Bab 1

906 Words
"Sakit, No." Suaraku terdengar lemah saat menyampaikan apa yang tengah kurasakan kala Fano mencengkeram erat lenganku. Fano tak memedulikan rengekanku yang memintanya untuk berhenti sejak dia menarikku dengan paksa menuju unit apartemennya. Meski membelakanginya, aku tahu betul kalau Fano sedang diliputi amarah. Garis rahangnya yang masih tampak di mataku menujukkan semuanya. Bersamaan dengan terbukanya lift, Fano kembali menyeretku tanpa menyisakan belas kasihan padaku yang sejak tadi sibuk merintih. Aku yakin sekali cengkeraman itu akan menimbulkan bekas kebiruan di lenganku nantinya. Seperti sebelum-sebelumnya. "Fano, sakit." Aku kembali merintih, mencoba sekali lagi menarik diri dari genggaman Fano meskipun aku tahu usahaku hanya akan berakhir dengan kesia-siaan. Tenagaku tak sebanding dengannya. Ketika Fano sedang membuka pintu apartemennya dengan memasukkan beberapa kombinasi angka, dia tetap bertahan pada posisinya. Tak berniat melepaskanku barang sedetik pun. Hingga pada akhirnya kami sudah berada di dalam apartemennya, Fano langsung menghempaskanku ke sofa, menimbulkan ringisan yang lebih kuat dari sebelumnya. Antara terkejut dan sakit yang tak bisa kutahan saat punggungku menabrak kerasnya kepala sofa. "Sudah kubilang berapa kali jangan bermain di belakangku." Fano buka suara, yang hanya berisi geraman penuh ancaman. Aku tidak berusaha membetulkan posisiku yang setengah berbaring saat mengangkat pandanganku ke arah Fano yang kini berdiri menjulang di hadapanku. Aku ketakutan tatkala menatap matanya. Mata yang dengan jelas dikelilingi oleh amarah. Secara naluriah aku mundur ketika Fano mengambil posisi bersimpuh, memojokkan diriku di ujung sofa. Peluh membasahi kening sampai ke leherku. Napasku tersendat-sendat karena harus melawan ketakutan yang tak kunjung menemui akhir. Aku seharusnya lari saat Fano mulai mendaratkan tangannya di wajahku, tetapi kakiku bahkan terlalu lemah hanya untuk menapak di lantai. Dan aku pun membiarkan Fano membelai wajahku sebelum usapan lembutnya turun ke rahangku sampai menjadi sebuah cengkeraman yang sontak membuatku mau tak mau menatap lurus ke arahnya. "Sekarang, jelaskan semuanya padaku." Suaranya penuh penekanan dan terdengar memaksa. Dengan cepat aku memutus kontak mata dengannya sesaat setelah Fano melepaskan tangannya dari wajahku. Kepalaku menunduk dengan tubuh yang menggigil ketakutan, tetapi aku tetap akan menyahuti permintaannya sebelum Fano menjadi lebih gila dari sekarang. "Di-dia temanku." Kalimat pertama, suaraku terdengar sangat pelan dan sedikit terbata. Aku hanya berharap Fano dapat mendengarnya. "Aku tidak membawa kendaraan dan dia hanya ingin mengantarku pulang." Biar kuperjelas, Fano marah hanya karena melihatku berada dalam satu mobil yang sama dengan seorang pria yang tidak memiliki hubungan darah denganku. Saat itu lampu merah tengah menyala, dan aku tak sadar jika mobil temanku berhenti tepat di sebelah mobil Fano. Insiden Fano yang memaksaku untuk keluar di tengah padatnya kendaraan yang sedang berada di traffic light pun tak terelakkan. Kami menjadi tontonan orang-orang saat itu. Namun, bukan itu yang aku risaukan, tetapi sikap Fano setelahnya. Dan benar, aku pun menerima imbasnya sekarang. Imbas atas kesalahan yang tak kumengerti. Kudengar Fano menghela napas panjang. Tak terdengarnya lagi suara Fano di pendengaranku selama sekian detik membuatku memutuskan untuk mendongak. Bermaksud mencari tahu suasana hatinya lewat air mukanya. Dadaku mengembang penuh kelegaan saat kupastikan bahwa wajah Fano tak sekeras sebelumnya. Sorotnya juga melunak ketika memandangku. Aku harap kemarahannya sudah mereda. "Kemarilah, peluk aku." Dia dengan sengaja melebarkan kedua tangannya, memintaku untuk masuk ke dalam dekapannya. Aku tidak menangis ketika mendapat siksaan dari Fano, tetapi entah kenapa air mataku selalu terpancing di saat-saat seperti ini. Saat di mana Fano kembali menjadi sosok pria berhati lembut yang kukenal. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung melempar tubuhku ke dalam pelukan Fano. Ketakutan yang semula hadir menghantuiku, kini lenyap digantikan dengan kelegaan hingga membuatku tidak dapat menahan jatuhnya bulir demi bulir air mataku. "Jangan ulangi lagi," ucapnya tepat di telingaku. "Kamu bisa memintaku untuk menjemputmu. Aku pasti akan datang kalau kamu yang meminta." Di dalam rengkuhannya, aku hanya bisa terisak kuat. Bahuku bergetar hebat dan yang Fano lakukan hanya mengusap pelan punggungku. Fano, dia selalu berhasil membuatku ketakutan dan secepat kilat mengubah rasa takutku akan dirinya menjadi rasa membutuhkan. Sudah satu bulan hubungan kami berjalan sejak aku nekad mengajaknya berkenalan secara terang-terangan waktu itu. Dan sudah tiga minggu pula aku resmi menyandang status sebagai kekasihnya. Ya, aku hanya membutuhkan waktu satu minggu untuk memikatnya. Aku takjub, bahkan tidak percaya dengan diriku sendiri. Pasalnya, Fano adalah lelaki yang sebelumnya telah menolak Brisa. Aku jelas terheran-heran sebab Brisa selalu berada satu level di atasku dalam hal apa pun. Tetapi entah bagaimana bisa seorang Fano yang menurutku sepantaran dengan Brisa bisa menolak pesona gadis itu dan malah tertarik padaku yang baru dikenalnya selama satu minggu. Namun, yang kupikirkan sekarang hanyalah memenangkan taruhan. Apa pun alasan Fano menerimaku, yang jelas kemenangan sudah menunjukkan dirinya di depan sana. Kendati selama sebulan ini aku mulai mengenal Fano lebih dalam sampai menemukan fakta bahwa ternyata pria itu memiliki sifat posesif yang tidak mentoleransi kesalahan sekecil apa pun yang membuatku selalu merasa terkekang, aku akan tetap bertahan. Hanya butuh waktu tiga bulan lagi sampai aku bisa lepas darinya. Bersama Fano, aku merasakan begitu banyak hal yang sebelumnya tidak pernah kurasakan. Seperti halnya dia yang kerap memperlakukanku bak seorang putri raja, membuat diriku menjadi sosok istimewa di hidupnya. Tetapi tak dapat kutampik jika Fano terkadang memperlakukanku seperti seseorang yang tak memiliki harga diri. Dan pikiran untuk menyerah akan taruhan ini pun muncul di saat-saat seperti itu. Karena aku terlalu takut menghadapi Fano yang seperti seorang monster. Kenyataan pun menyadarkanku bahwa bukan aku yang membawa Fano masuk ke dalam hidupku dan melibatkan dia dalam taruhan yang kulakukan dengan Brisa, tetapi lama-kelamaan aku sadar bahwa Fano lah yang telah membawaku masuk ke dalam hidupnya. Membuat perasaanku terombang-ambing tak tahu arah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD