BAB. 2 BIG B (TAK INGIN KURUS)

1360 Words
Aku masuk ke dalam kamar, untuk mengganti pakaian . Kuambil rok hitam lebar selutut, dan blus batik, dengan warna dasar hitam juga. Aku ikat kuncir kuda rambut panjangku, kusapukan tipis bedak bayi kewajah. Aku keluar dari kamar, aku melihat dia sudah menunggu dengan duduk di teras. "Saya sudah siap, Mas," kataku. Mas Bimo memutar tubuh. Dia menatapku, dari ujung kaki hingga ujung rambut. "Masuk ke mobil," katanya, dia melangkah lebih dulu, lalu masuk ke dalam mobil. Mobil berbeda dari yang aku tabrak beberapa hari lalu. Aku membuka pintu belakang. "Heeyy, mmangnya aku supirmu, duduk di depan!" katanya dengan suara bernada kesal. Dengan sedikit gemetar, aku buka pintu bagian depan mobil, lalu duduk di sebelahnya. Aduuhh ... hatiku ikut-ikutan gemetar. Ini pertama kalinya dalam sejarah hidupku, duduk di dalam mobil pribadi. Duduk di depan dengan pengemudi yang ganteng pula. Mobil belum jalan juga, aku menengok ke arahnya, dia menatapku kesal. "Kamu itu lupa, pura-pura lupa, atau bego, atau belum pernah naik mobil begini sebelumnya!?" tanyanya terdengan jengkel. "Maaf, ini pertama kalinya saya naik mobil begini," jawabku sedikit takut. "Hhhhh ... pantas saja," keluhnya, dan tanpa aku duga, dia menggapaikan tangannya melewati kepalaku. Aku menutup mataku, menahan napasku, dan berusaha mengecilkan tubuhku, sebetulnya nggak mungkin sih tubuhku mengecil, karena wajahnya begitu dekat dengan wajahku. Jantungku rasanya melorot sampai ke perutku. Ya ampun, segar aroma tubuhnya. Uukkhhhh! Dia ternyata memasangkan safety beltku. Aku buka mata, saat kurasakan mobil bergerak maju. Tiba di pasar, aku pikir dia akan diam mengikuti saja, tapi aku salah. Dia yang memutuskan apa yang akan dibeli. Dia sangat lihai bernegosiasi harga. Dia sangat lihai memilih barang. Dia sangat lihai .... Ya Tuhan, aku terpesona .... "Kamu mau beli apa?" tanyanya tiba-tiba. "Saya?" tanyaku meragu. "Iya, kamu mungkin perlu sabun, shampo, sikat gigi, pasta gigi, bedak, lipstik, atau apa?" tanyanya. Aku menggeleng, semua sudah aku siapkan dari rumahk. "Tidak, terima kasih," jawabku. Uuukkhh ... ternyata baik hati juga dia, batinku. "Kalau enggak ada yang dibeli lagi, kita pulang sekarang" katanya. Aku mengikuti langkahya yang lebar. Di tangannya ada dua plastik belanjaan, begitu pula di tanganku. Tiba di dekat mobil. "Kamu tunggu di sini, aku ada yang lupa dibeli," katanya, dia menyerahkan bawaannya ke tanganku. Sebelum aku menjawab, dia sudah masuk lagi ke dalam pasar. Terpaksa aku berdiri di samping mobil dengan belanjaan di tanganku. Kenapa tidak dibuka dulu pintu mobilnya, biar belanjaan bisa dimasukkan, hhh .... Aku jadi menggerutu di dalam hatiku. "Hay Big B! Sedang apa kamu di sini? Berdiri di samping mobil mewah ini. Jangan katakan, kamu naik mobil ini ya!" Santi, Dewi, dan Lisa sudah berdiri di hadapanku dengan pandangan melecehkan, seperti biasa yang mereka arahkan padaku. "Mana mungkin orang udik seperti dia, naik mobil bagus begini," kata Santi mengejek. Mereka bertiga terus berkicau mengejekku. Aku hanya diam saja, malas melayani ocehan trio rese di depanku ini, yang sesungguhnya, hampir benar semua yang mereka ocehkan, hhhhh ... sabar .... "Ada apa ya?" tanya Mas Bimo yang tiba-tiba muncul di dekat mereka. "Oh, hay, Mas pasti yang punya mobil bagus inikan?" tanya Lisa. "Iya." Mas Bimo menganggukkan kepalanya. "Nah, Big B, menyingkirlah dari dekat mobil ini, yang punya sudah datang!" Santi mengibaskan tangannya, seakan mengusirku agar menjauh dari sana segera. "Big B?" suara Mas Bimo terdengar bingung. Dia menatapku, lalu tatapannya berpindah ke arah tiga gadis rese di depan kami. "Ya, dia, Big B ini, dari tadi berdiri di dekat mobilmu, Mas, seakan ini mobilnya saja!" jawab Santi dengan tatapan, dan bibir mencibir ke arahku. Mas Bimo menatapku, tepat saat aku mendongakkan kepala untuk menatapnya juga. "Ooh ... dia Big B, Bella maksudmu?" tanya Mas Bimo, setelah mengalihkan tatapan dariku ke arah Santi. "Eeh, Mas kenal dengan dia?" tanya Dewi, jari telunjuknya menunjuk ke arahku. "Ya, dia ... dia, kami sedang dekat, doakan saja bisa makin dekat ya." Mas Bimo merangkul bahuku. Bukan cuma trio rese itu yang terkejut dengan ucapan Mas Bimo barusan, tapi aku juga, kenapa dia harus mengatakan hal bohong seperti itu. "Ayo, Bella kita pulang sekarang." Mas Bimo membukakan pintu mobilnya untukku. Setelah memasukkan belanjaan ke dalam bagasi mobil. Tanpa bicara sepatah kata, aku masuk ke dalam mobil Mas Bimo, diiringi pandangan trio rese, entah apa arti pandangan mereka, aku juga tidak tahu. Kali ini aku pasang safety belt sendiri, karena aku tidak mau, jantungku serasa melorot sampai ke perutku lagi. "Kami duluan ya, bye ...." Mas Bimo melambaikan tangannya pada mereka. "Mereka teman sekolahmu ya?" tanya mas Bimo. "Iya." Kepalaku mengangguk. "Kamu tidak terganggu dengan panggilan Big B?" tanyanya lagi. "Tidak." Kali ini kepalaku menggeleng. "Di sekolah, apa mereka sering bersikap seperti tadi?" "Ya." "Kamu tidak merasa terhina?" Mas Bimo menoleh untuk menatapku. "Tidak." Aku menggelengkan kepala. Aku rasa sebutan BIG B lebih bagus daripada disebut gajah, kerbau, atau yang lainnya, seperti panggilan yang sering aku terima dari orang lainnya "Kenapa?" "Yang mereka katakan semuanya benar." "Maksudmu?" "Aku gendut, aku orang udik, jadi tidak ada yang salah, mereka hanya mengatakan yang sebenarnya, itu saja." "Kamu tidak minder dengan keadaanmu?" "Tidak." Aku kembali menggelengkan kepala. "Hmmm ... itu bagus, apa kamu pernah jatuh cinta?" pertanyaan Mas Bimo membuatku menoleh ke arahnya. "Ya, aku normal, meski sering dianggap sebagian orang tidak normal," jawabku. "Pernah pacaran?" Lagi aku menengok ke arahnya. Aku menggelengkan kepala. "Tidak." "Tidak?" Mas Bimo balas menatapku. "Kenapa?" "Ya, karena tidak ada pria yang memintaku untuk jadi pacarnya," jawabku ketus. Aku mulai jengkel dengan pertanyaannya, yang menjurus ke arah hal-hal yang menurutku bersifat pribadi. "Bagaimana kalau aku memintamu jadi pacarku?" pertanyaannya membuat jantungku melorot sampai ke perut lagi. "Apa maksud anda, saya tidak mengerti," jawabku. "Maksudku jelas, aku minta kamu jadi pacarku. Hmmm ... bagaimana kalau langsung jadi istri saja," gumamnya. "Anda sakit, Mas Bimo?" tanyaku, kuteliti wajahnya. Apa dia gila, kami baru dua kali bertemu, dan dia memintaku jadi istrinya. "Aku serius, aku merasa lelah mencari seseorang yang menggetarkan hatiku. Aku pikir, apa salahnya aku mencoba menikahimu," jawabnya enteng. "Anda gila ya, pernikahan bukan hal untuk dicoba, pernikahan itu sakral!" "Hahahaha, kamu menolak aku, karena kamu pasti tidak percaya dengan dirimu, karena keadaanmu kan, Bella?" tanyanya. Aku diam, tak mau menjawab pertanyaannya. "Kenapa diam, benarkan yang kukatakan barusan?" "Saya kira, hubungan kita hanya sebatas majikan, dan bawahan, tidak seharusnya menyentuh urusan pribadi," jawabku, kubuang pandangan ke luar jendela. "Kamu tersinggung, Bella, hhhhh ... aku dulu juga seperti mu, bergelar Big B. Rasa cintaku pada seorang wanita, mampu merubah aku seperti ini. Saranku, kalau kamu ingin sukses menurunkan berat badan, kamu harus punya tujuan, untuk apa kamu lakukan itu, agar diet mu sukses." "Aku tidak berniat diet," sahutku ketus. "Hhhh ... terserah kamu, Nona Bella, aku hanya menyarankan saja." Mas Bimo mengangkat bahu, dan mengatupkan bibirnya. * Siang ini aku hanya masak sayur bening bayam, kacang panjang, gambas, dan labu kuning, plus ikan nila goreng, dan tentu saja dengan sambal terasi. Tidak kusangka, Mas Bimo mengajakku untuk duduk makan bersamanya. Uuuhhh makannya lahap benar, persis orang tidak makan berapa hari. "Enak masakanmu," pujinya. "Terima kasih," sahutku. "Apa cita-citamu, Bella?" tanyanya tiba-tiba, saat aku membereskan bekas makan kami. Hmmm kami ... rasa bagaimana begitu, menyebut aku, dan dia sebagai kami. Ingat Bella jangan gede rasa, dia hanya ingin bersikap sopan, dan baik kepadamu. "Bella, kamu tidak mendengar pertanyaanku?" "Ooh, maaf, saya mendengar, Mas, maaf. Cita-cita saya, saya ingin punya warung makan." "Apa karena kamu suka makan, makanya kamu ingin punya warung makan?" tanyanya, matanya menatap wajahku, membuat tatapan mata kami bertemu. Kubuang pandangan, dan berusaha mengatur debar jantung. "Aku tidak suka makan," jawabku. "Lalu kenapa kamu ... maaf, gemuk?" "Itu karena aku terlalu kurus saat kecil, sehingga ibu memberiku obat gemuk," jawabku. "Kamu benar-benar tidak ingin kurus, Bella?" tanya Mas Bimo, sepertinya dia belum puas dengan pembicaraan pagi tadi. "Tak masalah gemuk, yang penting aku sehat," jawabku. "Kau persis Mami, Papi, dan kakak-kakakku. Jawaban mereka juga selalu begitu," keluh Mas Bimo. "Maksud Mas, keluarga Mas gemuk semua?" tanyaku tak percaya. "Kamu sudah lihat Mami kan, nah Papiku, dan kedua kakakku juga gemuk seperti Mami," jawabnya. "Kok Mas enggak?" tanyaku, seraya menumpuk piring bekas kami makan, dan juga membersihkan meja. "Sudah aku katakan, aku dulu juga dipanggil Big B, seperti dirimu, dan sejak aku mulai jatuh cinta, aku berusaha merubah diriku," kata Mas Bimo. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD