2 | Kakak Jangan Sedih, Ya?

1971 Words
SADAR dari alam mimpi, Damar terkejut karena posisinya sekarang berada di sebuah kamar yang entah milik siapa dalam keadaan tanpa memakai sehelai benang pun di tubuhnya. Lelaki berusia 26 tahun ini melirik ke samping, mendapati sesosok perempuan berambut sebahu dengan punggung terbuka dan bagian bawah yang tertutup selimut. Dia berbaring membelakangi Damar. Mata Damar melebar saat dia tahu siapa perempuan yang ada di sebelahnya, astaga! Apa yang sebenarnya terjadi? Damar mengubah posisi menjadi duduk dan menarik setengah selimut yang dipakai Karin supaya bagian bawahnya tertutup. Dia menampar pipi sendiri, berharap ini cuma mimpi buruk. Sayang, saat Damar merasakan sakit di pipinya, dia harus menerima kenyataan kalau ini bukan sekedar bunga tidur. “Karin,” panggil Damar sambil memegang bahu polos perempuan yang masih tidur pulas di sebelahnya. Saat dia menggerakan bahu perempuan itu beberapa kali, akhirnya anak dari bosnya ini terjaga juga. Karin mengubah posisi menjadi telentang, membuat Damar mengalihkan pandangan kearah lain saat melihat bagian depan tubuh Karin yang seharusnya tidak dia lihat karena termasuk privasi perempuan itu. Seolah paham dengan kegelisahan Damar, perempuan yang baru lulus sekolah menengah atas ini langsung menutupnya dan mengubah posisi menjadi duduk. Dia meringis saat merasakan bagian bawahnya sakit. “Kak Damar,” rintihnya, membuat Damar menoleh dan bertanya kenapa. “Ini, sakit banget bekas semalem,” lanjut dia yang buat lelaki itu meneguk ludah. “Apa yang kita lakuin semalam?” Karin menoleh ke arah Damar lalu bersuara, “Kakak beneran gak inget apa yang kita lakuin? Hah? Kakak yang paksa aku buat ….” Ucapan Karin berhenti, berganti dengan tangisan dan buat Damar bingung. “B-buat ngelakuin itu. Karin takut kalau Karin hamil.” “S-saya paksa kamu? Mana mungkin?” “Tapi sekarang kenyataannya apa? Kita udah lakuin itu, kan?” ucapnya dengan nada bergetar. Damar mencoba mengingat lagi soal semalam, tapi dia gak bisa mengingat apa-apa selain dia yang datang ke sini karena perintah Papanya Karin. “Papa kamu ke mana?” tanya Damar yang dibalas gelengan Karin. Dia masih menangis sesenggukan. Damar menjambak rambutnya kuat-kuat, sebelum akhirnya dia mengusap wajah dengan kasar. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu ke Karin? “Jangan nangis, Karin,” bisiknya lagi, menenangkan perempuan di sampingnya. “Ka-Karin takut, Kak. Gimana kalo papa tau yang sebenernya? Gimana kalau nanti Karin hamil? Oh, atau missal Karin gak hamil, gimana nanti Karin bilang kalau Karin udah gak perawan lagi?” tuturnya sambil sesenggukan. “A-apa lagi Kak Damar sebentar lagi mau nikah, terus ….” “Kamu tenang, Karin. Saya akan tanggung jawab.” Mendengar itu, mata Karin melebar. Dalam hati, dia sangat senang karena inilah jawaban yang dia tunggu. Damar mengatakan itu … astaga! Rasanya dia ingin tersenyum puas karena aktingnya berhasil. “Serius, Kak? Gimana sama calon istri Kakak? Bukannya kalian sebentar lagi mau nikah? Karin gak mau ngerusak kebahagiaan Kak Damar sama Kak Amira.” “Biar itu saya pikirkan nanti. Jangan cemas, ya?” Karin mengangguk dan langsung memeluk Damar yang masih bertelanjang d**a. “Makasih ya, Kak. Kakak udah mau tanggung jawab atas Karin.” Di belakang Damar, Karin melihat pantulan dirinya di cermin tengah menarik kedua sudut bibirnya ke atas. “Hm.” Damar membalas pelukan perempuan berambut sebahu itu, dia mencoba untuk bersikap biasa saja. Padahal jauh di lubuk hatinya, dia kalut bukan main. Pernikahannya tinggal menghitung bulan, gaun pengantin sudah mulai dijahit, dan kemarin sore dia baru menelpon calon istrinya. Membicarakan soal gedung pernikahan, menyewa jasa catering, serta menimbang-nimbang ingin mengundang berapa orang untuk menghadiri pernikahan mereka. Damar gak sanggup kalau harus membicarakan soal pernikahan mereka yang terpaksa batal karena dia harus bertanggung jawab atas wanita lain. *** “Sayang, besok aku pulang. Kamu dan keluarga kamu ada di rumah, kan?” tanya Damar lewat telpon sore harinya. Damar bilang nanti kalau bosnya alias Papa Karin pulang, dia akan jujur soal semuanya dan bilang akan menikahi Karin secepatnya. “Ah? Kok tumben pertengahan bulan begini udah pulang? Kangen banget sama aku, ya? Buru-buru mau ngomongin lebih lanjut yang kemarin sore kita obrolin. Ngaku?” Damar terkekeh pelan. Lidahnya seolah kelu, dia merasa bersalah karena udah mengecewakan Amira. Dia merasa sekarang dirinya adalah lelaki tidak berguna, sampah, dan ingkar janji. “Iya, aku kangen banget sama kamu, Mir. Kangennn banget. Nanti kalau kita ketemu, aku mau peluk kamu yang lama.” “Ih, tumben banget cheesy begini. Boleh kok, Sayang. Oh iya, tadi pagi kamu ke mana? Aku telpon gak diangkat.” “Mm … ada urusan.” “Waduh, hari libur gini masih sibuk ya, Pak. Iya deh Bapak Manajer,” candanya yang bikin Damar tertawa lagi, hambar. “Btw, Mas, apa kamu gak mau mikirin lagi soal keputusan kamu keluar dari perusahaan? Sejujurnya aku sih gak apa-apa kalau kamu tetap mau di Jakarta dan aku di sini buat tetap jalanin usaha Bapak setelah kita nikah. Apa gak sayang sama karir kamu?” Damar terdiam lama, dia benar-benar gak sanggup buat ngomong kalau dia akan tetap tinggal di sini karena dia akan menjadi suami orang lain. Dadanya sesak, dia merasa dirinya sangat amat jahat karena menyakiti Amira yang baik dan mencintainya dengan tulus. Satu tetes airmatanya jatuh, mengalir di pipi dan membasahi baju lengan panjang yang dia pakai. Laki-laki yang duduk di dekat jendela kosnya, menangis dalam diam. Dia gak mau Amira tahu kalau dirinya gak baik-baik saja sekarang. “Halo, Sayang? Kok kamu diem aja? Sinyalnya bermasalah, ya?” katanya lagi saat Damar gak kunjung menjawab. “Hm, iya,” respons Damar dengan suara serak. Ada jeda dalam ucapan Damar sebelum dia “Mm, Amira?” “Iya?” “Aku … minta maaf,” lirih lelaki itu. “Aku minta maaf sama kamu.” “Buat apa?” Napas Damar tercekat. Hatinya mendadak ngilu saat dia mengingat kejadian tadi pagi. Kenapa bisa dia melakukan sesuatu pada Karin? Kenapa bisa dia bertindak layaknya binatang yang gak punya akal sehat? Astaga, kepala Damar rasanya mau pecah. “Tuh kan, kamu diem lagi. Tumben deh sinyal kamu jelek. Lagi di kosan atau di mana?” “Iya, aku ada di kosan kok,” sahutnya. “Kayanya selain sinyal bermasalah, kepalaku agak pusing sedikit.” “Kamu sakit, Sayang?” “Kepalaku agak berat.” “Kalau gitu istirahat aja, jangan banyak aktivitas ya. Makan dan minum obat jangan sampe telat, ngerti?” “Hm, makasih, Sayang.” Damar membalas ucapan Karin dengan lirih. “Kalau gitu aku tutup telponnya, ya?” “Oke, semoga kamu cepet sehat lagi. Besok kan mau ketemu aku, jadi jangan sakit-sakit.” “Ya.” Setelah telpon ditutup, Damar merebahkan diri di atas ranjang. Memejamkan mata untuk meredakan isi kepalanya yang berkecamuk. Ada niat untuk mengakhiri hidupnya tadi siang saat tengah kacau sendirian, tapi akhirnya dia sadar kalau mengakhiri hidup bukan solusi atas masalahnya setelah ingat apa yang pernah dikatakan mendiang papanya, “Kalau kamu udah besar, kamu harus berani menghadapi semua masalahmu. Anak Bapak ndak boleh jadi orang lemah. Seberat apa pun masalah yang kamu hadapi, percaya kalau semua itu akan berlalu cepat atau lambat. Jangan terlalu mudah menyerah. Hidup kamu itu cuma sekali, sayang kalau ndak dipergunakan dengan baik. Mumpung masih bernapas, selesaikan semua yang harus diselesaikan.” Kata-kata itu membuat Damar memutuskan bertahan dan mencoba membereskan masalahnya satu-persatu. Kalau dia lepas tangan begitu saja dan pergi selamanya, kasihan pada Amira dan Karin sekaligus. Walau berat, Damar harus tetap hidup dan memilih salah satu dari mereka dengan konsekuensi dibenci oleh pihak yang lain. Laki-laki itu kembali membuka matanya saat mendengar pintu kos yang diketuk. Dia langsung mengubah posisi menjadi berdiri dan berjalan untuk membuka pintu dan melihat siapa yang datang. “Karin? Mau apa ke sini?” tanya Damar yang kebingungan mendapati sosok perempuan yang beda 7 tahun dengannya, sekarang berdiri di depan pintu kamar. “Kamu diantar siapa?” “Aku dianterin Pak Chandra,” katanya dengan tatapan polos. Di tangannya ada kantung plastik berisi makanan untuk mereka. “Tadi aku minta bibi masak di rumah buat makan kita.” “Kita?” Alis Damar bertaut. Perempuan berambut sebahu dengan bando merah muda di hadapannya itu mengangguk. “Iya, boleh kan kalau Karin masuk? Karin kan sebentar lagi jadi calon istri Kak Damar, jadi gak apa-apa kan kalau mampir ke sini?” Damar sempat diam sebentar, sebelum akhirnya menggeser tubuh dan membiarkan anak itu masuk. Setelahnya, dia langsung menutup pintu dan menghampiri Karin yang menaruh kantung plastik di atas nakas. “Kak Damar belum makan pasti?” tanyanya yang duduk di pinggir ranjang sambil melihat sekeliling. Karin senang karena dia bisa masuk kamar kos Damar, hal yang paling dia inginkan dari dulu. Sekarang tanpa perlu memaksa, dia bisa dengan mudah ada di dalam sini. “Belum, saya nanti aja. Kamu duluan.” “Lho, kenapa? Mumpung anget, Kak. Lagian Kak Damar jangan nunda makan, nanti sakit.” “Saya gak nafsu makan.” “Kalau gitu biar Karin yang nyuapin, gimana?” “Gak perlu, saya mau istirahat lagi.” Karin berdecak sebal. “Kak Damar kenapa berubah cuek sih? Biasanya Kak Damar selalu baik sama Karin, friendly, tapi sejak kemaren malem jadi berubah,” keluhnya. “Kak Damar gak suka ya sama keberadaan Karin ke sini? Ya udah, kalau gitu Karin pulang lagi a ….” “Saya gak masalah kamu di sini.” Damar yang mau merebahkan diri, sekarang mengubah posisi menjadi duduk lagi. “Bohong! Udah ah, males. Karin pulang aja. Di sini juga cuma dianggep pengganggu waktu istirahat Kakak.” “Karin, saya beneran gak masalah kamu ada di sini. Kepala saya cuma agak pusing aja, jadi butuh istirahat sebentar.” “Kak Damar sakit?” “Mungkin,” sahut laki-laki yang duduk di atas ranjangnya. “Ih, Karin panggilin dokter keluarga aja ya buat ke sini?” “Gak usah repot-repot, Cuma pusing biasa.” “Tapi Karin khawatir, Karin telpon dulu bentar—“ “Saya gak perlu dipanggilin dokter, beneran.” Dia merebut ponsel Karin saat perempuan itu mau menghubungi dokter yang biasa menangani keluarga Atmaja. “Karin cemas, Kak.” Perempuan itu menatap Damar seolah ini hari terakhirnya di dunia. “Sejujurnya saya pusing karena bingung besok mau ngomong gimana ke keluarga Amira soal pernikahan saya dan dia yang harus dibatalkan.” Damar menumpahkan keluh kesahnya pada perempuan yang menjadi dalang di balik gagalnya renacan pernikahan Damar dan Amira. “Keluarga Amira udah percayain saya, tapi saya malah mengkhianati kepercayaan mereka.” “Kita juga gak tau kan kalau semua bakalan berakhir kaya gini? Karin merespons dengan pura-pura polos. “Seandainya kemaren Kak Damar gak maksa aku buat ….” “Cukup, saya gak mau dengar soal kemarin.” “Oh, maaf,” lirihnya sambil menunduk, menyembunyikan senyum tipis yang muncul dari bibirnya. “Maaf kalau gara-gara Karin semuanya jadi berantakan.” “Bukan, bukan salah kamu. Ini semua salah saya,” katanya. “Hal yang paling buat saya berat adalah Amira. Saya gak tega buat ngomong kalau kita gagal menikah. Saya gak bisa lihat orang yang saya cintai sedih.” Karin menelan ludah. Dia sempat menatap Damar cukup lama, sebelum akhirnya memberanikan diri mengelus pipi laki-laki yang lagi-lagi menangis. “Kalau Kak Damar tetep mau sama Kak Amira, Karin gak apa-apa. Karin rela. Seandainya nanti Karin hamil, Karin gak akan minta tanggung jawab Kak Damar.” Tentu saja, Karin gak mungkin merelakan Damar semudah itu. Ini semua adalah taktik untuk membuat Damar makin merasa bersalah dan akhirnya makin yakin untuk menikahi Karin. Itu yang Karin mau. “Saya gak akan melepas kamu, Rin. Itu gak mungkin.” “Tapi Kak Damar juga jadi gak bisa kan sama Kak Amira?” “Itu udah konsekuensi saya karena saya yang bersalah.” Karin memeluk lelaki yang berbeda usia 7 tahun dengannya dengan erat. “Kakak jangan sedih, ya? Ada Karin di samping Kak Damar. Pokoknya Karin janji bakalan jadi istri yang baik dan gak buat Kakak menyesal udah pilih aku.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD