Bab 4

1016 Words
"Namira? Mau ngapain dia?" Dimas berpikir terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mengangkatnya atau tidak. "Halo, Mir?" "...." "Aku...enggak tahu, Mir...soalnya aku lagi di tanah aku yang lagi mau dibangun." "...." "Oh...oke." Dimas mengembuskan napas, Namira mengajaknya ketemuan. Entah kenapa lokasi dimana Namira mengajaknya bertemu dekat dari sini. Seakan semua sudah ditakdirkan untuknya. Mau tidak mau Dimas datang ke sana. Dimas mengerutkan keningnya saat melihat mobil yang mirip dengan mobil Dara terparkir di sana. Setelah beberapa detik ia segera sadar dan masuk ke dalam kafe dimana Namira sudah menunggunya. Dimas langsung menemukan Namira. Wanita itu tampak anggun dengan balutan dress panjang bewarna biru tosca. "Hai," sapa Dimas. "Hai, darimana?" Dimas tersenyum tipis, basa-basinya basi sekali. Jelas-jelas tadi ia sudah mengatakan kalau ia dari meninjau lokasi."Dari ninjau lokasi." "Kayaknya capek banget?" "Lumayan. Panas,"jawab Dimas yang kemudian memanggil pramusaji untuk memesan minuman. "Dimas...aku mau bicara sesuatu sama kamu." Namira memulai pembicaraan. "Iya...soal apa?" tanya Dimas sambil menyeka wajahnya dengan tisu. "Perjodohan kita." Gerakan Dimas terhenti."Ehmmm maksudnya...perkenalan kita ini? Aku enggak menganggapnya perjodohan sih, Mir. Lebih ke perkenalan aja." "Iya...semacam itulah," kata Namira. "Oke. Lalu? Apa yang kamu permasalahkan?" "Aku tertarik padamu, Dimas..." Tubuh Dimas membatu."Oke...terus?" "Aku tahu...kemarin kamu sudah menolak dijodohkan denganku. Mama udah bilang sama aku." "Iya. Itu benar. Karena...ya aku jujur saja enggak mau dijodohkan," ucap Dimas jujur. Ia tahu ini akan menyakiti hati Namira. Tapi, itu lebih baik dari pada ia berbohong hanya untuk membuat hati orang lain senang. Suatu saat itu juga akan menyakiti hati orang tersebut. "Kamu enggak mau mencoba, Dimas?" tatap Namira. "Mencoba apa, Mir?" "Mencoba menjalin hubungan denganku. Kita belum mencoba, kan?" Wajah Namira memperlihatkan keseriusannya. "Mungkin...kita mulai dengan berteman biasa aja, Mir. Kalau langsung memulai hubungan dengan ikatan pacaran...ya aku enggak bisa,"tolak Dimas. Hati Namira terasa berdenyut. Tapi, ia akan menerima keputusan Dimas. Mungkin saja, suatu saat nanti ia bisa meluluhkan hati pria itu."Kamu punya kekasih?" "Kenapa bertanya seperti itu?" "Hanya memastikan saja." Dimas berdehem, lalu tidak sengaja ia menangkap wajah Dara di sudut sana sedang tertawa bersama teman-temannya. Dara dikelilingi banyak pria yang merupakan rekan-rekan satu profesinya. "Jadi, dia meninggalkan aku yang tampan ini demi berkumpul dengan teman-teman prianya? Sangat tidak profesional," kata Dimas dalam hati. "Kamu lihat apa, Dim?" Dimas menatap Namira."Ah, enggak. Minumanku udah datang." "Oh..." Namira tersenyum tipis. Sementara Dimas menyedot minuman dinginnya sambil mencuri pandang ke arah Dara. Sementara itu, Dara sadar ia sedang diperhatikan. Bahkan ia tahu kedatangan Dimas sejak pria itu memasuki kafe ini. "Ra,katanya kamu Nerima project orang lagi ya?" Kata Bayu. Dara mengangguk."Iya. Bosen juga enggak kerja." Nino tertawa."Orang bosen kerja...lah kamu bosen karena enggak kerja." "Lagian ngapain juga sok-sokan pensiun,"tambah Haris. Dara terkekeh. "Capeklah...saatnya berwirausaha." "Iya deh...yang udah jadi sosialita. Padahal aslinya sih karena gagal move on," balas Haris. Ketiga pria di sekeliling Dara pun tertawa mengejek. “jahat banget sih kalian.Ya kadang aku rindu juga kan...berkutat dengan laptop dan mouse. Kangen pengen desain juga. Gimana pun juga dunia ini yang membesarkan namaku...serta mengenal kalian semua,"kata Dara membuat ketiga temannya itu meleleh. "So sweet sekali kamu, Ra. Tapi, sayangnya jomlo,"kata Bayu. "Sumpah...kau menyebalkan." Dara melirik sebal yang kemudian mendapat balasan tawa dari ketiga temannya itu. **   Dara menatap layar laptopnya dengan serius. Entah kenapa pekerjaan ini justru membuatnya stres. Ternyata Dimas cukup cerewet dalam hal ini. Kemarin, ia sudah menyerahkan hasil desainnya. Tapi, pria itu memberikan revisi. Ada beberapa hal yang harus diubah. Ia harus bekerja beberapa kali, mengulangi beberapa detail, menambah luas bangunan, sangat menguras waktu.  Hari ini, di jam makan siang mereka akan bertemu lagi. Dara berharap kali ini desainnya akan disetujui oleh Dimas. Sambil melihat waktu yang terus berjalan,. Dara kembali meemriksa dan emmastikan desainnya sesuai dengan permintaan Dimas. "Ra, ngapain?" Gia, asisten sekaligus sahabat Dara melongok ke arah laptop."Loh...masih mainan itu?" Ia lagsung tertawa geli. PAsalnya, Dara mengatakan kalau ia sudah kapok menjadi Arsitek, sejak ia dituduh menggelapkan dana proyek. Ia memang tidak terbukti melakukan itu, tapi, proses penyelidikan yang panjang membuat Dara merasa cukup dengan profesi ini. "Iseng...mau cari yang beda aja,"kata Dara. Ada masanya kita merasa bosan dengan aktivitas sehari-hari yang itu-itu saja. Terkadang ia tetap rindu menjadi Arsitek, walau sebenarnya ia merasa tidak cocok dengan profesi itu. tapi, di sanalah namanya dibesarkan. Gia terkekeh. Ia duduk di sofa sambil meletakkan makanan yang dibawa. Tubuhnya yang gendut itu tak membuatnya mengurangi porsi makan."Siapa kliennya?" "Ada...cowok. Masih muda. Lumayan ganteng, sih..." Dara menghentikan pekerjaannya lalu ikut bergabung bersama Gia. Gia melirik."Ganteng versi kamu atau versiku?" "Versiku dong!" Dara mencomot kentang goreng. "Terus...terus...kerjanya apa?" Gia terlihat antusias dengan cerita Dara. "Entahlah...enggak nanya." Dara tertawa geli."Tapi, ada yang lucu tahu..." Gita semakin antusias mendengarkan Dara karena sahabatnya itu jarang sekali bercerita soal lelaki kecuali saudara atau rekan kerja mereka. Dara termenung, mengingat-ingat setiap kejadian saat pertama kali ia bertemu dengan Dimas."Sebelum itu...kami udah pernah ketemu, dia marah-marah ke aku." "Loh kok bisa?" tanya Gita heran. "Dia salah orang...dia pikir aku adalah orang yang dia cari. Dia enggak nanya...langsung marah-marah gitu ke aku."Dara tersenyum penuh arti. Sebenarnya itu sangat berkesan untuknya, namun sayang, Dimas sepertinya sudah punya kekasih. Gia tertawa."Malu banget dong dia." "Makanya...malulah...makanya pas kita ketemu lagi, dia kayak kaget, terus malu-malu." Kini Dara tertawa."Tapi, lumayan, sih mukanya." "Tuh, kan...mulai nih." "Mulai apa, sih, dia udah ada pacarnya tahu." "kamu udah dapat tanda-tanda jodoh tuh,Ra, apa lagi dia itu lumayan,"kata Gia. Dara terkekeh, ia berdiri dan kembali ke mejanya untuk memprint gambar yang akan ia serahkan pada Dimas."Nanti kami ketemu lagi. Agak bawel sih orangnya. Tiga kali revisi enggak cukup. Luar biasa sekali, orangnya perfectionist." "Masa sih...desain kamu bagus gitu ..." Gia menatap lembaran kertas yang menurut dia berisi desain yang sangat indah."Eh, tapi, kalau dia perfectionist, kalain sama dong. Tu, kan...jodoh." Gia tertawa keras. "Ya wajarlah...namanya desain enggak cukup sekali, Gi." Dara merapikan kertas yang keluar dari printer. "Lagian kamu...ngapain sih balik lagi ke dunia arsitekmu itu. Udah enaklah kita begini. Ngurusin dunia wanita kita." Dara tersenyum. Dulu, ia memang jenuh dengan pekerjaannya sebagai Arsitek. Tapi, sekarang ia rindu masa-masa itu. "Aku kangen masa-masa itu, Gia." "Mengenang kebersamaan dengan Kak Reza?" sindir Gia. Rez adalah mantan terindah Dara. Sampai sekarang, sahabatnya itu belum bisa move on darinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD