di kota ini. aku turut turun, baru mendengar Rizky bercelutuk. "Iya, gue bentar lagi otw, lagi nyari kado. Lo disitu aja, nanti pulang bareng gue!" Rizky menutup pintu mobil dan berjalan masuk ke mall tersebut. "Lo udah tau tempatnya?" "Udah, Inke biasa beli disini. Kira-kira buat anak dua bulan dikasih apa ya?" Aku mengerinyitkan, "Mana gue tau! Gue belum punya anak" "Makanya bikin" Rizky tertawa puas dengan ucapannya. "Gue lupa nanya lagi sama Tita dia beli kado apaan!" Rizky mulai menggerutu pelan. Dia mengeluarkan ponsel dan mulai melihat-lihat perlengkapan bayi. "Bim, lo chat si Tita deh, tanyain dia bawa apaan" Rizky menyerahkan ponselnya padaku. "Kenapa nggak lo aja?" "gue mau lihat ini dulu" dia memperlihatkan stroller bayi yang dari tadi diliriknya. Aku menghela nafas dan mulai mengetikkan pesan kepada Tita. Foto profil yang ditampilkan Rizky tadi langsung mengundang perhatianku. Rizky A Ta, lo beli apaan buat anak Jessi? Titania Baby Carrier. Lo jangan beli itu juga. "Dia beli baby carrier" Rizky hanya sibuk memandang stroller tadi, tidak mengubrisku. Baru setelah mendapat anggukan pelan –entah untuk karena apa- aku melirik lagi ponsel Rizky yang masih berada di genggamanku. Jariku tergelitik membuka foto profil Tita. Dia mengenakan baju kasual bunga-bunga yang berpose di pinggir pantai, senyumnya sangat lebar dan tanpa beban. Kacamata yang dulu bertengger di hidungnya kini sudah tidak terlihat lagi. Badannya yang dulu jauh lebih kurus sekarang sudah sangat berisi, apalagi dibeberapa tempat. Tanpa sadar aku menghela nafas. "Ngapain lo mandang-mandang foto Tita?" Aku tersentak dengan panggilan itu dan langsung menoleh. Rizky sedang tersenyum aneh di depanku. Entah kenapa aku menjadi gugup. kuberikan ponselnya dan segera berjalan ke arah lain. Saat menoleh ke belakang Rizky masih memandangku dengan penuh curiga. "Ngaku lo dulu lo pernah naksir Tita" "Nggak. Nggak pernah. Nggak percayaan banget lo jadi monyet" omelku sedang memandang kotak entah alat apa. "Trus ngapain lo mandangin foto Tita tadi?" "Penasaran" jawabku singkat, setengah dongkol. Aku mengabaikan cekikikan geli dibelakangku. Terserahlah. Namun bayangan foto profil Tita tadi masih terbayang-bayang dalam benakku. Sial. Rizky Sialan. Kenapa juga aku harus menyalahkan Rizky?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD