BAB 4-5

1687 Words
BAB 4 "Udah sampe, cepat turun!" perintah Kean. Lelaki itu selesai memarkirkan kendaraan roda empat miliknya. Amara melihat keluar jendela lalu mengulas senyum. Ia lekas membuka sabuk pengaman dan turun dari mobil. "Kamu gak kebauan, kah? Atau kamu lagi pilek." Kean melontarkan pertanyaan pada Amara dan dibalas gelengan wanita tersebut. "Enggak dong, udah biasa. Tuan kaya cenayang aja, bahkan aku belum minta diantar ke pasar," celetuk Amara. Wanita itu sangat antusias, ia mulai melangkah masuk dan melihat-lihat diikuti Kean dibelakangnya. "Bu, mau ayam dong dua kilo," pinta Amara. Penjual ayam itu mengangguk sebagai jawaban lalu mulai memotong hewan tersebut. "Yang banyak dagingnya ya Bu," kata Amara lagi. "Siap Neng," sahut penjual. "Jadi berapa Bu?" tanya Amara. Wanita itu memperhatikan sang pejual yang sibuk memotong dan menimbang daging ayam. "Seratus ribu Neng," balas penjual ayam. "Mahal amat, Bu. Kurangin dong," tutur Amara. Kean membulatkan matanya kala mendengar permintaan Amara pada sang penjual Ayam. "Boleh, asal Enengnya jadi langganan aja." Mendengar syarat penjual ayam itu, Amara langsung mengangguk antusias. "Siap Bu, jadi berapa nih?" tanya Amara sekali lagi. "Sembilan puluh lima aja deh Neng." Amara langsung mengeluarkan uang senias seratus ribu, ia menerima plastik yang berisi daging ayam dan berpamitan kala penjual memberikan kembalian. Setelah mereka menjauh dari tukang ayam tersebut, Kean lekas mendekati wanita itu. "Kamu ini! Emangnya uang yang dikasih Oma, kurang. Segala pake nawar lagi," omel Kean pelan. "Tuan diam aja, ikuti caraku, gak usah komentar," tutur Amara. Wanita itu berkata dengan nada kesal, padahal cuma menawar tetapi ia sampai diomeli. "Namanya juga di pasar, kalau ada pelanggan yang nawar, wajar lah, kalau di kasih allhamdulillah kalau gak dikasih ya gak papa." Amara menghentikan langkahnya kala sampai di tukang sayur. "Bu, saya mau sayur bayam dua iket, cabe merah satu kilo, bawang putih, bawang merah sama jeruk limau lima ribu. Wortel satu kilo, timun satu kilo sama buncis enam ribu aja. Eh sama daun kemanginya tiga ribu," cerocos Amara. Permintaan Amara langsung disiapkan oleh penjual itu. Sehabis itu dengan cepat membayar belanjaan. Sehabis berkeliling membeli bahan sesuai list yang ditulis Oma. Mereka lekas pergi pulang. Setepah sampai, Amara segera merapikan bahan makanan ke kulkas agar tetap segar. "Oma ...," panggil Amara. Wanita itu mendekati Ica yang tengah meneguk air minum. Sang majikan langsung menoleh dan menaruh gelas di meja. "Iya, ada apa, Mara?" tanya Ica. Amara lekas merogoh saku dan mengambil uang kembalian tadi. Ia menyodorkan pada Ica. "Ini kembalian belanja tadi, Oma." Kean melihat kejadian itu, ia langsung menghentikan langkah untuk mengintip. "Buat kamu aja, Mara." Ica menolak dan mendorong pelan tangan Amara. Wanita itu langsung menggeleng, ia langsung meraih tangan perempuan yang ditolongnya dan memberikan uang tersebut. "Gak! Aku dikasih tempat tinggal aja udah bersyukur banget. Nanti aja kalau udah waktunya gajian, baru aku terima upahnya." Amara mengulas senyuman yang memamerkan deretan gigi, membuat sang majikan hanya terkekeh. tangan Ica spontan terulur untuk mengacak-acak rambut wanita tersebut. "Kamu beneran belanja di pasar, kok ada kembalian segala. Kalau diminimarket gak mungkin. Karna Oma ngasih uang pas," celetuk perempuan tersebut. Cewek paruh baya itu menarik lengan Amara agar ikut duduk di sampingnya. Lalu tanpa mereka sadari Kean mendekat, lelaki tersebut pun tak sadar jika ia keluar dari tempat sembunyi. "Dia pake nawar segala, Oma ... Malu-maluin aja, dikira kita orang gak punya, apa!" geram lelaki itu. Mendengar gerutuan cucunya, wanita itu menoleh memandang Kean, begitu pula Amara ikut melihat lelaki tersebut. "Nawar, jadi beneran kamu belanja di sana," ucap Ica dengan riak tak percaya. Amara menganggukan kepala dengan penuh semangat. "Iya, Oma. Tuan hebat banget, padahal tadi aku lupa kalau minta dianterin ke pasar. Eh Tuan malah bawa aku ke sana, udah kaya cenayang aja," tutur wanita itu. Ica langsung menganggukan kepala paham mendengar penuturan Amara, ia segera melayangkan tatapan tajam pada cucunya. "Oh ... jadi kamu yang bawa Amara ke pasar, pantes aja bisa nawar. Bukan cenayang, Mara, mungkin karena kalian jodoh," celetuk wanita tersebut. Mata Kean membulat mendengar ucapan Ica, sedangkan Amara langsung mengatupkan bibirnya. "Amit-amit, Oma jangan ngomong sembarangan," gerundel lelaki itu. Lelaki itu langsung pergi setelah berkata demikian, sedangkan Omanya mengulas senyuman mengejek. Ia paham dengan rencana Kean, tetapi sayang usaha pria tersebut gagal. BAB 5 Tidak terasa seminggu telah berlalu, Amara tinggal di kediaman sang majikan. Senyuman bahagia terus terukir di bibir. Sudah tujuh hari juga, ia tak melihat batang hidung cucu Ica, lelaki yang menurutnya tampan tapi menyebalkan. Padahal Kean telah berjanji pada Omanya. "Dasar cucu durhaka," pikir Amara. Wanita itu kini tengah menyiram tanaman langka yang harganya sangat mahal. Suara deru mobil dan klason membuat pikiran yang berkelana buyar. Saat melihat gerbang, ia lekas mematikan keran dan berlari untuk membuka pagar besi tersebut. Setelah kendaraan mobil, dia segera menutup kembali lalu melanjutkan kegiatan yang tertunda. "Oma di mana?" tanya Kean. Lelaki itu setelah memarkirkan kendaraan langsung berjalan ke tempat Amara berdiri. Ia bertanya dengan nada dingin. "Di dalam Tuan, Oma sedang sarapan," sahut Amara. Amara hanya melirik sekilas lelaki tersebut. Saat mendapatkan jawaban dari wanita itu, Kean bergegas masuk tanpa mengucapkan sepatah katapun. "Oma kira kamu lupa jalan pulang ke sini," sinis Ica. Perempuan itu berkata kala melihat Kean mendekat, ia menyudahi makannya dan lekas bangkit lalu menghampiri lelaki tersebut. Jeweran langsung di dapatkan oleh cucu semata wayang Ica. "Oma ... jangan main jewer-jewer aja dong. Malu Kean, aku udah dewasa," tutur lelaki tersebut. Sang Oma hanya menanggapi dengan senyum sinis, ia melepaskan jeweran itu saat melihat Amara masuk. "Dewasa kok belum nikah!" sindir Ica. Amara yang mendengar menutup mulut agar tak mengeluarkan suara tawa. Wanita itu berusaha bersikap biasa dan mendekati mereka. "Oma udah selesai sarapan?" Ica mengangguk mendengar pertanyaan Amara. Ia memandang wanita itu dengan tatapan lembut. "Udah, Sayang." Amara mengulum senyum apalagi saat wanita yang sudah berumur itu membelai rambutnya. Dia segera melirik lelaki yang menurutnya sangat menyebalkan. "Tuan apa mau sarapan? Kalau enggak aku bakal beresin," tawar Amara. Tangan wanita itu kini sedang mengambil piring bersih, kala mendapatkan anggukan kepala Kean. Ia segera duduk di kursi lalu menunggu Amara menyendokan hidangan. "Boleh, perut ini juga minta diisi," sahut Kean. lelaki itu merasa gengsi jika bilang kalau dirinya sedang kelaparan, lalu tak berselang lama bunyi perut Kean terdengar. Membuat dia segera membuang muka dan wajah memerah karena malu. Sedangkan Amara hanya mengulum senyum dan segera menyodorkan sepiring makanan yang sudah diisi berbagai hidangan di hadapan cucu Ica. "Cobain masakan Amara cepet, enak semua lho. Pokoknya menggugah selera, pengennya nambah terus," seru sang Oma. Setelah berkata demikian, Ica segera mendaratkan b****g di kursi menatap cucunya. Mendengar dirinya dipuji, Amara mengulas senyum kecil malu-malu. Sedangkan Kean melirii wanita tersebut membuat ia tersenyum sinis. "Oma jangan terlalu memujinya, nanti dia besar kepala," seru Kean. Amara memajukan bibir kala mendengar seruan Kean. Ia berdiri di samping Ica karena ingin mengetahui komentar lelaki tersebut karena melihat Kean mulai melahap makanan. "Gila! Rasanya enak banget," batin lelaki itu berseru. Kean menanggapi wajah Amara yang mulai mengembangkan senyuman saat melihat ia memakan hidangan ini. Dia segera menjaga ekpresi wajau agar terlihat biasa saja. "Biasa aja kok, Oma. Oma aja yang terlalu membesar-besarkan," celetuk lelaki tersebut. Wajah Amara langsung masam mendengar celetukan lelaki tersebut. Tetapi, ia masih menunggu Kean selesai melahap makanan, karena ia juga ingin mengisi perut. Saat sebentar lagi makanan yang di piring pria ini habis, ternyata Kean malah menyendok hidangan lagi. "Cih! Tadi bilang biasa aja tapi sampe nambah gitu," cibir sang Oma. Wanita yang lebih berumur dari mereka hanya memutarkan bola mata dengan malas, sedangkan Amara sedikit mengulas senyuman. "Kean lagi lapar Oma, makanan mau enak atau enggak kalau lagi laper ya dimakan aja. Wajar dong kalau nambah, lagian makanan ini yang penting masih bisa ditelen dan masuk ke perut," sahut pria tersebut. Dia tidak mau mengakui jika masakan Amara memang nikmat di lidah. "Mara, kamu tunggu Kean sampai selesai sarapan. Habis itu cuci piring yang kotor. Kamu juga harus sarapan," perintah Ica. Amara mengangguk mendengar perintah Ica. "Siap, Oma." Cucu sang majikan menyandarkan tubuh ke kursi saat selesai sarapan. Lelaki itu mengusap perut karena sangat kekenyangan, bahkan ia sampai bersendawa. "Kenapa masakannya sangat lezat, sampe kembung ini perut," gerutunya pelan. Amara melihat tangan Kean yang mengusap perut menyeringai. "Perutnya kenapa, Tuan?" tanya perempuan itu. Pria tersebut melirik geram pada Amara karena terus mengganggunya. "Gak! kamu bikin mood ancur aja sih! saya pergi aja deh. Jangan lupa cuci piring setelah sarapan." Amara memajukan bibir mendengar omelan cucu majikannya. "Iya-iya, aku cuci piring dulu, Tuan." Amara mengucapkan dengan nada ketus, ia melangkah pergi dengan piring kotor di tangannya. "Dasar!" cibir Kean. Kean bangkit dan pergi menuju kamar. Kala ia mengemudi tadi, lelaki itu baru ingat bahwa ini hari minggu. Akhirnya memilih melajukan kendaraan roda empat ke kediaman sang Oma. Sesampai di kamar, ia langsung mengganti pakaian dan mencari di lemari baju. Setelah menemukan baju, ia lekas memakainya. Kaos lengan pendek dipadu jaket kulit dan celana lepis. Selesai berpakaian, ia melirik jam yang menunjuk pukul setengah sembilan. Dirinya menghela napas dan mengulas senyum tipis. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan bersantai, bukan bersama berkas apalagi laptop. Melangkah pelan sambil sesekali bersiul, pergi mencari keberadaan Amara. "Mara," panggil Kean. Amara yang tengah melahap makanan di meja makan mendongak. Ia terpaku melihat penampilan lelaki itu. "Iya, ada apa, Tuan." Amara berkata dengan pelan, mungkin tidak terdengar oleh Kean. Karena wanita itu seperti terhipnotis oleh cucu majikannya. "Buatin secangkir kopi, gula sedikit aja." Kean yang tidak mendapatkan respon Amara, ia mendekat lalu menyentil kening wanita tersebut. "Aduh! Sakit Tuan," pekik Amara. Wanita itu mengusap dahinya, menbuat nasi yang di tangan menempel di kening. Kean mengulum senyum melihat hal tersebut, sedangkan Amara kembali mematung melihat lengkungan terbentuk di bibir lelaki dihadapan ini. "Hey! Buatin secangkir kopi, gula sedikit aja. Antar ke taman. Jangan melamun terus kerjaannya." Lelaki itu berkata dengan suara keras, membuat Amara terkejut. Ia langsung mengangguk secara spontan. "Bagus, cepatlah! Tapi habiskan sarapanmu dulu," perintah Kean. Lelaki itu melangkah meninggalkan perempuan yang tengah makan itu. Sedangkan Amara memandang kepergiannya. "Dia tampan tapi sayang, nyebelin banget," gumam Amara. "Tapi baik sih, nyuruh aku ngabisin sarapan dulu. Eh, tapi ... pasti dia takut diomelin Oma," celetuk Amara. Wanita itu langsung memukul keningnya sendiri. "Apa sih yang kamu pikirin, Mara!" wanita itu mengomeli pada dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD