Bab 3

1015 Words
Dimas berhasil menerobos kemacetan di jam makan siang. Ia menuju kantor, tempat dimana ia berjanji akan bertemu dengan arsitek yang disarankan oleh Doni. Dimas mengecek ponselnya, lalu melihat pesan dari Adara yang mengatakan kalau ia sudah menunggu di dalam. Ia hanya perlu mengatakan pada recepcionist kalau ia sudah punya janji dengan Adara. Dimas mengangguk sendiri. Ia suka jika bertemu dengan seseorang yang menghargai waktu. Adara sudah ada di tempat dan menyiapkan segalanya. Ia tidak perlu lagi mencari. Dimas langsung ke recepcionist. "Mbak, saya sudah ada janji dengan Ibu Adara." Wanita cantik tersebut mengangguk. Kemudian melihat sebuah agenda.”Bapa Adimas Setyo Husodo?” Dimas menganggguk.”Iya, Mbak benar. Itu saya.” "Baik, Pak. Mari saya antar." Dimas mengikuti wanita cantik tersebut. Ia dibawa ke sebuah ruangan."Silahkan masuk, Pak. Ibu Dara ada di dalam, sudah menunggu Bapak." "Terima kasih, Mbak." "Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu." Dimas mengangguk, kemudian ia masuk ke dalam ruangan itu."Permisi." "Iya, silahkan mas...uk." Dara tercengang melihat siapa yang datang. Dimas mematung di tempat, wajah Adara tak asing. "Kamu...siapa?" "Saya cari Ibu Adara Lembayung Senja. Katanya ada di ruangan ini." Dimas melihat ke sekeliling ruangan. Tapi hanya ada mereka berdua. "Itu saya. Kamu...Dimas? Maksud saya Adimas Setyo Husodo? Temannya Doni?" Dara memastikan. "Iya." Dimas mengangguk. Kemudian ia teringat bahwa wanita ini adalah wanita yang kemarin ia marah-marahi di kafe. "Oh...baiklah...dunia begitu sempit. Kita bertemu lagi." Dara menyeka dahinya."Silahkan duduk, Pak Dimas." "Jadi, kamu arsiteknya?" Dimas memandang Dara tak percaya. Mendadak perutnya menjadi mules mengingat kejadian tempo hari. Dara duduk sambil menahan senyumnya. Ia juga teringat kejadian tempo hari. Ia tidak akan lupa dengan pria yang tiba-tiba marah-marah padanya."Kalau anda tidak setuju, tidak apa-apa. Di kantor ini ada arsitek yang lain kok." Dimas mendecak sebal. Ia paling malas jika harus mengulang sesuatu. Ia harus pergi keluar menunggu Arsitek yang lain. Membuat janji dan bertemu lagi di lain waktu."Ya udah kamu aja. Enggak usah pakai bahasa yang formal. Panggil aja Dimas." "Baiklah. Panggil aku Dara. Jadi...,Dimas, ada yang bisa aku bantu?" tanya Dara dengan sopan. Dimas menghempaskan tubuhnya di kursi."Baiklah langsung saja. Aku butuh jasa kamu untuk mendesain rumahku. Luas tanahnya empat ratus meter persegi." Dara mencoret-coret kertas kosong di hadapannya."Oke. Empat ratus meter persegi. Mau desainnya bagaimana? Konsepnya minimalis, klasik, atau ala-ala Eropa?" "Bagusnya yang bagaimana?" Dara mengerutkan dahinya."Ya kamu sukanya rumah yang bagaimana? Kalau kamu suka yang simple-simple, pakai konsep minimalis aja. Sebenarnya kalau masalah konsep...kamu tinggal bilang maunya gimana. Nanti aku tinggal mewujudkannya." "Rumahnya harus dua lantai. Satu kamar utama, satu kamar tamu dan dua kamar tidur yang lainnya," kata Dimas. "Dua kamar tidur lainnya? Kamar anak maksudnya?" tanya Dara sambil mencoret kertasnya lagi. "Ya...misalnya nanti punya anak, ya anakku tidur di situ." Dimas terkekeh. "Oh kamar anak maksudnya." "Iya. Tapi, karena aku belum menikah dan punya anak...ya disebut kamar lainnya." Dara meletakkan pensilnya. "Oke...keinginan lainnya? Misalnya mau ada kolam renang. Kalau...ruang tamu, dapur dan kamar mandi kan sudah wajib ada ya. Tambahan lainnya mungkin..." Dimas tampak berpikir beberapa saat."Aku bingung sih. Kamu aja deh gimana bagusnya." Dara menatap Dimas dengan heran. "Tapi, aku harus tinjau lokasi dulu ya sebelum aku bikin desainnya." "Harus ya?" "Iya. Aku harus lihat pencahayaan di sana, kontur tanah, dan arah mata angin." Dimas mengangguk."Boleh. Kapan kira-kira mau meninjau lokasi?" "Hmmm lebih cepat lebih baik, sih. Dan...sebaiknya calon isterinya dibawa juga. Siapa tahu punya keinginan juga mau dibikin seperti apa rumahnya. Jadi, aku lebih enak nanti bikin konsepnya." "Enggak punya calon isteri," jawab Dimas. "Loh...kirain yang kemarin calon isterinya,"kata Dara sambil senyum-senyum sendiri. "Bukan! Cuma temen." "Baiklah kalau gitu." "Kita tinjau lokasi sekarang aja, yuk, Dara,"kata Dimas yang tiba-tiba bersemangat sekali. "Boleh..." Dara mengambil kunci mobilnya. "Satu mobil aja,"kata Dimas. Dara menggeleng."Tapi, aku bisa naik mobil sendiri kok. Nanti pulangnya biar enggak repot." "Seriusan?" Dimas tercengang mendapat penolakan dari Dara. Padahal biasanya tidak ada wanita yang menolak satu mobil dengannya. "Ah, Dara ini belum tahu aja mobilku apa,"ucap Dimas dalam hati. "Ayo kita berangkat sekarang," kata Dara sambil menyandang tasnya. "Oke." Dimas bangkit, mengikuti Dara sampai parkiran. Dimas menuju mobilnya sambil memerhatikan Dara, dengan harapan wanita itu akan melihat ke arahnya. Tapi, Dara tidak melihatnya dan justru masuk ke sebuah mobil. Dimas tercengang."Sial! Mobilnya lebih mahal dari mobilku!" "Dimas! Duluan! Aku ngikutin dari belakang!" Kata Dara setengah berteriak. "Iya...iya." Dimas segera masuk ke mobil dan melajukannya meninggalkan tempat itu. Sesampai di lokasi, Dara tampak sibuk mengelilingi tanah kosong itu tanpa bicara apa-apa. Sementara Dimas hanya bisa garuk-garuk kepala karena kepanasan. Ia mulai berpikir tentang wanita yang ia anggap terlalu cuek dengan hal tersebut. Padahal kalau diperhatikan, sepertinya Dara adalah wanita yang memperhatikan penampilan. Biasanya wanita tipe seperti itu takut kulitnya terkena paparan matahari secara langsung. "Kamu mau pakai pekerja dari aku atau cari sendiri?" tanya Dara yang sudah selesai keliling. "Kamu aja. Aku terima bersih deh." Dimas kembali menggaruk kepalanya yang terasa gatal karena berkeringat. Dara menatap Dimas dengan aneh. "Kepanasan?" "Iya nih. Udah selesai belum? Panas banget. Salah juga sih...ninjau lokasi tengah hari begini," kata Dimas setengah menyesal. "Ya udah besok-besok tengah malam aja," jawab Dara. Dalam hati ia menertawakan Dimas, seorang lelaki yang menurutnya payah. "Malam enaknya tidurlah..." "Dan ditidurin,"balas Dara cepat. "Hah?" Dimas berusaha mencerna kalimat Dara barusan. "Ya udah...ini udah aku lihat kondisinya. Nanti aku desainkan sesuai dengan karakter kamu. Mungkin...dua hari lagi aku kabarin ya." Dara cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Oke." Dimas mengangguk. Dara mulai merasakan panas matahari di tubuhnya. "Ya udah...kita berpisah di sini. Sampai ketemu lagi." "Udah segini aja?" Dimas tercengang. Dara menoleh."Iya, sih...ada lagi yang bisa dibantu? Besok-besok aku sendiri aja kalau mau ninjau lokasi." "Kamu enggak nanya anggaran danaku berapa?" tanya Dimas. Dara tersenyum."Kalau kamu berani memakai jasaku, aku tahu kok berapa anggaran yang kamu punya." Dimas tersenyum tipis mendapat balasan dari Dara seperti itu."Sial!" Dara terkekeh dalam hati. Sebenarnya bukan begini prosedur yang seharusnya dalam menerima suatu project. Dara sudah tahu berapa anggaran dana yang Dimas miliki dari Doni. Dimas adalah lelaki yang cukup menyebalkan. Sesekali ia harus memberi pelajaran pada Dimas agar lelaki itu tidak meremehkannya. "Ayo kita pulang." Dimas mengangguk, ia masuk ke dalam mobil. Ponselnya berbunyi. Keningnya berkerut melihat nama yang tertera di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD