45

1035 Words
Mati dalam keadaan mengenaskan saat itu bukanlah keinginannya, ia hanya ingin membutikan pada kedua kakak laki-laki ataupun ayahnya bahwa seharusnya ia bisa berdiri sendiri dengan kakinya. Ia tak mau dikatakan orang lain sebagai seorang anak yang hanya bisa menumpang dengan nama Dailos tanpa bisa melakukan apapun dengan tangannya sendiri. Namun, semuanya salah. Ia saat ini tak bisa melakukan apa lagi, ia memang sudah seharusnya melakukan hal ini dan kalah saat ini juga. Ia sudah kelelahan sejak awal, bahkan sejak bertemu dengan Alta beberapa waktu lalu. Saat itu ia ingin menyerah, tapi tak mungkin secepat itu. Karena jika menyerah sama saja mati. Mengingat Alta sejenak ia ingat bagaimana anak itu yang begitu baik padanya, ia berharap Alta lolos di babak kedua itu dan bisa melanjutkan kebabak selanjutnya. Meskipun beberapa hari ai bersama dengan Alta, tapi ia tahu di balik sikap Alta yang pendiam dan ramah itu ia menyimpan begitu banyak masalah. Mahen tak bisa menanyakan hal itu, karena ia tak ingin menyakiti perasaan Alta nantinya, maka dari itu ia selalu menikmati setiap apa yang Alta ucapkan dan lakukan. Alta adalah satu-satunya teman yang begitu baik padanya yang mau memberikan cerita luar biasa tentang pertemanan padanya berbeda dengan orang-orang yang pernah dikenalnya. Karena kebanyakan orang yang ia kenal adalah anak-anak kota dari orang kaya yang memiliki apapun, maka dari itu mereka tak berbincang selayaknya anak pada umumnya. Mahen tak ingin berteman dengan mereka karena sifat mereka itu yang tak ia suka. Setelah bayangan itu kemudian tak berapa lama Mahen tak sadarkan diri. Saat Mahen tak bisa melakukan apapun lagi, kini Ken sudah menjauh dari tempat kejadian di mana ia memperebutkan bendera biru pembawa malapetaka itu dengan Mahen. Ia tak ingin lagi berhadapan dengan Mahen apapun yang terjadi. Karena ia masih merasa terluka akibat pertarungan dengan Mahen. Meskipun saat ini Ken yakin bahwa Mahen sudah tak bisa melakukan apapun lagi. Saat bertarung dengan Mahen itu, ia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia tak boleh kalah, karena ia memiliki dendam yang belum ia tuntaskan tentang takdir yang selalu memaksa dirinya untuk mengalah dan menerima keadaan. *** Kisah Nichole dan Aster sebelumnya.. “Ayah pergi dulu,” setelah mengucapkan hal itu David menepuk pundak kiri Aster dan kemudian keluar dari ruang monitor tanpa membahas yang terjadi. Aster menghembuskan napas leganya, ia tak harus pusing menjawab semua pertanyaan sulit dari ayah mertuanya itu. Karena jika sudah membahas David seperti tak ada jeda. Ia bisa dalam masalah masalah jika salah menjawab. Mertuanya yang terkenal sebagai orang paling kaya dan perpengaruh di Linkton itu selalu memiliki cara agar dirinya salah berucap, meskipun begitu David yang dulu tak menyukai jika Nichole menikah dengannya kini berubah sikapnya apalagi setelah ia menjadi seorang anggota pemerintahan dan juga ketua ujian kelulusan. Aster tahu penyebab penolakan David dulu, karena Aster belum memiliki pekerjaan yang layak dan tetap, ia juga tahu bahwa David ingin hidup anak perempuan tunggalnya bisa terjamin dengan layak dan tak kekurangan apapun. Aster paham dengan situasi itu dan mencoba menenangkan dirinya. Maka dari itu ia meminta waktu untuk bekerja dan akan berjanji menikahi Nichole juga sudah memiliki pekerjaan yang tetap. David menerima waktu itu dan menunggu hingga satu tahun, ketika sudah satru tahun Aster kembali datang untuk melamar Nichole. “Apa tuan David tadi mengatakan sesuatu?” tanya Aster pada beberapa panitia yang tengah memantau monitor saat itu. “Tidak ada, Pak. Tuan David hanya datang untuk mengechek saja,” jawab salah satu panitia itu. Mendengar hal itu Aster kemudian mengangguk dan berlalu pergi dari ruang monitor, begitu pekerjannya setiap pagi untuk mengurus ujian. Ia harus memantau sendiri dari layar lain, agar bisa memerintahkan bawahannya mengambil dan mengurus peserta yang kalah dalam pertarungan. Kemudian hari bergulir dengan sangat cepat, tak terasa sore sudah datang, peserta mulai diberi peringatkan bahwa akan ada waktu jeda malam. Dan beberapa jam kemudian malam mulai datang dengan cepatnya, ujian hari ketujuhpun selesai. Aster menggerakkan tubuhnya yang lelah karena sejak tadi duduk dan mengurus berkasnya, ia juga memantau ujian itu dengan detail agar jika presiden bertanya ia tak kebingungan untuk menjawab apa yang terjadi di provinsi yang ia pegang saat ini. “Apa ini sudah semua, Remi?” tanya Aster pada Remi setelah ia menandatangani berkas yang kadang ia malas membaca isinya. “Untuk hari ini sudah, Pak,” kata Remi menjawab. “Dan sesuai jadwal, besok akan ada pertemuan ketua panitia ujian seluruh provinsi di gedung senat bersama dengan presiden, Pak.” “Iya, saya ingat. Dan besok ingatkan saya pergi dua jam sebelum waktunya di mulai, ya.” Ujar Aster, kemudian Remi mengangguk dan pergi dari ruangan Aster. Setelah Remi pergi, Aster juga membereskan berkasnya dan berniat untuk pulang. Ketika ia keluar dari ruang kerjanya, lampu-lampu lorong kantor sudah mulai ada yang padam, karena para panitia dan pekerja lainnya kemungkinan sudah pulang. Setelah sampai di parkir, Aster mengeluarkan mobilnya dan keluar dari area gedung panitia itu. Malam itu ketika ia pulang ia melambatkan mobilnya, menikmati pemandangan malam kota Capital City yang tidak baik. Meskipun lengang tapi udara malam ibukota terasa begitu racun, penduduk yang hendak keluar harus menggunakan penutup mulut dan hidungnya, sedangkan yang lain memilih untuk tetap berada di rumah sampai pagi menjelang. Akibat perang beberapa puluh tahun lalu, udara malam dari Linkton sudah bercampur dengan racun dan radiasi tipil yang bisa merusak pernapasan. Para ilmuan sedang mencoba membuat udara baru yang segar tapi masih dalam tahapan perkembangan, tapi mudah mereka memberikan udara baru setiap malam pada negara yang begitu luas, bahkan luasnya melebihi Rusia jaman dulu. Aster juga tak begitu suka berada di luar, setelah selesai kerja ia lebih memilih untuk pulang kerumah bertemu dan bersama istrinya Nichole yang cantik. Istrinya sudah seperti opium yang membuatnya kecanduan dan tak bisa menghilangkannya. Tak berapa lama Aster sampai rumah, memarkirkan mobilnya dan masuk kedalam rumah setelah Nichole membukakan pintu. Aster membersihkan dirinya kemudian menyantap makan malam seperti biasanya sambil mendengarkan istrinya itu bercerita bahwa orangtuanya tadi datang kesana untuk sekedar ingin tahu apa kabarnya. Aster juga mengatakan bahwa sang ayah datang kekantornya untuk menanyakan perihal ujian yang tengah berlangsung. Aster mengatakan bahwa ia takut jika ayahnya akan marah karena mengetahui bahwa ia meloloskan satu peserta lagi tahun ini. Nichole mengangguk sambil mencoba menghilangkan rasa takut, padahal Nichole sediri yang meminta ayahnya untuk tidak menegur ataupun marah pada suaminya Aster.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD