Bab 5

1010 Words
"Kak Reza mana ya?" Dara pura-pura lupa. Tapi, beberapa saat kemudian ia tertawa keras. Perasaaannya memang tidak bisa ditutupi, apa lagi pada Gia. "Tuh, enggak ngaku!" Gia mencibir. "Sudahlah...itu sudah berlalu." Dara melihat jam dinding."Sudah hampir makan siang. Aku pergi ya, Gi." "Cepet banget, Ra...aku enggak ada temennya nih. Yang lain lagi pada pergi," protes Gia. Ia berdiri merapikan makanannya. Dara terkekeh, ia menyandang tas laptopnya lalu melambaikan tangan."Bye, Gia...hati-hati ada nenek Kunti." "Ah kamu, Ra...nakutin aja." Gia cepat-cepat mengambil semua makanan yang dan pergi dari ruangan itu Wnita itu memang penakut. Mana ada hantu di siang bolong begini.. Dara terkekeh saja melihat tingkah Gia. Dengan perasaannya yang tenang, Dara menuju parkiran, hendak pergi ke kantor untuk menemui Dimas.  Rasanya lebih nyaman bertemu d kantor, mengingat suasana dan lokasinya yang tidak begitu ramai. Ternyata, ia lebih dulu sampai. Ia segera mengambil posisi duduk di ruangan kaca, agar ketika Dimas datang, pria itu langsung bisa melihatnya. Baru saja ia duduk, Dimas muncul di balik pintu. "Hai, Ra..." "Hai, silakan masuk, Dim!" "Maaf ya,udah lama nungguin aku?" Dimas berkata sambil duduk. "Baru duduk aja kok. Wah, bawa orang ya." Dara melihat ke arah Namira. Dara ingat bahwa wanita itulah yang tempo hari bersama Dimas.Ia melemparkan senyuman pada Namira. Namira membalasnya tipis. "Ini temen aku, Namira."Dimas memperkenalkan wanita di sebelahnya pada Dara. Dara tersenyum manis ke arah Namira."Hai, Namira. Aku Dara." "Hai..." Namira tersenyum kikuk. Ia duduk di sebelah Dimas. "Aku udah revisi,nih, Mas. Silahkan dilihat." Dara menyodorkan beberapa lembar kertas. KEmudian ia susun agar DImas mudah memeriksanya. Namira ikut melihat gambar kerja itu. Ia memandangnya dengan takjub."Ini Mbak yang bikin?" "Iya, Mbak." "Hebat, Mbak. Bagus," puji Namira. Dara tersenyum."Terima kasih." Dalam hati, Dara berdoa agar tidak revisi lagi. "Tapi, kayaknya untuk Dimas...warnanya kurang cocok deh, Mbak."Ucapan Namira, kini mematahkan hati Dara yang sudah telanjur berharap. "Warna apa, Mbak?" Dara memerhatikan gambar. ia rasa untuk pewarnaan sudah sesuai dengan keinginan Dimas. "Warna kamarnya," balas Namira lagi. Dimas merasa berisik dengan percakapan dua wanita di sekelilingnya."Enggak kok, aku suka warna ini." "Tapi, itu enggak cocok, Dim..."Namira menyanggah seolah-olah ia yang paling tahu soal rumah. "Namira...ini rumahku, aku yang tahu. Sudah ya...tenang dulu." Dimas berusaha menenangkan. "Ya...siapa tahu nanti juga jadi rumahku,kan? Jadi...aku juga bisa ikut menentukan," kata Namira membuat Dimas tersedak ludahnya sendiri. DImas terbatuk-batuk, tenggorokannya terasa perih. "Aku ambilkan minum di mobil." Namira berjalan cepat ke arah mobil, takut Dimas kenapa-kenapa. "Bisa enggak lain kali...kalau mau revisi enggak usah bawa bodyguard?" kata Dara pada Dimas. Bukan ia cemburu, hanya saja jadi tidak nyaman karena banyak ikut campur dengan sesuatu yang bukan urusannya. "Iya, sih...tadinya enggak mau bawa. Tapi, dia mau ikutan. Memangnya kenapa? Kamu enggak nyaman? Atau cemburu?" Goda Dimas. "Ngeribetin!" "Ra, ini pakai granit kan?" tunjuk Dimas pada ruang tengah dan ruang tamu. "Iya pakai granit." "Kamar juga?" Dimas memastikan. Dara mengangguk."Iya. Kalau mau diganti juga enggak apa-apa sih. Ini semua sudah sesuai dengan permintaan kamu, Dim, kecuali...cewek itu bisa membuat kamu berubah pikrian." Dimas menggeleng kuat."Enggak udah cocok sih aku. Tapi, kalau desain depan enggak usah pakai pilar gede gini gimana, Ra? Aku maunya bagian depan tuh simple aja." "Tapi, pilar itu fungsinya menahan beban di atas sih, Mas. Selain itu berfungsi juga untuk nilai estetika bangunan."Dara mulai menjelaskan tentang fungsinya. "Ditiadakan aja ya. Yang sederhana aja bagian depan." Dara mengangguk."Oke. Nanti aku revisi ya." Namira datang membawa botol minuman."Nih, minum, Dim." "Thank you." Dara menatap keduanya dengan penuh tanda tanya. "Kamu pacarnya Dimas?" "Bukan...tapi kami masih pendekatan aja. Doakan aja, Mbak...secepatnya kami naik ke pelaminan." Dara tersenyum tipis."Iya, Mbak. Semoga ya." “Jangan dengerin dia, Ra,” bisik Dimas. Dara tersenyum kecut, tak membalas ucapan Dimas. ** Dua hari kemudian...   "Hai...hai...aku bawa rujak."Gia masuk ke dalam ruang kerja. Dara dan Vania menoleh ke arah Gia yang sudah ambil posisi di meja tamu. vania begitu antusias dan langsung bergabung. "Enak nih, rujak yang dari tempat biasa itu kan?" Gia mengangguk."Iya. Favoritnya Dara. Hei, Ra...rujak nih." "Sebentar...aku mau nyiapin ini dulu. Aku udah janjian sama Dimas," kata Dara tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kali ini ia membuat desain tampak depannya dengan begitu indah dan sesuai dengan permintaan Dimas. "Kayaknya...kalau udah soal Dimas kamu jadi ngabaikan yang Lain deh, Ra,"kata Gia sambil mengunyah buah jambu. "Siapa Dimas? Gebetan Dara?" tanya Vania. "Iya...kaget, kan...nah itu Dara udah normal sekarang,"balas Gia. "Bukan. Dimas itu klien aku tahu..." Dara ikut bergabung bersama mereka. Ia mengambil potongan buah nanas, mencolekkan ke sambal lalu mengunyahnya. "Tapi, ya, Van...kalau udah mau ketemu Dimas katanya...pasti Dara ini langsung semangat empat lima,"jelas Gia pada Vania. Vania mengangguk-angguk mengerti. Lalu ia menoleh ke arah Dara."Suka sama Dimas?" "Kayaknya iya..." Dara terkekeh. Gia mendorong lengan Dara pelan. "Huhh baru ngaku." "Tapi, ada gebetannya, bok!" Vania dan Gia menoleh cepat."Siapa? Cantik? Seksi? Perkumpulan kita-kita?" Dara menggeleng."Enggak tahu ih dia berasal dari mana. Yang pasti...Dimas itu sering sama cewek namanya Namira." "Duh...masa sih seorang Dara punya saingan. Kalahkan dong. Hajar!" kata Gia dengan semangat. Dara tertawa."Apa kali ah...dihajar." "Maksudnya...rebut dong hati Dimas. Ya kan, Van!" Gia meminta dukungan dari Vania. "Betul itu, Ra. Kalau cinta itu dikejar. Nanti nyesel." Dara berdiri, membersihkan tangannya dengan tisu. Ia mengambil tas dan laptopnya di meja."Lihat nanti deh. Aku pergi dulu ya." "Semoga sukses!" teriak Vania dan Gia bersamaan. Dara berjalan sedikit tergesa-gesa begitu sampai di kafe. Ia sedikit terlambat karena jalanan macet. Ia merasa tidak enak sudah ditunggu eh Dimas. "Maaf...macet." Dara langsung duduk di hadapan Dimas. Dimas tersenyum."Enggak apa-apa. Aku juga sambil makan siang ini." Dara mengeluarkan laptop dan menunjukkan gambar yang sudah sejak semalam ia buat sampai begadang. Dimas meletakkan sendoknya dan memerhatikan gambar."Ini desain kamu?" "Bukan. Itu desain kucing saya,"balas Dara. "Kenapa enggak desain burung kamu?" "Enggak punya burung, punyanya gunung," balas Dara asal. Dimas terdiam sejenak, menatap 'gunung' Dara sekilas. Lalu kembali memusatkan perhatian pada gambar bestek. "Kalau enggak suka, langsung bilang aja. Biar aku pergi dari sini. Udah lapar soalnya," kata Dara sedikit bosan. "Eh, kamu pesan makanan aja, Ra. Sorry lupa nawarin." Dara tersenyum, kemudian ia memanggil pramusaji dan memesan makanan. "Kamar yang di lantai dua bisa dibesarin enggak?" Dimas menatap Dara.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD