Bab 2

1058 Words
Dimas baru saja sampai rumah usai mengantarkan Namira ke rumahnya. Pertemuan tadi bisa dikatakan bukanlah sebuah pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Ia dan Namira selayaknya cinta bertepuk sebelah tangan. Namira benar-benar membuat posisinya sebagai 'laki-laki', di mana, laki-laki harus berjuang mencari topik pembicaraan.  Dalam pertemuan ini, semuanya jadi terlihat seperti Demas yang sedang mengejar-ngejar Namira, Dimas yang sangat menginginkan Namira. Dimas tidak suka dengan semua ini. Semua ia lakukan demi menghargai sang Mama.Ia melangkah masuk ke dalam rumah dan langsung disambut oleh Ibunya. "Dim, gimana? Jadi ketemu sama Namira, kan?"tanya Tara yang kelihatannya bersemangat sekali. Dimas mengangguk sambil duduk di sofa."Iya, Ma. Baru aja Dimas ketemu sama Namira." "Terus...gimana? Cantik, kan? Di foto aja kelihatan cantik banget. Kayaknya juga santun sekali." Wanita itu terkekeh. "Foto mana,Ma?"DImas tersenyum geli. "Ya, Mama ,kan udah pernah lihat fotonya dulu." Dimas tersenyum penuh arti."Ma, ini bukan soal cantik atau tidaknya. Hubungan itu kan tentang bagaimana kenyamanannya. Terus...kita ngerasa klik atau enggak." Tara menunggu jawaban Dimas dengan sabar."Terus?" "Nah, antara Dimas dan Namira...enggak menemukan kenyamanan. Namira baik, Ma, cantik juga. Tapi, entah kenapa...Dimas ngerasa biasa aja sama dia. Enggak ada suatu getaran gitu ketika pertama kali bertemu,"ucap DImas dengan hati-hati sekali agar tidak menyinggung perasaan Tara. Andai saja Namira memang bisa membuatnya nyaman, ia pasti akan menerima perjodohan ini, sebab kita tidak pernah tahu bagaimana jodoh kta datang, bisa saja dengan cara dipertemukan seperti ini. "Tapi, kalian kan baru pertama kali bertemu, Dimas. Ya...belum ada getaran asmara dong,"ucap Tara yang masih sangat berharap. Dimas menggenggam tangan Ibunya. "Ma, Dimas tahu...Mama khawatir melihat Dimas sendiri. Tapi, sejauh ini status jomlo Dimas enggak bikin Dimas stres atau pun kesepian. Suatu hari nanti, Dimas pasti akan jatuh cinta. Dan pada hari itu...Dimas akan bawa wanita yang Dimas cintai ke hadapan Mama." "Tapi, entah kapan kan, Dim?"Tara menunduk sedih, ia sudah ingin melihat anak bungsunya itu menikah. Dengan begitu ia akan tenang. "Iya, Ma...entah kapan. Tapi, Dimas yakin itu enggak lama lagi. Dimas juga udah butuh pasangan kok. Cuma belum ketemu aja," jawab Dimas lagi dengan sabar. "Mama enggak yakin kamu mikirin ke arah pernikahan, Dim. Kelihatannya kamu santai-santai aja kok." Tara terlihat manyun. "Mama...Dimas,kan udah nabung buat bangun rumah untuk Dimas dan keluarga Dimas nanti." Dimas memang bercita-cita memiliki rumah dulu sebelum menikah. Ia tidak mau, ketika sudah menikah kebingungan mencari tempat tinggal yang layak untuk istri dan keluarga kecilnya nanti. "Terus...bangun rumahnya kapan? Belakangan aja, lah, bangun rumah tangga aja dulu,"paksa Tara. "Sebentar lagi. Tinggal cari arsiteknya aja, Ma buat desainnya. KEmarin udah hubungin, sih, cuma kita belum ketemu buat pembicaraan lebih lanjut lagi,"jelas Dimas dengan sabar. Tara mengembuskan napas berat."Ya sudah kalau begitu. Kamu lakukan aja yang terbaik. Mama percaya dengan keputusan kamu." "Tapi, hubungan Mama sama Mamanya Namira bakalan baik-baik aja,kan?" tanya Dimas. Tara tersenyum."Aman kok. Jangan khawatir. Lagi pula...itu bukan Mama yang minta. Jadi, ya...Mama enggak bakalan ngerasa enggak enak. Soalnya dari awal juga Mama nolak, karena Mama tahu kamu itu begini." "Iya, Ma. Makasih, Ma." Dimas memeluk Tara dengan senang. Ia hanya perlu bicara baik-baik dengan sang Mama. “Oh ya...kamu enggak balik ke kantor?” “Iya sebentar lagi, Ma, Dimas mau ambil file yang ketinggalan di kamar,” kata Dimas sambil berjalan ke kamarnya. ** Malam ini, untuk menghilangkan rasa penatnya setelah bekerja, Dimas memutuskan untuk pergi hangout dengan Doni, rekan kerjanya dengan dalih menghabiskan malam minggu seorang jomlo. Dua cangkir Americano sudah tersaji di meja, tak lupa sepiring roti bakar dan kentang goreng, ditambah dua botol air mineral. "Dim, gimana sama Arsitek yang kemarin?" Dimas menggeleng,"kayaknya aku kurang suka, Don,dari pembicaraan kita di pesan aja, kelihatan dia nggak profesional,"keluh Dimas. "Oh gitu, kalau gitu pakai yang ini aja deh,"kata Doni sambil scroll layar ponselnya."Aku pastikan dulu sama asistennya, ya, bisa apa tidak untuk ketemu." "Harus bikin janji seperti itu?" "Iya, lah, dia kan orang sibuk. Jadi, harus bikin janji dulu,"kata Doni. Dias mengangguk, diambilnya sepotong kentang goreng, dicolekkan ke saus lalu dikunyahnya. IA terus memerhatikan Doni yang sangat sibuk. "Oke katanya,"ucap Doni tiba-tiba. "Oke?"Dimas menaikkan sebelah alisnya. "Orangnya sudah setuju,"jelas Doni sambil menunjukkan riwayat pembicaraan mereka. Dimas menyesap kopi hitamnya."Serius? Terus gimana? Kapan aku bisa ketemu sama Arsiteknya?" Kemarin, ia memang minta tolong pada sahabatnya itu untuk mencarikan Arsitek. Ia ingin membangun sebuah rumah masa depan. "Besok sih. Di kantornya." Doni menyerahkan sebuah kartu nama. "Lah,udah punya kartu namanya aja,"kata Dimas menerima kartu nama tersebut. "Pernah pakai jasa mereka, tapi, bukan yang ini, sih, arsiteknya. Tapi, mereka masih dalam satu naungan Perusahaan yang sama kok,"kata Doni lagi.  Dimas mengangguk-angguk mengerti.Tapi, kemudian ia menyadari sesuatu yang salah."Loh, Don, aku enggak mau yang dari kantor, Don. Yang freelance aja...jadi enak ketemuannya. Mana kalau mau ketemuan harus buat janji lagi, kan ribet banget. Yang lain deh." "Ini orang freelance di kantor itu. Tapi, kalau ketemu klien emang di kantor. Tapi, dia enggak terikat jam kantor. Itu sejenis...kantor bersama gitu yang memudahkan mereka dapat klien,"jelas Doni. "Tapi, tadi kaubilang kalau mau ketemu harus bikin janji sama asistennya, nggak gampang dong buat ketemu!" Doni menggaruk-garuk kepalanya bingung,"pokoknya gitu deh, DIm, ngggak susah kok kalau kau betul-betul udah jadi klien dia. Ini, kan untuk permulaannya saja. UDah tenang aja, nanti aku yang tanggung jawab kalau aa apa-apa." Dimas masih diam dan ragu. "Nanti aku carikan lagi kalau memang nggak cocok,"sambung Doni lagi agar DImas yakin. "Oh...oke-oke." Dimas mengambil kartu nama yang diserahkan oleh Doni. Ia mengamatinya,"loh,Cewek?" Doni mengangguk."Iya. Tapi, desainnya jangan diragukan. Rumah kakakku yang kamu suka banget itu...itu desain dia. Bisa dibilang, ini rekomendasi juga dari Kakakku, sih. "Wow." Dimas berdecak kagum, ia melihat nama wanita itu, Adara Lembayung Senja."Kalian udah pernah ketemu?" "Nggak pernah,Kakakku, lah yang pernah ketemu."Doni terkekeh, kemudian menyesap Americano-nya. Dimas kembali mengangguk,"ya udah, nanti kuhubungi lagi orangnya untuk memastikan." "Sip! Semoga segera selesai ya rumahnya, habis itu tinggal cari jodoh." "Ah, belum kepikiran, mana MAma asyik jodohkan aku lagi sama anak temennya,"curhat DImas. "Oh ya, terus gimana? cantik?" "Cantik, ya, cantik, sih. Relatif. Tapi, ya nggak sreg aja, Don. Gila aja ...kaku banget itu cewek. Nggak mau memulai pembicaraan dan nggak mau nanya balik. Boring, kan!" Sampai sekarang Dimas masih tidak mengerti dengan jalan pikiran Namira, kenapa bisa ada makhluk seperti itu. Kalau ingin memulai hubungan yang serius, mereka juga harus bicara yang serius, saling terbuka dan mengoreksi informasi masing-masing.  "yaelah."Doni terpingkal-pingkal,"jaman sekarang nggak asyik tahu dijodohin." "Yah, demi Mama, Don,"balas DImas yang kemudian ikut terpingkal-pingkal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD