Candi Waji

1355 Words
Mata Gendis dibuat takjub oleh pemandangan di hadapannya. Tak semegah dan segagah Candi Borobudur. Situs tua di hadapan Gendis terlihat sudah tak utuh dan menyisakan bangunan dasarnya saja. Menurut informasi yang ia dapatkan bahwa diperkirakan situs tua itu berumur lebih tua dari Candi Borobudur. Penelitian menggunakan radiometri carbon c 14, dan diperoleh data bahwa artefak tertua berasal dari abad ke 2 Masehi. Hal menarik lainnya yang ada pada candi tersebut adalah candi itu tak seperti candi pada umumnya yang memiliki tangga dan ukuran relief candi Hindu dan Budha. Hal tersebut dikarenakan upacara tak dilakukan di atas candi, melainkan di sekitarnya. Tangan mungil Gendis semakin bergerilya di atas bebatuan dengan tekstur kasar, namun terlihat estetik. Entah sudah berapa kali ia berdecap kagum melihat suguhan mahakarya agung di hadapannya. Candi Waji. Nama itu tertera di atas ukiran batu. Di bawah batu tersebut dibubuhi tanda tangan dari tinta berwarna emas oleh bupati daerahnya. Gendis mengentak-entakkan kakinya. Rambutnya bergerak tertiup angin. Kaca mata berlensakah fhotopromic menutup matanya yang sedang menatap satu obyek mirip dengan petilasan arca Budha. Namun, disayangkan patung tersebut sudah tidak ada. Jemari Gendis bergerak lincah menggoreskan pena di atas buku kecil yang ia pegang. Menuliskan informasi apa saja yang ia temukan di sekitar situs tua tersebut untuk kemudian ia bisa kembangkan nanti di dalam tugas akhirnya. Di saat seperti ini adalah saat yang paling Gendis sukai. Yaitu tenggelam dalam hobi-Nya, menjadi seorang arkeolog. Pandangan Gendis tertumpu pada arca paling besar di candi itu. Tangan mungil itu kembali hendak meraba arca dengan bagian kepalanya yang sudah tak utuh. “Jangan sentuh.” Suara di belakang punggung Gendis menginterupsi. Hampir saja Gendis melompat saat mendengar larangan dari suara bariton di belakangnya. Gendis menoleh. Seorang dengan pakaian serba hitam tampak berdiri gagah di belakang. Tubuhnya tinggi, wajahnya dingin, potongan rambutnya tak selazim zamannya. Rambut panjang sebahu, tanpa diikat. Rambut itu tampak kaku, tapi tetap terlihat terurus. “Bapak siapa?” tanya Gendis nanap. “Saya penjaga di sini,” jawabnya tanpa menoleh sedikit pun pandangannya ke arah orang yang bertanya. Pandangan lelaki itu hanya terpaku pada arca yang baru saja hendak Gendis pegang. “Kenapa saya nggak boleh pegang itu?” tanya Gendis memastikan. Tumpuan netra lelaki itu berubah haluan, kini ia memandang lurus ke manik mata Gendis. Keduanya bersitatap. Yang satu dengan tatapan dingin, dan yang satu lagi dengan tatapan penuh tanda tanya. “Karena akan merusak jika terlalu banyak tekanan,” jawabnya dengan suara datar. Gendis melipat keningnya. Tekanan? Rusak? Sejak kapan sebuah patung kokoh bisa rusak hanya dengan sebuah usapan. Namun, gadis itu tak mau ambil pusing. Dia hanya berpikir lelaki itu lelaki kurang waras. Ya, dilihat dari penampilannya, bisa saja memang terkaannya benar. Tahun 2021, dengan pakaian model itu, rasanya hanya akan dipakai di acara-acara adat budaya. Kecuali orang tidak waras yang akan mengenakannya. “Yang itu,” lelaki itu menunjuk satu stupa di tempat sedikit lebih secara tiba-tiba, “di dalamnya adalah patung jelmaan raja. Raja dari Kerajaan Wangkara.” Jelasnya. Sinting. Begitu pikir Gendis. Kerajaan Wangkara? Kerajaan lelucon macam apa yang lelaki itu ciptakan. Dari sekolah dasar hingga ia menjadi bagian dari mahasiswa Fakultas Sejarah. Sampai ia melahap banyak buku-buku sejarah, tak sekalipun ia mendengar nama Kerajaan Wangkara. “Dari keseluruhan buku sejarah, yang kalau dikumpulkan yang jumlahnya bisa jutaan halaman. Tak ada nama Kerajaan Wangkara tertulis di dalam buku.” Gendis menanggapi lelaki itu seperti orang bodoh. Harusnya gadis itu tahu bahwa perihal itu tak harus dijabarkan. Lelaki di depannya memang tidak normal. Lebih tidak normal lagi dirinya yang menanggapi celotehan tak penting itu. Lelaki yang tak diketahui namanya itu terkekeh, merubah air wajahnya seketika—dari wajah misterius menjadi bersahabat. “Aku hanya bercanda. Ayo ikut saya, biar saya jelaskan semua yang ada di candi ini.” “Bapak beneran penjagga di sini?” tanya Gendis ragu. “Tentu saja. Bahkan aku bisa menjelaskan semua benda juga sejarah di dalamnya.” “Ta—“ “Candi ini ditemukan pertama kalinya pada tahun 1997.” Lelaki itu menjelaskan secara tiba-tiba dengan memotong kalimat Gendis. “Benarkah?” tanya Gendis antusias. Pikir Gendis, Ini hal yang luar biasa. Untuk candi setua ini dan baru ditemukan di era tahun 90 “Kenapa baru ditemukan?” tanya Gendis kembali. Seolah satu pertanyaan tak membuat dahaga keingintahuannya sirna. “Sebelumnya candi ini terkubur oleh bukit kecil dengan ketinggian 2 Meter di pertengahan persawahan sebelum ditemukan keberadaannya. Hingga situs itu berhasil ditemukan, pemugaran pun dilakukan dan selesai pada tahun 2001. Dan ya, hasilnya seperti saat ini. Tempat ini menjadi tempat destinasi yang layak.” Tangan lelaki mengayun terbuka ke udara dengan arah horizontal. Dirinya mengajak Gendis mengabsen titik demi titik jarak situs. Gendis melupakan dari mana hadirnya lelaki itu, juga mengabaikan gelitikkan hatinya atas keanehan lelaki di hadapannya. Semua yang dijelaskan oleh lelaki itu cukup membuat dirinya takjub “Wow, situs ini selain memiliki sejuta pesona, juga memiliki cerita menarik dibaliknya.” Kepala Gendis mangut-mangut. Gendis kembali berdecap kagum pada bangunan di depannya. Tangannya terulur menyentuh salah satu arca kecil di hadapannya. “Hei kau, ke mana saja selama ini? Kenapa kalian baru bertemu dengan kami di tahun yang mendekati milenium?” Gendis terkekeh geli dengan tingkahnya sendiri. Berbicara pada patung arca selayaknya berbicara pada manusia. Gendis tak menyadari bahwa sepasang mata milik lelaki itu kini memandang dirinya dengan pandangan yang menghunus tajam. Setiap sentuhan yang Gendis berikan membuat kepalan di tangan lelaki itu semakin mengerat. “Ada yang lebih menarik dari berbatuan di sini. Mau lihat?” tawarnya. “Benarkah?” Mata Gendis berbinar. Saking senangnya sehingga gadis itu tak menyadari bahwa suara lelaki itu kembali berubah dingin. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu di dalam saku. Sebuah batu merah marun. Batu tersebut memiliki tekstur licin. Dan yang membuatnya semakin menarik adalah bentuknya yang menyerupai bentuk hati. “Syuuuut.” Lelaki itu menempelkan telunjuknya ke bibir, “aku akan memberikan baru ini padamu. Dari semua yang datang ke tempat ini, hanya orang-orang istimewa yang bisa menerima ini.” Jelasnya dengan suara setengah berbisik. “Dan aku salah satu orang yang beruntung. Waw Ini menakjubkan!” tangan Gendis menengadah menerima batu kecil yang tampak mewah di matanya. “Betul! Karena anda orang istimewa Nona.” Kedua sudut bibir lelaki itu ditarik tipis. Lagi-lagi Gendis tak menyadari keganjilan dari senyum yang ditampilkan. Kepala Gendis menunduk, menatap dengan binar benda yang ada di tangannya. Untuk ukuran kolektor barang antik seperti dirinya, barang yang ada di tangan wanita itu terlihat sangat unik, dan pantas masuk ke dalam lemari barang-barang antik di rumahnya. “Apa nama batu i—“ Gendis menengadahkan kepala. Kalimat Gendis menggantung. Lelaki yang sedari tadi di hadapannya tiba-tiba menghilang, membuat gadis itu tersentak. Netranya mencari keberadaan lelaki itu. Indra penglihatannya mengitar ke segala sudut mencari pemilik tubuh tinggi besar yang baru saja memberi dia sebuah batu. Gendis lalu berjalan, mengitari candi. Meski begitu, lelaki berpakaian serba hitam tak jua bisa ditemukan. Lalu siapakah lelaki itu? “Hai!” Tepukan punggung seseorang di belakangnya membuat ia kembali terlompat kaget. Gendis memutar tubuhnya, tapi ternyata bukan lelaki itu. “Tour sudah selesai. Anak-anak sudah menunggu di area parkir. Lo mau tetep di sini?” “Lo lihat seorang lelaki tubuhnya tinggi besar, nggak? pakai baju serba hitam, rambutnya sebahu?” Bukan menimpali pertanyaan temannya, Gendis justru bertanya perihal lelaki misterius itu. “Pakaian serba hitam?” Vivi tampak berpikir. “Kayaknya nggak ada. Di area ini cuma ada kelompok study tour kita, dan temen-temen mahasiswa nggak ada yang pake baju serba hitam.” Penjelasan Vivi membuat Gendis semakin dibuat bingung. “Tapi gue lihat tadi—“ “Udahlah. Lo mau tetep di sini atau bus bakal ninggalin kita?” Vivi menarik tangan Gendis. Mereka berjalan keluar area candi. Study tour memang sudah selesai, tapi ada satu yang belum selesai. Tentang misteri siapa lelaki itu. Di dalam bus Gendis terus memerhatikan batu di dalam genggamannya. Sebenarnya batu apa yang diberikan padanya oleh lelaki misterius itu? Tiba-tiba saja kepala Gendis mendadak pusing. Pandangannya kabur kemudian berubah menjadi hitam pekat yang ditengah titik pandangnya terlihat obyek berwarna putih melingkar- lingkar bagai pusara. Awalnya puluhan lingkaran putih itu berdiameter besar, tapi lambat laun menghilang. Dan suasana berubah menjadi gelap dan ... dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD