bc

Kumpulan Cerita Pendek (GRATIS)

book_age18+
7.0K
FOLLOW
31.1K
READ
contract marriage
family
goodgirl
inspirational
CEO
drama
sweet
office/work place
first love
asexual
like
intro-logo
Blurb

Kumpulan cerpen karya Rustina Zahra. Aku dedikasikan untuk para pembacaku yang setia mengikuti setiap judul yang aku posting di sini. Terima kasih sudah membaca cerita tulisanku. Kumpulan Cerpen ini tidak akan aku gembok.

chap-preview
Free preview
BAB. 1 BIG B (BELLA MAHARANI)
Perkenalkan namaku Bella Maharani. Usiaku baru delapan belas tahun lebih enam bulan. Aku baru dua bulan lalu lulus SMA. Orang bilang hidupku penuh dengan kesialan. Itu menurut orang, karena menurutku sendiri hidupku bahagia. Secara fisik kuakui, aku gemuk, beratku 90 kilo gram dengan tinggi 160 cm wajahku tentu tembem, badanku pastinya tak berbentuk. Aku juga tidak terlalu pintar, otakku standar. Tapi aku tetap bahagia. Aku memiliki orang tua yang luar biasa, yang membuatku bisa melakukan apapun yang membuatku bahagia. Meski kami hidup sangat sederhana, tapi kami tidak pernah kekurangan cinta. Soal cinta, nah itu dia ... aku sering naksir cowo, tapi cuma sampai disitu. Aku tidak berani lebih dari itu, tapi aku percaya, Allah pasti sudah menyiapkan seseorang sebagai jodohku, entah di mana saat ini dia berada, dan siapa orangnya, kapan akan berjumpa, aku tidak tahu, karena hanya Allah yang tahu. Hari ini, seperti hari yang kemarin, sejak dua bulan lalu, aku bekerja di toko kue milik Cici Mey. Aku baru lulus SMA, tapi aku belum bisa lanjut kuliah, karena perekonomian keluarga. Ibuku, bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah orang tua Cici Mey, sejak belasan tahun lalu. Ayahku, bekerja sebagai penyapu jalan di dinas kebersihan kota ini. Masih ada dua adikku yang harus disekolahkan. Tentu aku tidak boleh egois, dengan memaksa harus kuliah. Aku harus memikirkan kemampuan orang tuaku, juga kelanjutan pendidikan kedua adikku. Kukayuh sepeda biru tua milikku, yang walau mungkin dia sudah lelah menemaniku dari SMP, tapi bisa apa, dia hanya sebuah sepeda, yang hanya bisa protes dengan bocor ban saja, atau lepas rantainya, karena lelah membawa tubuh gemukku. Braaakkk! Sepedaku menabrak sesuatu. Sebelum aku menyadari semuanya, seseorang sudah berdiri di sebelahku, memakiku dengan kata-kata sedikit kasar. "Apa yang kamu lakukan haah! Kau tidak punya mata ya? Kamu harus mengganti kerugianku!" teriaknya gusar. Matanya melotot ke arahku. Masih beruntung aku tidak jatuh. Aku merubah posisi jadi menghadap ke arahnya. "Maafkan aku, aku tidak sengaja," jawabku sedikit gemetar. Ku balas tatapan matanya, dengan tatap penyesalan. Kutengadahkan kepala, orang ini tingginya mungkin 180, tegap, gagah, ganteng, kalau dia berdiri tepat di sebelahku seperti tadi, kami jadi mirip angka sepuluh barang kali. "Memberi maaf soal lain, sekarang aku minta kau ganti rugi kerusakan mobilku!" katanya dengan suara keras. "Tapi aku tidak punya uang, Mas, eeh Om, eeh Pak," jawabku gugup. Pikirku apa dia tidak melihat, kalau aku cuma memakai sepeda butut. "Mana KTP mu!" Dia menadahkan tangannya di depan wajahku. Huuh ganteng tapi angkuh, batinku. Kuambil KTP dari dalam tas selempangku, tas yang tak kalah bututnya dari sepedaku. * Bella Maharani. Hmmm ... namamu bagus, aku akan datang ke rumahmu, kalau mobilku sudah selesai diperbaiki. Kamu harus mengganti biaya perbaikannya." Orang itu masuk ke dalam mobilnya, dan melambaikan KTP ku yang berada di tangannya, tanpa menyebut siapa namanya. Aku hanya bisa tertunduk lesu, sambil kembali menaiki sepedaku, yang syukurnya masih bisa dipakai, meski stangnya jadi agak miring. Aku mengayuh pelan sepedaku, menuju tempat kerja. Urusan ganti rugi, nantilah aku pikirkan, kalau dia datang menagih dengan bon di tangannya. Tiba di toko kue, Cici Mey memanggiku. "Bella!" "Ya Ci," sahutku. "Temui aku di kantor ya," pintanya. "Ya, Ci," jawabku. Aku masuk ke dalam ruangan, yang disebut Cici Mey sebagai kantornya. "Duduk, Bel." "Terima kasih, Ci." "Begini, Bel, beberapa hari lalu, ada teman orang tua Cici dari Jakarta datang ke sini, dia pemilik mall yang baru buka itu, kamu tahu kan mall yang itu, Bel?" "Iya tahu, Ci." "Nah yang punya itu temannya Mami Cici. Anak beliau akan tinggal di sini selama enam bulan, untuk mengawasi perkembangan mallnya. Anak beliau perlu asisten rumah tangga, Mami Cici mengusulkan nama kamu, karena kita sudah tahu sekali seperti apa kamu, dan keluargamu. Gajinya besar, Bel, bisa kamu tabung nanti buat melanjutkan kuliah kamu. Kalau dia sudah pulang ke Jakarta lagi. Kamu bisa kembali bekerja di sini lagi, bagaimana, Bel?" Panjang lebar Cici Mey menjelaskan. "Bella harus bicara dengan Bapak, dan Ibu dulu, Ci," jawabku. "Iya boleh, besok temannya Mami itu datang ke sini, Bel, kamu nanti langsung bicara sama beliau ya, bersedia, atau enggaknya, soalnya cuma kamu yang bisa Cici rekomendasikan, Cici enggak berani mengajukan orang lain, Bel." "Siap, Ci," jawabku. "Ya sudah sekarang Bella kerja lagi ya," kata Cici Mey. "Ya, Ci," anggukku. * Aku sudah berhadapan dengan Ibu Monic, teman maminya Cici Mey. Yang membuatku kaget, Ibu Monic sama denganku, gemuk. "Ini Bella, yang diusulkan Mami kemarin, Tante. Bella ini putri Bik Lela, yang kerja di rumah Mami selama belasan tahun, Tante," kata Cici Mey memperkenalkan aku pada Ibu Monic. "Pagi, Bella." "Pagi, Bu," sahutku. "Saya percaya sekali dengan pilihan Mey, dan maminya, kamu pasti bisa diandalkan untuk urusan rumah tangga. Bagaimana Bella, bersediakah kamu kerja di rumah anak saya? Hanya enam bulan, Bella," kata Ibu Monic. Aku terdiam sesaat, tadi malam aku sudah membicarakan ini dengan ibu, dan bapak. Aku belum pernah berpisah dengan mereka, sedang sekarang aku harus tinggal di rumah Ibu Monic, meski menurut Cici Mey, aku tetap bisa pulang seminggu sekali, tetap saja aku merasa sedikit cemas. "Bella, bagaimana?" tanya Ibu Monic lagi. Aku menganggukkan kepalaku. "Ya, Bu, saya bersedia," jawabku. Terdengar helaan napas lega, dari Cici Mey, dan Bu Monic. * Esok paginya, tepat jam tujuh, Bu Monic, dan supirnya menjemputku di rumah orang tua Cici Mey, sesuai kesepakatan. Ibu memang terlihat berat berpisah denganku, seperti aku juga berat berpisah dengannya. Sebenarnya jarak rumah ibu, dan rumah Ibu Monic tidak jauh, hanya dua puluh kilometer saja, tapi Bu Monic minta aku menginap di sana, agar aku bisa fokus bekerja. Mobil yang membawaku, dan Bu Monic berhenti disebuah rumah berpagar hitam, pagar dibuka oleh lelaki usia sekitar empat puluhan berpakaian layaknya security. Mobil parkir tepat di depan teras. "Ayo turun, Bel." kata Bu Monic. Aku mengikuti Bu Monic turun dari mobil. "Ayo masuk." Bu Monic membuka pintu yang tidak terkunci. Aku melangkah masuk mengikuti Bu Monic. Tas berisi pakaian ada ditanganku. "Bimo! Bimo!" panggil Bu Monic. "Ya, Mi." Seorang lelaki muncul dari pintu salah satu kamar. Wajah lelaki itu membuatku terkejut, bukan cuma aku sepertinya yang terkejut, tapi dia juga. "Bimo kenalkan ini Bella, dia yang akan mengurus semua keperluan kamu, selama kamu di sini. Bella kenalkan ini Bimo, ehmm panggil saja Mas Bimo, dia anak Ibu," kata Bu Monic. Lelaki itu mengulurkan tangannya yang kokoh ke arahku, kusambut uluran tangannya, seraya sedikit membungkukan badanku. "Ayo, Bel, Ibu tunjukin dulu semuanya ke kamu, sebelum Ibu kembali ke Jakarta," kata Bu Monic, akupun melangkah mengekor beliau. Bu Monic menunjukan ruang tamu, ruang tengah, ruang makan, dapur, ruang cuci baju, dan setrika, terakhir kamarku. Aku pikir kamarku ada di belakang dapur, ternyata kamarku tepat di sebelah kamar Mas Bimo. "Ini kamar saya, Bu?" tanyaku tak yakin. "Iya, kenapa, Bella?" tanya Bu Monic. "Ini terlalu bagus, Bu," jawabku. Kamar ini sangat luas, lebih luas dari ruang tamu, ruang tengah, dan dua kamar di rumah kami jika dijadikan satu. Luas rumah kami seluruhnya hanya 6x8 meter saja. "Ini terlalu bagus untuk pembantu seperti saya, Bu," kataku lagi. "Tidak Bella, kamar ini cocok untuk kamu, dan jangan berpikir kamu itu pembantu di sini. Semua urusan di rumah ini Ibu serahkan ke tanganmu. Kamu mempunyai hak, dan kewajiban melakukan yang terbaik di rumah ini," kata Bu Monic. "Baik, Bu," jawabku, meski jujur otak standarku agak sulit mencerna ucapannya barusan. Pagi itu juga Bu Monic kembali ke Jakarta. Pulang dari Bandara, Mas Bimo menemuiku, saat aku sedang membersihkan teras samping. Jarak dari Bandara ke rumah mereka, memang hanya memakan waktu tidak sampai dua puluh menit. "Masak apa hari ini?" tanyanya. "Maaf, Mas, tadi saya mau masak, tapi kulkas di dapur kosong," jawabku. "Cepat ganti bajumu, kita ke pasar sekarang," katanya. Aku masih terpaku di tempatku, merasa salah mendengar, dia mau mengantar aku ke pasar. "Kenapa bengong, cepetan ganti bajumu, awas jangan pake daster ya!" katanya, seraya menudingkan jari telunjuknya ke arahku sebagai bentuk peringatan. BERSAMBUNG

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.1K
bc

My Secret Little Wife

read
94.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
14.8K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook