39

1404 Words
Sejak saat itu Jugo dan ibunya tinggal berdua saja, ibunya bekerja apapun untuk menghidupi kebutuhannya. Ketika ia lulus dari sekolah menengah pertama, sang ibu meninggal akibat sakit. Satu hal yang tak pernah ia tahu, bahwa ibunya sengaja sakit karena merasa sudah tak kuat dengan begitu banyaknya derita yang terjadi dalam hidup. Jugo bersedih ketika mengethaui hal itu, bukan karena mengethaui kematian sang ibu tapi mengethaui bahwa ibunya harus memendam itu sendirian berulang kali dan terus menerus. Dulu, katanya neneknya sang ibu hanyalah gadis kecil biasa yang tumbuh di sekitaran kota kecil di sebuah provinsi miskin dan tak memiliki apapun. Setelah lulus Ssekolah Menengah Atas sang ibu memutuskan untuk menikah dengan Ayahnya yang saat itu juga tak memiliki apapun bahkan untuk sekedar mengeyangkan perutnya. Karena setelah menikah ibu dan ayahnya pindah dari rumah kakek dan neneknya ke kota. Berbagai masalah hidup terus terjadi hingga akhirnya sang ayah memperlihatkan dirinya dan sifat aslinya setelah ibunya hamil dirinya. Bahkan sesaat setelah melahirkan ayahnya semakin menjadi-jadi hingga puncaknya sang ayah pergi dengan seorang perempuan yang entah ia temui dari selokan sebelah mana.  Sesudah kematian sang ibu, Jugo akhirnya pindah ke kota lain tempat nenek dan kakeknya dari sang ayah berada. Ayahnya juga tak pernah pulang mengunjungi nenek dan kakeknya. Kakek dan neneknya mengatakan bahwa ayahnya memang memiliki sifat yang begitu keras hingga tak pernah mau mengalah dengan siapapun bahkan orangtuanya sendiri. Sekitar kelas dua SMA sang ayah pulang kerumah orangtuanya karena sudah tidak memiliki apapun lagi, ia juga di tinggalkan oleh istri barunya yang hanya menginginkan uangnya saja, meskipun begitu sifatnya pada Jugo tak pernah berubah, ia bahkan tetap kasar dan menganggap Jugo adalah anak pembawa sial yang tak tahu diri. Suatu waktu ia terlalu lelah untuk mendengarkan omongan sang ayah, ia nekad meracuni sang ayah hingga masuk rumah sakit. Ayahnya koma hingga saat ini, meskipun dokter sudah memberi saran bahwa ayahnya tak mungkin bisa hidup lagi, meskipun hidup ayahnya hanya akan lumpuh dan tak bisa melakukan apapun. Jugo merasa puas saat itu karena ia bisa membalaskan dendam kematian ibunya, tapi perlahan ia akhirnya sadar apa yang ia lakukan itu salah. Tak seharusnya ia membalas mkekejaman ayahnya, hal itu juga pasti akan membuat ibunya merasa sakit di surga sana. Neneknya tahu apa yang ia lakukan pada sang ayah, tapi neneknya tak pernah marah apa yang telah Jugo lakukan, karena neneknya paham bahwa Jugo mungkin sudah terlalu sakit hati karena perlakuan sang ayah padanya. Setelah semua bayangan itu melintas dipikirannya, Jugo mulai tersadar, kepalanya terasa sedikit pusing karena terbentur akar yang menyuat keatas tanah. Jugo mengurut perlahan kening dan samping kepalanya, karena sedikit nyeri. Ia duduk sesaat setelah menyadari bahwa dirinya kalah dari Andreas orang yang sudah ia remehkan dan ia yakini sudah ia kalahkan. Hanya karena nasib sialnya yang terus mengikutinya, ia bahkan sampai tak bisa memenangkan ujian itu, padahal ia yakin bisa memenangkan babak kedua itu. Sekarang itu harus menunggu dirinya yang akan di jemput oleh panitia. Dan entah apa yang akan terjadi pada dirinya setelah ini. Mungkin itu juga karma atas apa yang pernah itu lakukan pada sang ayahnya yang sampai saat ini belum juga bangun dari koma atas obat yang telah ia berikan. Tapi jika ia tak melakukan hal itu ayahnya kan terus menyakiti dirinya dan mungkin banyak perasaaan orang lain di luar sana, termasuk nenek dan kakeknya yang tak lain orangtua ayahnya sendiri. Ia sudah terlalu sakit saat melihat kematian ibunya akibat dari hal yang telah di lakukan sang ayahnya saat itu. Ia tak ingin melihat ayahnya melakukan hal yang sama pada nenek dan kakeknya, karena mereka sudah sangat tua yang seharusnya di masa seperti itu mereka bisa hidup dengan tenang tanpa memikirkan apapun lagi, tapi masalah  malah terus di timbulkan oleh sang ayah pada keluarga kecilnya, ia tak akan pernah berubah. *** Kisah Nichole dan Aster Sebelumnya Rumah tangga Nichole dan Aster yang sudah cukup matang itu, selalu tenang dan tak terjadi masalah yang serius atau sampai membuat keduanya terlibat masalah. Aster dan Nichole sama-sama tenang dan dewasa untuk menyikapi masalah rumah tangga mereka. Meskipun sampai saat ini Nichole juga belum kunjung hamil, Aster tak pernah mempermasalahkan hal itu, karena bagi Aster anak adalah salah satu hadiah dari Tuhan ada ataupun tidak itu bukan masalah yang harus di besarkan. Nichole yang sudah mengetahui bagaimana sikap dan sifat selalu mendukung apa yang suaminya itu lakukan, bahkan ketika Aster meloloskan beberapa peserta ia menerima hal itu, meskipun akan banyak orang yang menentangnya, tak terkecuali sang ayah. Ayahnya atau mertua dari Aster pernah menegur perlakuan itu, tapi Aster seperti mengindahkan dan tetap melakukan apa yang ia mau. Nichole tak pernah mencegah keinginan Aster karena ia tak pernah tahu bagaimana rasanya ikut dalam ujian mematikan itu, bagaimana rasanaya sakit dan terluka hingga bagaimana rasanya ditinggalkan orang yang paling ia sayangi. Ia terlahir dari kerluarga kaya raya dan berpengaruh maka dari itu ia tak harus mengikuti ujian mematikan yang di selenggarakan pemerintah. “Kau harus cepat tidur, bukan,” ujar Nichole yang melihat Aster membaca bukunya setelah makan makan meskipun saat itu sudah hampir pukul sebelas malam. “Aku habiskan beberapa bab ini dulu,” kata Aster. “Tidak,” kata Nichole meraih buku itu dari tangan Aster lalu menariknya di atas meja. “Lebih baik kau habiskan aku saja malam ini.” Aster sedikit trersenyum melihat Nichole menggodanya, sebuah senyuman yang amat langkah mengingat bahwa Aster adalah pria pendiam yang pelit senyum. Kemudian Nichole beringsut untuk tidur di atas d**a bidang Aster. “Kau terlalu memaksakan pikiranmu, istirahatlah sejenak,” ucap Nichole sambil mendengar detak jantung Aster dibalik baju tidur. “Para panitia dan orang-orang pemerintah pasti akan marah dengan apa yang aku lakukan, begitu juga ayahmu, kan,” ujar Aster sembari mengelus rambut hitam panjang milik Nichole. “Ayah mungkin sudah tahu apa yang kamu lakukan, akan banyak orang yang mengatakan itu bahkan dinding ruang panitia bisa berbisik,” kata Nichole, ia kemudian mengelus perlahan d**a Aster. Aster sedikit merasakan sesuatu yang merasuk dalam dirinya, ia tahu Nichole sedang menginginkan sesuatu, kemudian sesuatu terjadi. Keesokan paginya. Aster sudah pergi ke tempat ujian lagi bersama mobil pribadinya, ia sudah siap dengan apa yang akan para panitia katakan padanya nanti, dan mungkin juga akan ada beberapa sekolah yang melakukan hal yang sama karena protres dengan tidak konsistennya panitia dalam melakukan ujian. Namun, ketika sampai di tempat panitia dan ujian ia tak melihat siapapun hanya beberapa bisik panitia yang tidak begitu mengganggu telinganya, ia sudah bisa mendengar hal itu sejak ujian tahuan lalu. Kemudian ia pergi keruang monitor tempat di mana pemantauan ujian tengah berlangsung, saat sampai di sana ia mendapati ayah Nichole yang tak lain David dengan menunggu dirinya. Dilihat dari wajahnya David ingin mengatakan sesuatu hal yang sangat penting dan ia tahu apa itu. “Kapan ayah datang?” sapa Aster sambil menyapa David yang tak lain ayah mertuanya. “Begitu cepat, sejak ada yang menghubungiku bahwa menantuku melakukan hal yang sama setiap tahun,” ujar David pada Aster. Malam itu setelah ujian di tutup pada hari ke tujuh, seseorang anggota panitia menghubungi David, mengatakan bahwa Aster meloloskan lagi satu peserta dengan tanpa alasan yang jelas. Malam itu David bergegas pergi menuju provinsi ke-10 dari tempat di mana ia menjadi panitia ujian juga. David tak habis pikir apa yang dipikirkan oleh Aster, berulang kali sifat naifnya itu membuat banyak orang bingung bahkan hingga membuat pusing dirinya. Bukan ia menyalahkan Aster tahu apa yang ia lakukan bisa membuat dirinya terlibat masalah serius nantinya, bahkan jika sudah menyangkut pemerintah itu akan sulit. “Bagaimana ujiannya lancar?” sambung David sambil bertanya, sepertinya ia tak harus membahas masalah itu terlalu jauh lagi karena terasa tak perlu. Aster sudah mengerti posisinya. “Ini sudah memasuki babak kedua dengan 40 peserta, Ayah.” Kata Aster. Ia menarik napas perlahan, sepertinya mertuanya tak ingin membahas apapun padanya. “Ayah akan mengechek saja atau langsung pulang?” “Kenaapa? Kau tak ingin aku di sini?” Aster menggelengkan kepalanya. “Aku bersama Ibumu, ia ingin melihat anak perempuannya, ia sedang di hotel sekarang.” “Oh ya, salam untuk Ibu. Kalau ayah masih di sini, aku kaan pulang secepat mungkin setelah selesai ujian,” ucap Aster kemudian. “Ayah pergi dulu,” setelah mengucapkan hal itu David menepuk pundak kiri Aster dan kemudian keluar dari ruang monitor tanpa membahas yang terjadi. Aster menghembuskan napas leganya, ia tak harus pusing menjawab semua pertanyaan sulit dari ayah mertuanya itu. Karena jika sudah membahas David seperti tak ada jeda. Ia bisa dalam masalah masalah jika salah menjawab,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD