BAB 6
Lelaki itu kini tengah menikmati angin pagi yang menyejukan. Ia menghirup dalam dan perlahan menikmati setiap embusan udara menerpa. Kean sangat menykai tempai ini, saat kanak-kanak dulu bermain dengan Ica. Kedua orang tua pria tersebut sibuk menggeluti pekerjaan sampai menitipkan cowok kecil yang membutuhkan kasih sayang mereka pada nenek Kean.
Jadi saat lelaki itu kini hanya menyayangi Oma Ica bukan salahnya kan. Wanita berumur tersebut merawat dan menjaga dengan sepenuh hati sang cucu. Punggung Kean tengah bersandar pada kursi taman, matanya terpejam mengenal masa dulu, sampai diusia menginjak sembilan belas tahun diperintahkan belajar bisnis yang kini dia geluti.
Suara langkah laki terdengar, tetapi tidak membuat Kean terusik sedikitpun. Lelaki itu terlalu larut dalam lamunan, bahkan terus memilih memejamkan saat sebuah suara memanggilnya.
"Tuan ...."
"Apa Tuan tidur?" tanya Amara kembali.
Merasa kesal dengan suara Amara, lelaki itu membuka mata dan manik mereka langsung beradu.
"Taruh aja di meja, bisakan! Gak usah ganggu, apa kamu selalu ingin mengangguku terus," cecar Kean ketus.
Amara mendelik mendengar omelan Kean, ia langsung menuruti perkataan lelaki itu.
"Ini Tuan, aku pamit dulu," balas Amara.
Perempuan itu sedang malas berdebat dengan cucu sang majikan, baru saja melangkah pergi. Dia dihentikan oleh perkataan Kean, membuat wanita tersebut mengembuskan napas.
"Siapa yang menyuruhmu pergi! karena kamu sudah mengangguku. Cepat pijat aku, tubuhku rasanya letih banget," seru Kean.
Perempuan yang menyelamatkan Ica dari musibah itu segera mendekati Kean.
"Mana yang mau dipijat, Tuan?" tanya perempuan tersebut.
Mendengar pertanyaan wanita itu, Kean langsung menunjuk letak dimana Amara harus memijat.
"Bahuku nih, pegal banget, ini gara-gara terus berhadapan sama laptop dan gak berhenri-henti memainkannya," keluh Kean.
Amara menganggukan paham, lalu ia mulai memijat bahu lelaki tersebut. Dan memilih menjadi pendengar yang baik karena pria tersebut seperti tengah mengeluarkan segala kepenatan dalam hidup.
"Apa dia lagi curhat ya? apa aku harus jawab kasih solusi atau diam aja jadi pendengar," batin wanita tersebut.
Pria berparas tampan itu terdiam lalu matanya mengerjap, ia baru sadar jika tengah mengeluarkan semua keluh kesah pada pembantu baru sang Nenek. Lelaki tersebut langsung berdiri membuat Amara terkejut, berbalik menatap tajam Amara, bak perempuan bagai mangsa yang siap diterkam.
"Pergi! kerjaan kanu udah beres," usir Kean.
Amara paham kenapa Kean mengusirnya, ia menganggukan kepala lalu melangkah pergi.
"Ada apa denganku? kenapa bisa segampang itu mengeluarkan curhat ke dia," batin Kean berseru.
"Udahlah, gak usah ambil pusing."
Kean segera menjatuhkan b****g ke kursi kembali, lalu menatap kopi yang masih terlihat uap mengepul. Tangannya meraih cangkir yang berada di meja, lalu meniup dan menyesap perlahan menikmati rasa sangat pas dilidah.
"Kenapa dia sangat pandai membuat lidahku, candu dengan buatannya," gumam Kean.
Suara notifikasi membuat ia melirik handphone lalu segera melihat siapa yang mengirim pesan. Tatapan malas terpancar dari manik mata lelaki tersebut.
[Kean, Papa dan Mama mau ke rumahmu. Apa kamu ada di sana?] - Selena
"Ngapain dia ingin menemuiku."
Kata itu meluncur dari bibir pria tersebut, sebenernya ia malah membalas pesan wanita ini. Tetapi jika tidak dibalas, Selena akan terus mengirim pesan sampai dia mendapatkan balasan.
[Rumah Oma.]
Hanya kata singkat itu yang ia ketik, bahkan lelaki itu sangat berat mengetik karena tidak ingin bertemu kedua orang tuanya. Rasa asing mengelilingi Kean disaat mereka berusaha ingin mendekat. Ia berpikir kenapa bukannya saat dia masih anak-anak? apa karena kini dia telah dewasa dan bisa menghasilkan uang jadi kini diakui.
[Kami akan ke sana, tunggu Mama dan papa, Sayang.] - Selena.
Decakan terdengar dari bibir lelaki itu saat membaca pesan dari wanita yang melahirkannya. Ia segera memasukan benda pipih ke saku, tanpa niat membalas chat tersebut. Kean memilih mulai menikmati secangkir kopi hingga tandas lalu bangkit dan melangkah masuk ke kediaman mencari Amara.
"Mara ...."
Amara tersentak karena panggilan lelaki itu, suara Kean sangat keras membuat ia terkejut. Wanita tersebut segera menyelesaikan kegiatan menyanggul rambut dan karena tadi tengah menyisir. Setelah selesai lekas berlari ke asal suara, lalu berdiri di dekat Kean yang memandang sinis. Pria ini melipat tangan ke d**a saat memandang Amara yang berada di hadapan
BAB 7
"Nanti masak buat masak siang! Orang tuaku bakal datang berkunjung ke sini," perintah Kean.
Wanita itu mengangguk tanda paham akan perintah cucu majikannya ini.
"Siap Tuan! apa ada lagi?" tanya perempuan tersebut.
Kean mendelik melihat gaya wanita dihadapannya ini, Amara sok akrab banget. Bahkan tangan kala berucap seperti gaya hormat.
"Gak ada! sana pergi, jangan sok akrab deh. Jijik tau," usir Kean.
Amara memajukan bibir mendapatkan usiran dari Kean, dia segera berbalik pergi ke dapur. Wanita itu memilih melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Saat melirik jam telah mendekati waktu makan siang, dengan cepat menyiapkan bahan dan lekas memasak.
"Oma ...."
Lelaki berperawakan tinggi dan sedikit kekar itu berteriak memanggil sang Nenek. Mendengar panggil cucu kesayangan tersebut, Ica segera menyahut.
"Oma di sini, Kean," sahut wanita tersebut.
Mendapatkan sahutan sang Nenek, Kean segera menuju ke tempat perempuan paruh baya itu berada. Terlihat Ica tengah memegang vas bunga.
"Oma ngapain?"
Kening lelaki itu mengerut saat menatap sang Nenek, mendapatkan pertanyaan tersebut. Ica segera memperlihat vas bunga yang berada di tangannya.
"Ini, bunganya cantik dan wangi banget. Amara pandai merawatnya," lontar sang Nenek.
Kean memutarkan bola matanya mala, mendengar pujian yang selalu dilontarkan dari bibir sang nenek pada pembantu baru itu.
"Oma. Sebentar lagi Mama sama Papa bakal ke sini," jelas Kean tanpa basa-basi.
Ica melirik sekilas reaksi wajah sang cucu.
"Bagus dong, nanti Oma bakal kenalin mereka sama Amara," lontar sang Oma.
Mendengar ucapan Ica yang sangat semangat membuat Kean sedikit menggeram, apalagi wanita itu hendak mengenalkan Amara pada orang tuanya.
"Buat apa ngenalin pembantu itu sama mereka," seru Kean.
Tatapan tajam langsung dilayangkan wanita paruh baya tersebut, apalagi saat sang cucu berseru dengan nada meninggi.
"Diam kamu! Berani banget ninggiin suara saat ngobrol sama Oma. Pergi sana, nanti juga kamu bakal tau sendiri kenapa Oma ngenalin Amara ke kedua orang tuamu itu," balas Ica.
Setelah mengatakan hal tersebut, wanita yang sudah memiliki cucu itu segera menaruh vas bunga kembali ke tempatnya lalu melangkah masuk ke kediaman.
"Kenapa perasaanku gak enak, ya," gumam pria tersebut.
Kean memegang dadanya lalu segera mengikuti sang nenek yang melangkah masuk ke kediaman. Tenyata wanita paruh baya itu membawa langkah kaki menuju tempat Amara berasa. Perempuan tersebut sedang sibuk memasak, tepukan bahu membuat cewek yang fokus masak ini menoleh.
"Mau masak menu apa nih?"
Amara mengulas senyuman mendapatkan pertanyaan tersebut.
"Hm ... buat siang ini, aku mau masak capcay, ayam kecap, kentang balado, sambel sama lalap timun, wortel kukus," sahutnya.
Ica menganggukan kepala mendengar sahutan Amara, wanita itu menarik kursi lalu duduk memandang Amara yang sibuk dengan peralatan dapur.
"Kamu belajar masak sejak kapan? kenapa masakanmu selalu nikmat di lidah. Kamu pinter banget buat Oma jadi mau nambah terus ta."
Amara semakin melebarkan senyuman saat mendapatkan pujian lagi dari bibir wanita yang ia tolong. Perempuan itu lekas memindahkan makanan ke piring dan menaruh hidangan yang telah matang ke atas meja.
"Pas umur sepuluh tahun, Oma."
Nenek Kean ini mengerutkan kening mendengar jawaban Amara. Ia memandangi wajah perempuan yang kini ditatapan itu dengan teliti. Paras wanita ini masih terbilang muda, jika saja melakukan perawatan dan memakai pakaian yang anggun pasti dia sangat menawan.
"Emang sekarang umurmu berapa, Mara?" tanya Ica.
Amara menatap sekilas wanita yang bertanya padanya ini.
"Dua puluh satu, Oma," balas Amara.
Bola mata Ica seperti hendak keluar mendengar jawaban Amara.
"Umur berapa kamu nikah kalau sekarang baru umur dua puluh satu," seru Oma Ica.
Amara merasa di introgasi mendengar seruan wanita yang membantunya mendapatkan tempat tinggal ini.
"Eum ... sembilan belas, Oma."
Kean yang mendengar ucapan Amara, lelaki itu menyeringai dan menatap sinis perempuan yang berada di dekat Omanya ini. Pria tersebut baru saja datang dan kini tengah mengambil air minum di kulkas.
"Masih bau kencur gitu udah nikah aja, jadi diceraiin kan sekarang," sindir Kean.
Mata sang Nenek langsung menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan Kean. Wanita tersebut menatap tajam lelaki tersebut lalu bangkit dan mendekati cowok ini hanya untuk mencubit perut cucunya.
"Oma apaan sih, main cubit-cubit aja. Kean kan ngomong fakta."
Lelaki yang berstatus cucunya itu berkata sambil mengusap perut akibat cubitan Ica. Mendengar penuturan Kean, Oma pria tersebut mendelik kesal.
"Bibir kamu bisa gak sih, jangan terlalu pedas!" omel Ica.
Setelah mengeluarkan omelan, Ica segera mendekati Amara dan membelai rambut perempuan tersebut.
"Kamu gak perlu dengerin ucapan lelaki ini ya, Omongan emang kaya Bon cabe level paling tinggi, pedes banget sampe buat mencret," lontarnya.
Amara ingin sekali mengeluarkan tawa mendengar lontaran terakhir wanita tersebut. Lalu tak berselang lama suara bel berbunyi membuat mereka saling memandang.
"Mereka dah datang tuh, bukain gih!" perintah sang Nenek.
Kean langsung cemberut mendengar perintah dari Ica. Ia menggelengkan kepala dan ditatap tajam oleh wanita yang merawatnya ini.
"Oma .... kenapa menyuruhku, kan ada si Amara. Kenapa gak dia aja yang buka pintu," tolak lelaki itu lagi.
Ica mendelik mendengar bantahan dari cucunya, membuat Kean menghela napas dan akhirnya melangkah menuju pintu utama menyambut orang tua yang menurut dia menelantarkannya.
"Mara, kamu mandi gih! Badanmu bau bawang."
Amara mengangguk tanda mengiyakan perintah Ica, ia segera pamit ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah melihat kepergian wanita yang menolongnya itu, Nenek Kean bergegas ke pintu utama untuk menyambut anak dan menantu. Sedangkan Kean, pria tersebut menatap datar sepasang suami istri di depan mata.
"Oma ... Selena kangen," ucap seorang wanita.
Kedua manusia berjenis kelamin perempuan itu saling berpelukan, sedangkan menantu Ica hanya mengulas senyum sepasang wanita di depan mata.
"Oma juga kangen, kenapa kalian gak pernah berkunjung. Kalian ke sini cuma karena ada Kean," keluh Ica.
Perkataan Ica membuat sepasang suami istri ini terdiam, lalu mereka saling pandang. Papa Kean akhirnya mengeluarkan suara.
"Maaf, Oma. Kami belum berkunjung karena banyak banget kerjaan," jelas lelaki itu.
Kean mendelik mendengar perkataan sang Papa, dia sama sekali tidak akrab dengan kedua manusia di depannya.
"Oma jangan pernah berharap kita akan selalu berkumpul, mereka sangat gila kerja. Bahkan sampai melupakan kalau punya anak," cibir Kean dengan sinis.
Setelah berkata demikian lelaki itu melangkah pergi, membuat Selena menatap punggung sang anak dengan tatapan sedih. Lalu memanggil Kean dengan suara pelan, bahkan mungkin tidak terdengar oleh pria tersebut.
"Kean ...."