Desau angin membungkus keheningan malam. Menerpa kepada kulit-kulit bermandikan peluh dan bercucuran darah.
Bugh
"Keluarkan!" Satu prajurit berompi kuning dengan tubuh tegap juga manik mata mengerikan memekik, mendengkus, dadanya naik turun.
"Maaf Tuan. Sungguh yang Tuan maksud tidak ada di sini." Satria, lelaki berusia senja itu mencoba bangkit di tengah tubuhnya yang hampir remuk redam. Dia berusaha meraih wanita berkebaya biru di sisi kanan yang sedang menahan ringisan seraya tangannya melipat, membungkus perutnya yang membuncit.
Bugh.
Lagi, ia terhuyung ditendang lelaki dengan kobaran merah di matanya.
"Akang." Istrinya menjerit dengan bibir gemetar. Ia menggeleng-gelengkan kepala meminta kepada empat orang bertubuh kekar itu untuk berhenti menghajar suaminya.
"Cepat! Sebelum kesabaran kami habis!" Satu lagi prajurit yg lain —lelaki berompi biru—merangsek maju. Menginjak punggung lelaki yang sudah tak berdaya itu.
"Sungguh Tuan. Apa yang Tuan maksud tidak ada di sini," cicit Satria dengan suara lemah.
"Omong kosong! Cepat geledah!" Tiga pasang kaki yang sedari tadi berdiri angkuh di hadapan Satria yang meringis kini berhambur ke dalam, mengobrak-abrik apa aja saja yang ada di dalam. Butuh waktu cukup lama sampai tiga orang di dalam sana mengobrak-abrik. Tentu saja dengan tangan kosong, hanya satu prajurit dengan rompi biru yang memegang sesuatu, totopong hitam anak berusia 10 tahun.
Prajurit berompi merah melihat apa yang temannya bawa. Yang artinya pemiliknya sudah tidak ada dalam jangkauan mereka. "Tidak ada. Sialan!" Ia mengeram. Air mukanya kecewa dan penuh angkara.
Kini si ketua prajurit—berompi kuning— menampilkan sepasang mata hitam legam bercampur dengan kobaran merah darah, yang sesekali menyilau di kedua mata itu memandang tajam pada Lastri yang masih meringkuk melindungi perut.
Pria yang terkenal sebagai kaki kanan Raja Warsa memandang Lastri dengan seringai paling mengerikan yang pernah ia tampilkan. Dengan sudut bibir kanan terangkat, memanggut-manggutkan kepalanya, ia mendekat.
Hanya dengan satu sentakan tangan ia berhasil menarik rambut Lastri tanpa ampun. Lastri memekik, memejamkan mata, merasakan hawa panas di kepala bersatu padu bersama rasa perih di sekujur tubuhnya. "Sudah kami katakan. Tak ada ampun bagi pembangkang di Kerajaan Wangkara ini!"
"Kami memang tak mengetahui ke mana anak itu pergi. Percayalah Tuan." Satria maju berangsur-angsur ke samping menggunakan pantatnya, menarik kaki lelaki di hadapannya. Ia bersimpuh, memohon pria berotot tersebut melepaskan rambut Lastri dalam genggamannya. "Tolong lepaskan istri saya, Tuan."
"Ini akibatnya jika kalian melawan titah raja!" Ketua prajurit kerajaan mengentakkan kaki, melepas paksa tangan Satria yang melingkar kuat di tungkai miliknya. Dengan wajah bengis, ia mengeluarkan air ludah tepat di depan wajah milik Satria.
"KATAKAN DI MANA ANAK, ITU!"
Brug.
Seketika kepala Lastri membentur tanah dingin di bawah sana, ketika jemari kekar itu melepaskan genggaman dengan satu hentakan.
"Kami tidak tahu, Tuan." Satria masih mengelak.
"Sialan! Kalian menguji kesabaranku." Cahaya merah seperti laser keluar dari dua bola mata milik ketua prajurit. Cahaya merah itu setajam pisau. Dengan cahaya itu, prajurit berperan sebagai algojo kematian.
Di Kerajaan Wangkara, tak ada satu pun yang mampu mematikan kaum mereka kecuali cahaya bak laser yang keluar dari mata penghuni kerajaan. Malam ini, di depan Mata suaminya, Lastri mengerang, merasakan sakit yang luar biasa dahsyat saat dengan cepatnya cahaya merah itu menerjang tepat di bagian jantungnya.
"Kau tau apa yang akan terjadi jika ada yang tidak mengikuti titah raja. Aku masih memberimu waktu agar kau menyerahkan batu itu!" ucap ketua prajurit yang sudah membunuh Lastri. Satria menundukkan wajahnya lemas. Di netranya terekam bagaimana istrinya meregang nyawa. Ia marah, kilatan manik hijau terlihat dari kedua bola matanya.
"Ayo semua kita kembali!" Bak kerbau dicocok hidungnya. Satu hentakan tangan saja membuat semua prajurit berwajah bengis itu melangkah keluar.
Dengan sekuat tenaga, Satria mengembalikan serpihan-serpihan harga diri yang terkoyak. Mencoba bangkit di atas lututnya yang selemah jeli. Dengan mata penuh angkara, Satria berlari dengan sisa tenaga yang tersisa. Kilat merah seperti laser keluar dari matanya.
Krek.
Naas, prajurit terlatih tersebut bukan tandingannya. Mereka terlalu sensitif dengan sebuah serangan. Hanya dengan satu tatapan mata, cahaya yang keluar dari mata Satria berganti dengan cahaya merah yang menabrak netranya, mengambrukkan tubuh Satria seketika.
"Kau gila?" Prajurit dengan rompi berwarna merah protes.
"Dia pantas mati."
"Lalu bagaimana dengan anak itu? Kehilangan mereka sama dengan kehilangan jejak anak itu!" Pertanyaan itu seperti petir yang menyambar ketua prajurit.
"Sial!" Ketua prajurit mengumpat. "Cari anak itu segera!" Mereka semua berlari, menunggangi kuda mereka masing-masing.
Bulan menggantung tepat di atas kepala. Tepat di saat para prajurit itu pergi, meninggalkan samar suara ringkikan kuda. Mereka pergi membawa misi yang belum selesai.
Di dalam lumbung padi. Anak lelaki dengan pakaian pangsi dan totopong di kepalanya duduk terpekur. Bertumpuk dengan jerami yang mengubur Tubuhnya. Ia gemetar, matanya merah menyala menyimpan bara api angkara. Dia bersumpah akan membayar nyawa kedua orang tuanya angkatnya suatu saat nanti.
Suara pacuan kuda sudah tidak terdengar di pendengaran. Sepasang pemilik kaki mungil itu mendekat pada dua sosok yang terkulai lemah. Mata anak itu berembun, menyatu dengan kilau hijau bak batu permata.
"Nak." Suara parau memanggilnya. Sanjaya tercekat. Segera ia menuju sumber suara. Benar, Ambunya masih hidup. Sanjaya berlari, bersimpuh memeluk tubuh tak berdaya itu. Air matanya luruh seketika, bersama tubuhnya yang gemetar.
"Ambu."
Lastri mengangkat tangan dengan sedikit tenaga yang tersisa. Jemari renta itu mengelap halus air mata yang membanjiri pipi anaknya. "Per-gi Nak. Ca-ri Ka-ke Zama-lik." kalimat terbata itu merupakan kalimat terakhir yang keluar dari mulus Lastri. Meninggalkan Sanjaya bersama luka perih tak terperi.
***
Sepuluh tahun kemudian
Dua cahaya laser keluar dari masing-masing manik mata jelemaan manusia yang sedang mempertahankan titik tumpu di atas tanah. Kening mereka sama-sama berkerut. Peluh mengucur deras membasahi pipi Sanjaya hingga menjadi tetesan di atas bahu.
Ada yang berbeda dari cahaya yang keluar dari manik pemuda berompi hitam di hadapan kakek-kakek—yang tak seharusnya menjadi saingan. Sanjaya memiliki cahaya berwarna ungu, cahaya yang ia sembunyikan pada khalayak umum, tapi tidak pada Zalamalik.
Wusssh
Zamalik terpental, menubruk pohon besar yang berdiri angkuh dibelakangnya.
“Hahahahahahaha. Anak nakal. Kau sudah bisa mengalahkan ku rupanya.”
Sanjaya tersenyum penuh kemenangan. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Zamalik. Tepat di saat anak berusia 10 tahun itu berubah menjadi tampan, jika ia bisa mengalahkan Zamalik maka ia bisa mendapatkan petunjuk untuk menghancurkan raja Warsana. Raja angkuh penyebab kematian kedua orang tuanya.
“Baiklah. Kau nampak tak sabar. Bagaimana dengan arak terlebih dahulu?” tawar Zamalik. Sanjaya tetap bergeming di tempatnya.
“Ah ya ya ... Kau ini terlalu serius, Nak. Siluman macam kita meski hanya meniru gaya hidup manusia bukan berarti tak boleh mencoba hidup dengan cara mereka.” Zamalik berjalan terpincang dengan memegang panggulnya. “Astaga pinggangku.”
"Duduk!" titah lelaki tua tersebut.
Sanjaya mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu turun melewati dadanya bersamaan hembusan napas yang keluar dari mulutnya. Sanjaya mengikuti langkah Kake tua tersebut. Mereka mendaratkan p****t di atas bale anyaman bambu.
“Sesuai janjiku. Akan aku beri tahu apa yang harus kamu lakukan. Kelemahan Warsana ada pada kitab yang ia simpan rapih di sebuah ruangan khusus di istana kerajaan. Kamu perlu merebutnya lalu pelajari.”
Sanjaya menatap Zamalik lekat. Yang dibalas dengan senyuman kakek tua itu.
"Apa kau yakin akan mencuri kitab itu?" tanya Zamalik, meyakinkan. Pemuda itu menatap Zamalik masih dengan tatapannya serius dan dalam.
“Jika itu bisa meruntuhkan kekuasaan raja biadab tersebut. Maka tak ada kata mundur." tegasnya Sanjaya.
"Itu tak mudah anak muda," jelas Kakek Zamalik. "Tak semudah yang kau bayangkan. Kau harus melewati banyak rintangan. Dinding kerajaan terlalu sukar di masuki. Tak bisa dilewati sembarang orang. Kilatan mata merah dimiliki oleh semua prajurit kerajaan. Kau bisa mati karenanya."
"Sanjaya telah berjanji membalas dendam Ambu dan Bapak. Tak ada kata menyerah lagi, Ki. Bahkan meski nyawa jadi taruhannya."
Kakek Zamalik tersenyum samar. Ia meraih kendi di sampingnya lalu menenggak arak di dalam bensa yang berasal dari tanah liat tersebut.
Sejujurnya, tak ada yang perlu diremehkN. Sanjaya tak selemah dan sebodoh itu, setelah sepuluh tahun jadi muridnya sudah banyak ilmu yang ia kuasai. Zamalik hanya tidak ingin, dara muda yang darahnya sedang mendidih bergejolak terbakar dendam itu merasa cukup. Andai ia katakan Sanjaya sudah cukup pandai, maka Sanjaya akan segera berhenti untuk terus mengasah dirinya. Walau bagaimana pun, Sanjaya tak sepenuhnya merupakan bagian dari mereka. Ya, Sanjaya adalah anak campuran dari darah manusia dan siluman. Hal itu pula yang membuat raja Warsana mencari-cari dirinya hingga detik ini.
Andai Zamalik mengatakan bahwa Sanjaya sudah memiliki kemampuan yang mumpuni untuk menerobos istana kerajaan. Dapat dipastikan remaja itu akan segera mengangkat pedangnya melawan para penjaga kerajaan. Belum saatnya. Akan ada saatnya.
"Semangatmu mengingatkanku pada aku saat muda."
Sanjaya mengulas tersenyum. Ia merebahkan badannya di atas bale-bale, mengeringkan titik-titik keringan yang keluar dari pori-pori tubuhnya. Sanjaya Menatap lurus ke atas cakrawala biru yang dihiasi ribuan burung yang sedang hijrah. Ia menghela napas berat. Andai Ibu dan Bapaknya masih hidup, mungkin ia tak akan merasa iri pada kawalan burung-burung yang tampak sedang mengejeknya.
Kake Zamalik ikut merebahkan diri. Mengikuti arah tatapan Sanjaya. "Kamu iri pada burung-burung itu?"
Diam, Sanjaya tak menjawab. Namun, terlihat dari tatapan mata yang meredup di bawah bulu mata yang bergerak tertepa angin bahwa lelaki itu sedang meredam banyak kekecewaan dalam hidupnya.
"Jika ia kau iri pada mereka. Maka seharusnya aku juga iri kepadamu," Sanjaya melepas pandangan pada kawalan burung di atas langit biru. Ia menoleh ke Kake Zamalik yang sedang tersenyum getir, "Kau masih sempat merasakan hidup bersama dengan kedua orang tuamu, meski hanya 10 tahun. Percayalah, aku tidak pernah berkesempatan menyentuh tubuh mereka di awal aku menghembuskan napas di dunia ini." Suasana berubah, atmosfer pedih terasa di antara dua lelaki yang sedang meratapi nasibnya.
"Balas dendamlah Sanjaya. Balas dendam atas nama kedua orang tuamu dan kedua orang tuaku. Aku tak tahu sampai kapan Aki tua ini akan hidup. Akan ada saatnya tubuh renta ini akan kuhadapkan pada mereka, algojo kematian," ucap Zamalik.
"Baiklah, aku pergi." Tangan keriput itu mengambil karung kecil yang diikat dengan satu tongkat. Ia berdiri lalu memikul tongkat itu ke atas bahunya.
"Aki mau kemana?"
"Mencari wanita. Di umurku yang senja, aku butuh wanita untuk membuat aku muda kembali. HHahahahahha " Lelaki tua itu tertawa membuat kulitnya yang keriput bergerak. Zamalik menegak arak kemudian berbalik meninggalkan Sanjaya dengan pikiran yang penuh di kepala. Jadi, kalau Zamalik pergi, bagaimana dengan dirinya?
Langkah Zamalik terhenti sejenak, ia memutar tubuhnya, menatap Sanjaya serius. "Akan ada gerhana bulan ke tujuh di waktu dekat ini. Waktumu tak banyak, cari kitab itu sebelum Warsana mendapatkan tumbalnya. Atau dia akan hidup abadi selamanya. Cari aku di lereng gunung jika terjadi sesuatu. mengatakan itu, lelaki tua itu kembali melangkah, mengembara.