Makhluk itu mengerang, suaranya menggema memenuhi gelapnya malam. Tubuhnya besar seukuran bison. Kepalanya besar bertanduk dengan mata tajamnya yang merah menyala mengeluarkan bola api. Bulunya tebal berwarna hitam legam. Di giginya terdapat dua taring panjang dan meliuk ke bawah seperti gading . Terdapat sayap berduri di kedua sisinya. Di antara ke empat kakinya terdapat cakar yang tajam, yang apabila mengenai mangsanya niscaya akan mengoyak tubuh mangsanya seketika. Sesekali kaki besarnya mengentak-entak ke tanah yang ditumbuhi rerumputan juga dipenuhi daun-daun gugur yang mengering. Perlahan, tapi pasti. Makhluk berbentuk abnormal itu berjalan ke arah seseorang wanita berbalut kemeja toskah juga celana jeans berwarna biru.
Di dalam gelap, Gendis berlari menghindari terkaman makhluk mengerikan tersebut. Sesekali ia menoleh ke belakang, menghitung jarak antara dirinya dan makhluk tersebut. Diselimut ketakutan Gendis menerobos pohon-pohon bambu. Hentakan kakinya menerbangkan rendah dedaunan kering di bawah sana. Gendis terus menerobos, memasuki semak-semak. Beberapa kali ranting pohon secara tak sengaja melukai kakinya yang terus ia bawa lari. Tak peduli, gadis itu terus berlari menghindar makhluk yang mulai mengejarnya tersebut.
BRUK.
Gendis terjatuh. Akar besar dari pohon tinggi yang berdiri gagah membuat kakinya terperosok masuk ke dalam sela-sela lubang liukkan akar. Ia Melihat ke belakang. Deru napasnya semakin memburu dan... celaka! makhluk setengah iblis itu kini tepat di belakang punggungnya. Gendis menghadap ke arah makhluk bertaring tajam tersebut. Dengan sekuat tenaga Gendis mendorong tubuhnya menggunakan b****g serta tangan. Kakinya menjuntai lemah terseret bersama ceceran darah sepanjang ia menyeret kaki.
Makhluk itu berjalan perlahan semakin mendekat sambil sesekali mengendus aroma tubuh milik Gendis. Susah payah Gendis bangun di atas kakinya yang terluka. Darah yang keluar deras semakin membuat Makhluk tersebut menghisap aroma di udara semakin kuat.
Gendis Menatap bola api di kedua makhluk itu. Hawa takut mencekam menerjang dirinya. Dia berusaha kabur dari makhluk yang kini melihatnya sebagai santapan lezat. Gendis memundurkan tubuh dengan menyeret satu kakinya yang terluka.
Makhluk itu menjilat darah yang menempel di daun kering dan terkena darah. Wajahnya terlihat menikmati rasa manis yang menyapa lidahnya. Kemudian dengan erangan ia menuju Gendis yang sudah pucat pasi. Setiap langkah makhluk berkaki empat itu maju, setiap itu pula ia mengerang senang, karna ia bisa melihat bagaimana tertekannya calon korbannya.
“Bau manusia memang selalu menggoda,” ujar makhluk itu. Seketika mata gendis melebar. Makhluk setengah iblis itu bisa bicara?.
“Pergi!” Gendis memekik.
“Hm.” Makhluk mengerikan itu menutup matanya. Menikmati aroma darah yang sungguh sangat ia nikmati. Tak memedulikan pinta Gendis untuk menjauh, makhluk itu justru semakin mendekat “Kau sungguh tak sopan Nona. Menyuruhku pergi di saat aku belum mencicipi hadiah yang kau bawa.”
Makhluk itu semakin dekat, menyisakan kurang dari sepuluh langkah dari jarak langkah kakinya. Gendis meraba dedaunan kering yang ada di belakangnya. Mencari benda yang sekiranya bisa ia jadikan senjata. Namun yang ia raih hanya dedaunan kering serta tanah yang lembap akibat dinginnya malam.
Makhluk itu sudah berada tepat di depan Gendis. Mengendus intens pada setiap inci tubuh mangsanya. Gendis menutup mata, tubuhnya gemetar. Hawa dingin menyergap, masuk hingga ke aliran darah di tubuhnya Gendis membeku, otak dan syarafnya seolah kehilangan sensor untuk menggunakan gerak refleksnya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain merapalkah doa di saat makhluk itu kini mendengus tepat di bagian ceruk lehernya.
Geraman terdengar nyaring di daun telinga Gendis. Makhluk tersebut menyeringai, seperti menemukan bagi terlezat dari gadis yang sedang bergetar hebat di depannya.
SLEEEP
Gendis diterkam?
Gendis mengerjap. Memperkirakan dengan penuh kesadaran bagian mana yang sakit akibat luka terkaman. Namun, tak ada rasa perih tersayat. Bahkan deru napas panas makhluk itu sudah tak lagi terasa di ceruk lehernya.
Apakah aku sudah mati?
Kenapa tak sakit?
Perlahan Gendis membuka kelopak matanya. Masih di tempat yang sama. Hutan, gelap, dingin.
Apakah aku sudah ada di alam kematian?
“Auuuuuuung.” Auman terdengar dari arah belakang Gendis. Gendis segera menoleh ke belakang. Mulutnya seketika menganga, dilihatnya makhluk aneh tadi melangkah mantap ke arah seseorang. Kilatan merah di kedua matanya makin berkibar. Tubuhnya membesar dua kali lipat dari sebelumnya. Dengusan napasnya semakin terdengar mencekam, terbawa angin malam. Makhluk itu teramat marah. Seiring kemarahannya tubuh itu semakin membesar, membesar dan semakin membesar. Membuat satu panah berhasil mengenai bahu sebelah kirinya hanya terlihat seperti jarum jahit yang menancap di tubuhnya. Tusukan anak panah itu seolah menjadi pemantik untuk ukurannya semakin menjadi besar
Seseorang di ujung kegelapan sana berdiri tegak. Menatap tanpa gentar ke arah Makhluk yang sedang menderap langkah ke arahnya. Suara Geraman serta auman makhluk itu semakin menjadi. Mulut dengan rentetan gigi tajam makhluk jelmaan itu terbuka lebar, siap melahap penuh pemuda yang tampak santai dengan busur panas di tangannya. Sedetik kemudian makhluk itu melompat, menerjang pemuda di hadapannya. Sedangkan pemuda itu memasang kuda-kuda dengan mengacungkan busur panah.
Gendis menutup mata. Ia tak ingin melihat kejadian apa setelah ini yang akan terjadi. Mereka bukan tandingan yang setimpal. Ukuran besar, juga Bentuk cakar-cakar tajam serta puluhan gigi bertarik itu tak sebanding dengan puluhan anak panah yang pemuda itu miliki. Dalam gelapnya mata yang tertutup, suasana terasa seperti bioskop di tengah hutan. Desau angin yang mengibaskan dedaunan, Geraman dan auman yang terdengar stereo, serta derap langkah makhluk yang terasa menggetarkan tanah. Itu ketakutan, Gendis tak sanggup hanya untuk membuka mata. Ia menolak Menjadi saksi bisu bagaimana kelak lelaki itu akan dilumat habis oleh makhluk yang tak ia ketahui namanya.
Jika tak salah, Indra pendengaran Gendis merekam dua suara auman. Tapi apa? Apakah makhluk itu memiliki teman untuk menyerang lelaki di depan sana?
Krek
Gendis semakin meremas kuat kemeja yang ia kenakan. Tubuhnya semakin mengigil. Selesai sudah. Sudah bisa dipastikan bagaimana nasib pemuda yang menjadi pahlawan kesiangannya. Hanya tinggal menunggu giliran. Mungkin saja sebentar lagi ia yang akan diterkam, dicabik, dan kunyah habis hingga ke tulang-tulangnya.
“Dis... Gendis”
Tepukan tangan?
Pemuda itu masih hidup?
“Dis.”
Tidak. Ini suara perempuan. Apa manusia berbalut pakaian ninja serba hitam itu perempuan?
“Gendis.” tepukan tangan juga suara yang memanggil-manggil namanya semakin kencang. Sontak Gendis membuka matanya.
Gendis terperanjat. “Ke mana orang itu?”
Wanita dengan kacamata tebal di sampingnya menyatukan halis. “Siapa Dis?”
“Yang tadi. Dia pakai pakaian serba hitam, dan penutup wajah. Dia seperti... Ninja. Benar ninja!” Gendis menaikan telunjuknya mengingt bagaimana penampilan seseorang itu “Kemana dia?”
“Tapi di sana pakaian serba hitam. Sekarang hitam kaya ninja. Aduh cantik, nggak ada yang pake pakaian kaya gitu saat mau study tour Dis. Ini study tour, bukan cosplay!”
Study tour?
Astaga. Dia bermimpi. Mimpi itu seperti nyata. Bahkan deru napas panas di lehernya masih nyata terasa, juga gemetar tubuh masih melingkupi raga wanita itu. Gendis menjatuhkan punggungnya ke penyangga kursi. Ia menghela napas panjang.
Rasa lemas masih menyelimuti. Gendis menutup kedua matanya. Anehnya dalam bayangan matanya yang tertutup slide demi slide kejadian tadi seperti kolase yang berputar-putar begitu nyata. Ia tercekat membuka matanya kembali. Gendis terengah, menonton adegan di mana makluk itu akan menerjang pemuda yang membantunya membuat jantungnya seperti dibawa lari maraton.
“Aw.” Rasa sakit terasa di bagian pergelangan kaki ketika ia hendak mengangkat kaki kanannya.
“Kenapa Dis?”
“Kaki aku.”
“kenapa kakinya? Duh kenapa lagi si kamu, ko dari tadi aneh banget.” gerutu Vivi melihat Gendis yang banyak keluhan hari ini.
Gendis segera membuka snaker yang ia kenakan. Betapa terkejutnya ia ketika yang ia lihat adalah darah yang merembes kaos kaki putihnya. Dibuat semakin terperangah ketika ia berhasil melepaskan kaos kaki penuh noda darah.
Beberapa kali Gendis mengerjapkan mata. Meyakini bahwa apa yang ia lihat bukan bayangan semu optik semata. Ia menyapukan jempol ke tetesan darah yang masih tampak segar keluar dari pergelangan kakinya. Dan yang membuat semakin ia hampir kehabisan oksigen adalah daun kering yang menempel di bagian tumit yang sudah basah dengan darah .Gendis menutup mulutnya.
Aku masih di alam mimpi. Benar ini hanya mimpi.
“Dis? Are you okey?” Vivi memegang bahu Gendis yang terasa gemetar di telapak tangannya.
***
Diseretnya paksa kaki yang sudah tak lagi terbungkus sepatu. Memasuki kamar, berjalan terseok sampai ke tepi ranjang, Gendis duduk di bibir ranjang. Gendis memeriksa kondisi kakinya. Kini luka itu telah berubah warna dari merah akibat simbahan darah menjadi biru keunguan.
Gendis mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa sebuah mimpi bisa menciptakan luka di dunia nyata? Ia merinding sendiri mengingat kejadian di mimpi tadi. Semua terasa nyata. Bahkan afeksinya masih ia rasakan saat ini.
Arah jarum jam sudah menunjukan waktu tidur. Wanita itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia tak lagi ingin memikirkan apa pun. Anggap saja kejadian di luar nalar hari ini hanya sebuah ketidak sengajaan. Atau mungkin... hanya halusinasinya. Walau bagaimanapun Gendis menyadari rasa lelah sudah mencengkram tubuhnya.
Dipejamkannya mata oleh gadis itu. Untuk kedua kalinya pusara putih meliuk-liuk di dalam pekatnya hitam kembali muncul dalam pejaman matanya. Gendis ingin teriak, meski begitu yang ada hanya lelah yang tercipta dan berakhir dengan tubuhnya yang terasa terbang.