Bab 3

1126 Words
Suara air mengalir saat aku menekan flush menjadi pertanda berakhirnya kegiatanku di kamar mandi. Walau begitu, perutku masih menyisakan rasa perih sehingga membuat langkahku agak tertatih ketika hendak membuka pintu kamar mandi. Semua ini karena ayam geprek level sepuluh yang kumakan tadi. Serius, aku adalah tipe orang yang tidak bisa makan bila tidak ada cita rasa pedas dalam makananku. Sekalipun tingkat kepedasannya sampai membuatku berkeringat bahkan menangis, aku masih akan baik-baik saja. Namun, sepertinya aku sedang sial sekarang. Perutku rasanya seperti dililit oleh sesuatu. Sakit sekali. "Sudah kubilang berhenti memakan makanan pedas, Auryn." Jantungku hampir melompat keluar dari tempatnya sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi. Mengelus pelan dadaku, aku pun mengarahkan tatapanku pada Fano yang kelihatan kesal. Suara setengah membentaknya sudah jelas menunjukkan seperti apa suasana hatinya saat ini. Dia bergerak merangkulku, memapah tubuhku berjalan menuju sofa. Aku membiarkannya tanpa melayangkan protes meski mulutku sudah sangat ingin mengatakan kepadanya bahwa aku sedang tidak dalam kondisi sekarat. Fano sedang dalam mood yang buruk. Tentu saja aku tidak ingin membuat sang monster menunjukkan taringnya. "Kamu ngapain?" tanyaku pada Fano yang tengah mengotak-atik ponselnya sebelum menempelkan benda tersebut di telinganya. "Menyuruh teman dokterku untuk memeriksamu di sini." Aku melotot. Fano pasti sudah gila. Bagaimana bisa dia menyuruh dokter untuk memeriksaku sementara sakit yang kurasakan adalah hal yang biasa terjadi ketika seseorang terlalu banyak mengonsumsi makanan pedas. Dengan cepat aku berdiri dari posisi dudukku, mengangkat satu tanganku untuk merebut ponsel tersebut dari Fano dan mematikan sambungannya langsung. "Apa-apaan kamu, Auryn!" bentaknya padaku. Bagus, Auryn. Kamu baru saja memanggil monster dalam diri Fano. Suara hatiku menyadarkanku akan sikapku barusan, tetapi Fano memang sangat berlebihan. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun walau dokter yang Fano minta untuk memeriksaku nanti akan dibayar olehnya. "Ini cuma sakit perut biasa, Fano. Aku nggak butuh dokter." Aku membalas bentakannya dengan nada yang sama, walau tak sekeras miliknya. Tatapan Fano menggelap, dan aku mengambil sikap waswas setelahnya. "Kembalikan handphone-ku." Respons yang tak terduga dari Fano. Kupikir dia akan kembali berargumen dengan pikiran tak masuk akalnya itu. "Berjanjilah kalau kamu nggak akan memanggil seorang dokter untuk memeriksaku." Sebuah penawaran dariku, dengan ponselnya yang masih kusimpan di belakang tubuhku. "Aku meminta handphone-ku, Auryn," desisnya, tak menanggapi tawaranku barusan. Aku menelan ludahku susah payah. Namaku yang disebut oleh lidahnya dengan sebuah penekanan yang kuat pastilah mengandung arti tertentu, yang tidak lain adalah bentuk dari sebuah kemarahan. Bawah sadarku mengangkat kedua tangannya di udara, mendeklarasikan sebuah kekalahan. Fano memang tak bisa dilawan. Aku selalu takut jika dia kembali bermain fisik. Aku tak ingin terluka lagi, setidaknya setelah apa yang dia lakukan pada lenganku di hari ini. Dengan mata yang menatap hati-hati ke arahnya, aku akhirnya mengulurkan tanganku padanya untuk menyerahkan benda pipih tersebut, yang langsung direbut dengan kasar oleh Fano. Dia tidak berjanji sebelumnya, jadi, aku hanya menghela napas saat Fano kembali menghubungi seorang dokter untuk datang ke sini. Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah dengan sikap berlebihan Fano, dan kembali duduk di sofa untuk menenangkan adrenalin yang berpacu kuat saat berhadapan dengannya. Setelah Fano menyelesaikan panggilan teleponnya dengan teman dokternya itu, dia mengambil duduk di sisiku, begitu dekat karena dia berniat untuk menyentuhku. Menyentuh di bagian rambutku dengan penuh kelembutan. "Sebaiknya kita ke kamar supaya temanku bisa memeriksamu." Dia kembali memerintah. Menurutinya merupakan pilihanku. Lelah rasanya berdebat dengannya kalau ujung-ujungnya aku yang selalu kalah. Aku bangkit dari dudukku dalam diam, hendak melaksanakan titahnya. Akan tetapi genggaman tiba-tibanya pada tanganku menahan kakiku yang siap melangkah. Aku melengkungkan alis ke arahnya, bertanya lewat raut yang kutunjukkan padanya. Hingga tiba saat di mana satu tangannya sudah berada di belakang leherku dan satunya lagi mendarat di lekukan kakiku, aku pun memekik tertahan saat tubuhku melayang. Demi, Tuhan! Aku sedang berada di dalam gendongan Fano sekarang. Dengan bridal style yang tak kuduga-duga sebelumnya. "Fano! Aku bisa jalan sendiri!" jeritku, panik dengan situasi seperti ini. "Sssttt." "Fano, please turunin aku." Tatapanku berubah memelas. Dia menggeleng tegas, menolak permintaanku tanpa berpikir dua kali. "Aku nggak akan ngebiarin sakit yang kamu rasakan semakin parah kalau kamu berjalan di atas kakimu sendiri." Pupilku membesar, tak habis pikir dengan kerja otaknya. Ini benar-benar tak masuk akal. Rasa sakit di perutku bahkan sudah hilang sejak aku beradu argumen dengannya tadi. Seakan-akan tahu bahwa aku akan kembali membantahnya, Fano segera membungkamku dengan ucapannya. "Diamlah, Ryn. Kamu tahu aku nggak suka penolakan." Dan mulutku terkunci setelahnya. Keluhanku kembali tertelan tanpa dapat kusampaikan. Ya, aku tahu betul Fano tidak suka penolakan, tetapi sialnya aku sangat ingin menolaknya. Namun, bila itu yang kulakukan, aku tahu cepat atau lambat hubungan ini akan berakhir sebelum waktunya tiba. Aku tak ingin itu terjadi. Jadi, sekali lagi aku kembali berpura-pura walau hatiku menjerit tidak terima di dalam sana. Rasanya sungguh menyesakkan saat aku tak bisa menyampaikan sesuatu yang mengganjal di hatiku. Fano merebahkanku di ranjangnya dengan hati-hati, seolah-olah takut menyakitiku. Sementara aku hanya mendesah di dalam hati. Aku benar-benar terlihat seperti orang yang tengah sekarat sekarang. Nyatanya, aku tidak selemah itu. Hanya dengan Fano saja aku menjadi sesosok gadis yang tidak berdaya seperti ini. Aku refleks menatapnya manakala dia mengusap perutku walau hanya dari balik blouse yang kugunakan. "Apa masih sakit?" tanyanya. Ekspresi pemaksanya sudah luntur digantikan dengan kecemasan. Sialan! Aku selalu lemah bila Fano sudah menunjukkan wajah itu. Entah kenapa rasa bersalah kerap hadir dan menampar keras diriku, membuatku sadar seketika bahwa aku datang ke kehidupan Fano hanya untuk sebuah taruhan yang kulakukan dengan Brisa. Intinya, di sini Fano berperan sebagai mainanku. Tangan yang tadinya berada di perutku, kini naik hingga mendarat pada wajahku. Menangkupnya lantas memainkan ibu jarinya di sana saat mulutku belum juga terbuka untuk menjawab pertanyaannya. "Maafkan aku, Ryn." Ucapannya membatalkan niatku yang tadinya ingin menjawabnya. "Seharusnya aku nggak ngebiarin kamu makan yang pedas-pedas. Seharusnya aku tetap maksa kamu untuk pesan makanan yang lain. Gara-gara aku kamu jadi sakit seperti ini." Lihat! Aku benar-benar seperti tokoh antagonis dalam hubungan ini. Fano benar-benar mengkhawatirkanku, sementara aku memanfaatkannya hanya untuk menaikkan eksistensiku di mata Brisa. Aku merasa bersalah sekarang. Sangat. Mengambil tangan Fano yang berada di wajahku, aku pun membawanya ke dalam genggamanku. Hatiku yang tadinya terasa panas karena paksaan darinya, kini sudah melunak. "Kamu nggak salah. Jangan meminta maaf." Fano menggeleng, membalas genggamanku dan meremasnya pelan. "Aku yang salah. Maafkan aku." Sungguh, hatiku seperti dicabik-cabik oleh benda tajam tiap kali mendengar permintaan maaf Fano walaupun dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Alhasil, yang kulakukan setelahnya adalah memeluk Fano. Ini merupakan cara terbaik untuk membuatnya agak tenang dan tidak terus menyalahkan dirinya sendiri. Di dalam hati, aku memintaa maaf berkali-kali kepada Fano. Permintaan maaf yang mungkin tak akan pernah tersuarakan. Karena aku takut. Takut kalah atas taruhan yang kulakukan dan membuat Brisa semakin berada di atas angin. Atau mungkin, aku takut saat di mana Fano akan benar-benar pergi dari hidupku. Entahlah. Aku sedang tidak ingin memikirkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD