Bab 2

1022 Words
Aku berada di dalam pelukan Fano saat air yang direbus di dalam panci bersama mi instan mulai bersuara, memberi tanda bahwa air tersebut sudah hampir mendidih. "Liatin dulu mi yang kamu rebus, No. Entar nggak enak kalo kelembekan." "Nggak mau." Dengkusan geli menjadi responsku atas jawaban Fano barusan. Pria itu benar-benar tidak berniat beranjak dari posisinya sama sekali. Malah, dia semakin mengeratkan pelukannya di tubuhku, tak memberi ruang gerak padaku. "Apa masih sakit?" Fano mengambil sebelah tanganku yang sebelumnya telah dibalut perban olehnya. Tangan yang mendapat perlakukan kasar dari Fano hingga meninggalkan rasa sakit yang tak bisa dikatakan biasa saja. Kugeser sedikit kepalaku, berputar ke samping hingga menghadap Fano yang tatapannya menyorot lekat ke arah tanganku yang masih digenggamnya. Rasa bersalah yang begitu dalam dapat kurasakan lewat sorot matanya dan wajahnya yang meredup. Entah kenapa hal itu selalu membuatku merasa kalah. Kalah akan kemarahan yang sempat meledak-ledak karena dia telah menyakiti fisik serta hatiku. Kepura-puraan yang kulakukan di hadapannya selalu hilang digantikan dengan perasaan tulus. Untuk mempertahankan Fano, aku memang selalu menjadi sosok yang berbeda. Harga diriku kubiarkan diperlakukan sesuka hati oleh Fano. Aku akan tetap menerimanya kembali meski dia baru saja menorehkan luka di hati serta fisikku. Bersandiwara bahwa aku baik-baik saja. Itulah yang aku lakukan selama satu bulan ini. Menjadi sosok yang tak seperti Auryn yang biasanya. Namun, setiap kali mata itu menatap dengan rasa bersalah dan menyesal, aku melemah. Kemarahanku juga ikut meredup. Dan kepura-puraanku akan digantikan dengan perasaan yang sesungguhnya. "Ini udah nggak sakit, kok. Jangan khawatir," jawabku atas pertanyaan Fano sebelumnya. Untuk kalimat barusan, seharusnya aku pun melakukannya dengan penuh kepura-puraan, tetapi nyatanya aku memang tak ingin melihatnya terlalu mencemaskanku. Padahal, sakit di tangan ini masih membekas. Sekuat tenaga aku menahan agar keluhanku tak tersuarakan. Fano beralih dari tanganku, melempar pandangannya pada wajahku sampai fokusnya jatuh di kedua mataku. Kami masih saling menatap saat wajah Fano semakin mendekat ke wajahku. Hingga bibirnya jatuh di daguku, aku pun memutus kontak mata dengannya dan mulai memejamkan kedua mataku dengan tubuh yang mendadak kaku. Gelisah menunggu apa yang akan dia lakukan setelahnya. Tiga detik setelah aku menghitung di dalam hati, dapat kurasakan kecupan di sepanjang rahangku walau kedua mataku sedang dalam kondisi tertutup. Bibirnya kemudian bergerak naik, menyapu sebagian wajahku dengan ciumannya lantas berhenti tepat di samping telingaku. "Maaf," bisiknya, menimbulkan reaksi aneh dalam tubuhku. Barulah aku membuka kedua mataku setelahnya, menunggu dalam hitungan detik saat Fano hendak menjauhkan wajahnya dariku dan kembali seperti posisi sebelumnya. "Maafkan aku, Ryn." Sekali lagi Fano mengucapkan kata maaf, membuat rasa ibaku padanya kian bertambah. Mengambil kedua tangannya, aku pun membawanya dalam genggamanku. Pandangan kami masih saling beradu, dan aku berinisiatif untuk bersuara, "Berhentilah meminta maaf karena aku sudah memaafkan kamu, No." Senyumku mengembang tatkala mendengar Fano menghela napas panjang sebelum bibirnya mengukir senyum yang sama denganku. Kepalanya kembali bergerak maju, kali ini hendak mencium bibirku, tetapi aku lebih dulu menahannya hingga membuat Fano mengernyit penuh tanda tanya. "Aku memang udah maafin kamu, tapi kamu masih punya satu kesalahan lagi yang belum bisa aku maafkan," kataku, menerangkan alasan kenapa aku menolak ciumannya. "Apa itu?" Aku mengedikkan daguku ke arah kompor. "Lima menit lagi, aku yakin rebusan mi kamu bakal meledak." Kekehan Fano mengalun renyah di telingaku setelah dia mengikuti arah pandangku. Kemudian dia berjalan menuju kompor karena sepertinya Fano tak rela apartemennya meledak hanya karena mi instan. Aku ikut beranjak dari kitchen counter dan menghampirinya di dapur. Dengan tubuh yang kusandarkan di samping kompor, aku mengamati Fano yang tengah mematikan kompor sebelum berjalan menuju bak pencuci piring. "Kok dibuang?" tanyaku saat melihat Fano membuang mi tersebut. Fano membiarkan panci yang telah kosong tetap berada di bak pencuci piring sementara dia melangkah menghampiriku. "Kamu nggak suka yang terlalu lembek," jawabnya setelah berdiri di hadapanku lantas mengurungku di antara kedua lengannya yang sengaja ditumpukan di pinggiran meja. Aku berdecak geli sembari melipat kedua tanganku di depan d**a dan memfokuskan pandanganku pada lelaki tampan di depanku ini. "Dan kamu ngebuat aku kelaperan." Gantian Fano yang kelihatan geli. Terlihat dari air mukanya yang sudah berubah. "Kita delivery aja. Kamu mau apa, hm?" Aku sudah membuka mulutku dan hampir menyuarakan makanan apa yang mampir di otakku, tetapi Fano sudah lebih dulu menyelanya. "Jangan yang pedes-pedes." Matanya menyipit saat memberi peringatan itu kepadaku. Aku terkekeh pelan. Fano memang tidak bisa menyantap hidangan yang memiliki cita rasa pedas. Dia akan berakhir di kamar mandi setelahnya. "Aku mau ayam geprek," kataku, dengan senyum jahil yang kuberikan kepada Fano. "Level satu." Aku menggeleng. "Level sepuluh." "Kamu yang level sepuluh. Aku level satu." Kembali aku menggeleng. Masih tak mau mengalah. "Nggak adil. Kalo aku level sepuluh, kamu juga harus level sepuluh, dong. Jangan bikin cintaku bertepuk sebelah tangan." Pada akhirnya hanya desahan lemah Fano yang kudengar, membuatku menggigit bibir menahan tawa. Dia lantas mengubah posisinya menjadi berdiri tegak di hadapanku. "Kamu mau bikin aku bolak-balik ke kamar mandi?" Tawaku meledak juga saat melihat wajah cemberut Fano. Aku langsung memeluknya dan tergelak di sana. Sementara Fano yang terlihat masih kesal tetap membalas pelukanku. "Jadi, mau makan apa? Kita pesen sekarang. Kamu nggak boleh terlalu lama nahan lapar. Aku nggak mau kamu sakit." Aku menarik tubuhku dari Fano, memberi sedikit jarak di antara kami dengan membiarkan kedua tanganku tetap memeluk pinggangnya. Tidak lupa pula kulemparkan senyum tulus untuknya atas bentuk perhatiannya kepadaku barusan, yang membuat hatiku melonjak senang di dalam sana. "Ayam geprek, No." Pupil Fano melebar. "Masih tetep ayam geprek?" Aku mengangguk semangat sambil memamerkan senyum lebarku. Fano hanya geleng-geleng kepala saja. "Ya, udah. Biar aku pesen sekarang." "Asyik!" Aku bersorak gembira dan secara refleks memeluknya kembali walau hanya sekejap. "Terima kasih Fano-ku tersayang." Fano terkekeh geli seraya mengacak-acak rambutku. "Giliran ada maunya aja baru disayang-sayang." Aku hanya menunjukkan cengiran lebarku, kemudian bergelayut manja di lengan Fano saat kami sama-sama berjalan menuju kitchen counter untuk memesan. Dalam kondisi seperti ini, terkadang aku lupa bahwa yang kulakukan saat ini hanyalah sandiwara. Aku terlalu larut dalam kebahagiaan yang Fano berikan untukku. Aku terlena akan perhatiannya padaku. Tetapi jujur, momen seperti ini membuatku betah berada di sisi Fano sepanjang hari. Sampai detik ini, tidak ada hal lain yang begitu kutakutkan. Kecuali satu, aku takut jatuh cinta pada Fano.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD