Janji

1023 Words
Khalisa Fairuza yang lebih senang dipanggil Lisa itu terbangun dari tidurnya karena mendengar suara jam weker yang ada di meja dekat single bed.  "Pegal sekali rasanya," ucap Lisa sambil mendudukan tubuhnya dan merenggangkan ototnya yang kaku setelah tidur kurang lebih empat jam.  Ia melihat jam wekernya.  "Masih jam empat pagi, tapi aku harus menyelesaikan tugas makalahku secepatnya!"  Semalam Lisa memang tidur larut malam karena mengerjakan tugas kuliahnya.  Lisa berjalan menuruni tempat tidur yang hanya cukup untuk satu orang itu.  Dengan langkah gontai ia berjalan menuju meja kecil dimana laptopnya ada di sana. Ia mendudukan tubuhnya di sana.  "Sebenarnya aku masih mengantuk,  tapi apa boleh buat, tinggal tiga semester lagi." "Aku akan mendapat gelar sarjana. Semangat Lisa! " ucap Lisa dengan mengepalkan tangan kanannya.  Dengan semangat Lisa pun mulai menyalakan laptopnya.  Satu jam setengah kemudian.  Lisa menjatuhkan tubuhnya ke belakang  "Beres juga makalahnya!" seru Lisa. Lisa menatap makalahnya yang baru ia print out menggunakan printer miliknya.  Sambil menatap langit-langit kamar kosan yang hanya berukuran tiga meter kali tiga meter itu, Lisa berkata, "kalau sudah lelah begini.  Aku jadi ingin nikah saja." Tidak lama kemudian ada yang mengetuk pintu.  Tok tok tok.  Lisa langsung mendudukan tubuhnya.  "Pasti ini Jeni," tebak Lisa sambil berdiri lalu berjalan ke arah pintu.  Lisa membuka kunci kamar kosnya lalu membuka pintu.   "Tuh kan benar!" ucap Lisa sambil memutar bola matanya jengah.  "Aku ikut nge print," ucap Jeni nyengir sambil nyelonong masuk ke dalam kamar kos Lisa.  Lisa menutup pintu kembali dan melihat Jeni sudah duduk di depan laptopnya.  "Berantakan sekali kamar kos mu ini Lisa," ledek Jeni.  "Sudah,  nge print saja deh kamu!"  "Aku mau mandi dulu," ucap Lisa sambil mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.  "Mau aku bereskan tidak kamarmu?" teriak Jeni.  "Boleh!" teriak Lisa dari kamar mandi.  "Sekalian siapkan sarapan untukku ya!" perintah Lisa lagi.  "Hah!  Selalu saja," keluh Jeni.  "Tapi lebih baik seperti itu,  biar aku di bolehin terus ngeprint di sini," ucap Jeni sambil terkekeh.  *** Kampus.  Lisa berjalan bersama Jeni memasuki gerbang kampus yang megah.  Jeni dengan pakaiannya yang fashionable, wajahnya di make up tipis terlihat wajahnya lebih segar pagi itu. Berbanding terbalik dengan Lisa yang hanya menggunakan celana jeans dan kemeja kotak-kotak. Wajah Lisa tidak bermake up seperti Jeni tapi ia terlihat tetap cantik walau berpenampilan tomboy. Beberapa lelaki memperhatikan Jeni dan Lisa.  "Jeni ko mau temenan ya sama Lisa.  Lihatlah penampilan mereka bagai bumi dan langit." "Benar juga.  Jeni si fashionable sementara Lisa si cuek." "Tapi kalian perhatikan deh,  Lisa itu sebenarnya cantik loh!" "Oya?" Sekumpulan mahasiswa itu terus saja membandingkan antara Jeni dan Lisa dan itu didengar oleh Jeni dan Lisa.  Setelah melewati sekumpulan mahasiswa julid itu Jeni berkata, "kamu dengar ga sih apa yang mereka katakan tentang kita?" tanya Jeni pada Lisa.  "Dengar," jawab Lisa singkat.  "Kamu dandan dikit dong sayang," pinta Jeni pelan.  "Enggak!" tolak Lisa tegas. "Kenapa ga mau sih?" tanya Jeni sambil cemberut. Lisa melirik ke arah Jeni.  "Jangan cemberut, kita akan berpapasan dengan Hito!"  Hito adalah lelaki tampan di kampus yang di sukai Jeni. Dia adalah mahasiswa S2 Teknik Arsitektur. Berusia dua puluh lima tahun. Mendengar hal itu, Jeni langsung tersenyum kembali. Dan benar saja Hito dan teman-temannya berpapasan dengan Jeni dan Lisa. Jeni tersenyum pada Hito, sementara Hito sama sekali tidak melihat ke arah Jeni. Tapi Jeni sama sekali tidak merasa kesal.  Melihat Hito dari arah dekat sudah lebih dari cukup untuk membuat Jeni sangat bahagia.  "Kadang aku heran,  apa yang kamu suka dari Hito?" tanya Lisa heran.  "Jeni melihat ke arah Lisa yang sudah mulai masuk ke dalam kelas.  "Please Lisa,  kamu tadi ga lihat apa? Dia sangat tampan dan mempesona," ucap Jeni pelan. Lisa mendudukan tubuhnya di bangku paling depan dan Jeni di sampingnya.  "Selain itu?" tanya Lisa.  "Dia tinggi,  putih,  hidungnya mancung ah pokoknya aku suka semua yang ada pada dirinya!" ucap Jeni tegas.  "Baiklah-baiklah." Tidak berselang lama setelah Lisa dan Jeni masuk ke dalam kelas,  dosen masuk dan perkuliahan pun dimulai.  *** Tiga jam kemudian dosen keluar.  Hampir semua mahasiswa keluar dari kelas.  Lisa memandang tugas makalahnya yang baru ia selesaikan tadi pagi di tolak oleh dosen.   Makalahnya penuh coretan oleh dosen yang terkenal killer itu.  "Hasil begadangku!" Lisa menenggelamkan wajahnya di makalahnya sendiri.  "Sabar ya Del," ucap Jeni berusaha menenangkan Lisa.  "Sumpah ya kalau begini terus aku jadi pengen nikah aja deh!" Lisa membentur-benturkan kepalanya ke atas makalahnya.  "Sudah,  kita perbaiki saja makalahnya bareng-bareng," ajak Jeni.  "Kamu jangan bicara sumpah sumpah gitu ah,  gimana kalau kejadian.  Emang kamu udah siap nikah?" tanya Jeni sambil melihat ke arah Lisa.  Mendengar ucapan Jeni Lisa langsung mengangkat kepalanya.  "Benar juga ya!" "Hari ini aku sudah dua kali bilang ingin nikah," ucap Lisa.  Lisa melihat ke arah Jeni, " bagaimana dong?"  Jeni mengedikkan bahunya.  "Sudahlah jangan dipikirkan, lebih baik kita ke perpustakaan saja.  Cari buku untuk bahan buat makalah kamu yang baru," ucap Jeni sambil berdiri dari kursinya.  Lisa pun berdiri. Ia dan Jeni berjalan ke arah perpustakaan untuk mencari buku.  *** Rumah Lisa,  Kota Bandung. Danu Permana, ayah Lisa sedang membaca surat kabar di halaman belakang rumahnya. Sementara Kirana istri Danu yang tidak lain adalah ibu dari Lisa sedang menyiapkan kopi untuk suaminya di dapur. Tidak berselang lama.  "Pa,  ini kopinya," ucap Kirana sambil meletakkan secangkir kopi s**u buatannya.  "Terima kasih bu," jawab Danu sambil tersenyum pada Kirana.  Saat Kirana akan masuk kembali ke dalam rumahnya,  Danu menghentikan Kirana. "Ma,  ada sesuatu yang ingin bapak sampaikan." "Mama,  duduklah dulu," pinta Danu.  Kirana pun akhirnya duduk di kursi yang ada di seberang Danu.  "Ada apa pak?" tanya Kirana.  "Begini," ucap Danu sambil menutup surat kabar yang ia pegang.  "Apa mama ingat pa Yudistira?"  "Ingat pak. Kenapa dengan pak Yudis pak?" tanya Kirana.  "Apa mama ingat,  kita dan pak Danu pernah membuat perjanjian akan menikahkan anak kita dengan anaknya?" "Oh iya, mama baru ingat!" "Sepertinya sudah saatnya kita menikahkan anak kita," ucap Danu.  "Maksudnya menikahkan Lisa?" tanya Kirana.  "Iya ma,  soalnya anak pak Yudistira ternyata laki-laki semua," jawab Danu.  "Tapi kan Lisa masih kuliah pak,  apa tidak apa-apa?"  "Tidak akan masalah ma, selagi pa Yudistira masih ada.  Bagaimanapun janji harus ditepati bukan? Janji adalah hutang. Pa Yudistira sudah mulai sakit-sakitan sekarang." Kirana terdiam.  []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD