Bab 2. Suara Dalam Gelap

1083 Words
Dunia kembali datang pada Nayaka seperti gelombang yang terlalu berat untuk ditahan. Gelap. Panas. Dingin. Lalu gelap lagi. Aroma besi, tanah basah, dan cairan medis bercampur menjadi satu, menusuk indera seluruh indera di tubub Nayaka. Dia tidak bisa membuka mata. Tidak bisa menggerakkan bibir. Bahkan kelopak matanya terasa seperti dilapis timah yang kuat. Yang bisa Nayaka lakukan hanyalah mendengar. Suara hujan jauh. Suara langkah panik. Lalu suara laki-laki yang bernapas dengan terengah-engah, terburu-buru dan anehnya, familiar. “Dia masih hidup?!” suara itu terdengar hampir pecah, seperti seseorang baru saja melewati badai dan menemukan satu-satunya hal berharga di tengah reruntuhan. Nayaka tidak yakin tapi suara itu mengingatkannya pada seseorang. "Sa.. kit," gumamnya parau dan tidak jelas. Nayaka bisa merasakan jantungnya yang lemah berdetak sedikit lebih cepat. "Jangan takut. Kau akan selamat." Suara itu lagi. Pikirannya terlalu lemah untuk menggali ingatannya. Trauma kecelakaan masih terlalu lekat di otaknya. Meski begitu, ada rasa aman tipis yang muncul dalam benaknya. Mengetahui kalau dirinya masih hidup. Seseorang lain menanggapi, kali ini suaranya lebih tenang. “Napasnya lemah… tekanan darahnya turun. Kita harus cepat.” “Dia tidak akan mati. Lakukan segala cara untuk memberinya pertolongan pertama. Setidaknya dia harus stabil dulu.” Nada itu tegas, penuh keputusan. Ada bunyi gesekan kotak medis dibuka. Beberapa detik setelahnya, sesuatu menusuk lengan Nayaka. Itu jarum infus. Nayaka merasakan dadanya seakan lebih ringan. Napasnya lebih dalam. Lalu suara itu kembali muncul, lebih dekat dengan telinganya dan penuh rasa putus asa. “Aku akan membantumu dengan semua yang kau miliki. Aku akan berjuang di sampingmu dan tidak akan pernah meninggalkanmu lagi.” Air mata mengalir di pipi Nayaka meski matanya masih tertutup. Meski begitu, bibirnya sudah tidak bisa bergerak. # Di sisi lain, Dokter Leonardo Kurniawan Jie menahan gemetar di tangannya saat memasang oxygen mask darurat. Napasnya belum stabil sejak dia tiba di lokasi kecelakaan bersama-sama dengan ambulans yang dikemudikan oleh sahabat baiknya. Waktu. Dia sudah terlambat oleh cuaca, oleh takdir yang kembali ingin mempermainkannya. Namun saat dia melihat tubuh Nayaka tergeletak di pinggir jalan, masih bernapas… Leo merasa lututnya hampir menyerah. Rasa khawatir bercampur bahagia menyergapnya di waktu bersamaan. Setidaknya, Nayaka masih dan dia tidak terlambat karena dia tiba lebih dulu. Tuhan ternyata benar-benar memberinya waktu itu. Waktu tidak akan dia sia-siakan lagi. Orang yang membantunya, dokter Gio, sahabat satu-satunya yang bisa memahami betapa putus asanya Leo. Dokter Gio mendekat, mencoba memperingatkan Leo. “Kalau polisi datang duluan, kau tidak akan sempat menyelundupkannya. Leo, apa kau yakin mau mengambil risiko ini?” Leo mengangguk lurus, tanpa ragu. “Aku tidak akan membiarkan mereka membawanya ke rumah sakit yang dikuasai keluarga suaminya. Dia bisa mati. Atau lebih buruk dibanding mati. Mereka bisa melakukan apa pun untuk menyingkirkannya.” Dokter Gio terdiam. Ada sesuatu di tatapan Leo yang membuatnya berhenti bertanya. Persahabatan mereka sudah lama. Dia tahu hampir seluruh kisah hidup Leo dan ketika Leo memohon bantuannya seperti ini, dia jelas tidak bisa tinggal diam. Dia mempercayai Leo sepenuhnya bahkan meski itu akan mengancam profesinya saat ini. Leo menatap jenazah wanita lain yang memang sudah disiapkan oleh dokter Gio sebelumnya ketika Leo mengemukakan rencananya di telepon. Perempuan itu memiliki perawakan yang mirip Nayaka. Usianya tak jauh. Rambutnya juga sama. Dalam keadaan normal, gagasan ini gila. Tapi malam itu bukan malam normal. Dan Leo bukan manusia yang sama seperti sebelumnya. “Kita tukar tubuhnya,” kata Leo pelan. “Biar keluarga suaminya mengira Nayaka yang meninggal.” Dokter Gio menghela napas panjang. “Ini risiko besar…” “Tolong.” Mata Leo bergetar. “Seumur hidup, aku akan mengingat bantuanmu hari ini.” Akhirnya dokter Gio mengangguk. “Kita harus cepat.” Leo memapah tubuh Nayaka dibantu Dokter Gia menuju ambulans kecil yang mereka sembunyikan di balik deretan semak-semak daerah pinggir tol. Leo bekerja cepat, memeriksa pupil, menghentikan perdarahan internal, dan memastikan jalan napas aman. “Napasnya stabil,” kata dokter Gia. “Kita harus pergi sebelum orang lain melihat.” Leo mengangguk. “Terima kasih. Demi Tuhan, terima kasih banyak Gio.” “Tidak. Kau yang menyelamatkannya. Aku hanya mengikuti rencanamu dan juga, aku mempercayaimu.” Tidak ada waktu untuk membalas. Mereka membereskan jejak mereka dengan cepat. Pada akhirnya mmbulans itu melaju menembus hujan malam tanpa sirine. # Saat kesadaran Nayaka semakin pudar, ada genggaman hangat di tangannya. Sebuah suara yang entah kenapa membuat hatinya bergetar. “Nayaka, kumohon bertahanlah. Kau tidak ditakdirkan mati sekarang.” Lalu suara itu semakin jauh, seperti terserap ke dalam gelap. # Hari berganti. Namun terasa seperti hanya beberapa jam untuk Nayaka. Konsep waktu menjadi tidak jelas bagi Nayaka karena yang ada baginya hanya rasa sakit yang merayap dari wajah sampai ke tengkuk dan kemudian kepalanya terasa berat. Seperti ditimpa oleh sesuatu yang menekan tengkoraknya dari berbagai sisi. Setiap kali dia mencoba bergerak, tubuhnya mengirimkan sensai nyeri luar biasa yang tidak tertahankan. Lalu secara perlahan, kegelapan yang selama ini membungkusnya mulai surut. Cahaya tipis menembus kelopak matanya. Nayaka mengerang dalam diam. Dia tidak yakin apa yang dia lihat saat ini. Kelopak matanya membuka sedikit demi sedikit dan kembali menutup. Cahaya terlalu tajam untuk matanya. Langit-langit putih. Bau antiseptik. Selimut hangat. Monitor jantung berdetak pelan. Dia tidak bisa merasakan wajahnya. Sakit. Perih. Seperti wajahnya dibalut kawat berduri. Dengan susah payah dia memaksa tangannya bergerak pelan ke pipi. Perban. Lapisan tebal. Napasnya tercekat. Lalu ada sesuatu di tenggorokannya. "Sa..kit," keluhnya. Panik merayap di benak Nayaka. Tubuhnya gemetar. "Ssshh... Jangan takut. Semuanya baik-baik saja." Suara itu terdengar tenang. Dalam. Hangat. “Jangan bergerak dulu. Kau aman sekarang.” Jantung Nayaka berdegup keras. Dia mengenalnya. Dia sangat mengenalnya. Langkah kaki mendekat. Bayangan seseorang berdiri di dekatnya saat Nayaka kembali membuka mata. “Pembedahan sementara sudah selesai. Kau mengalami kecelakaan bulan lalu, tapi kondisimu stabil. Wajahmu..." Suara itu berhenti untuk sejenak. "Pokoknya yang terpenting adalah kau aman.” Nayaka ingin bicara. Dia mencoba. Yang keluar hanya suara serak tanpa bentuk. Pria itu menunduk lebih dekat. “Aku di sini.” Nada itu gemetar halus, namun tegas. Seperti seseorang yang takut kehilangan dan berusaha keras menyembunyikannya. “Aku dokter yang menangani operasi rekonstruksimu dan memastikan dokter terbaik menangani cederamu.” Dia berhenti sejenak. Menelan napas. Seolah menahan seluruh dunia dalam satu kalimat. Lalu dia kembali berbicara. “Setelah kau sembuh, aku akan membantumu.” Jantung Nayaka terhenti sesaat. Dunia terasa seperti memutar perlahan. Balas dendam? Bagi Nayaka, ucapan pria didepannya terdengar palsu dan memuakkan karena kalau ada orang yang ingin dia hancurkan, itu tidak hanya mantan suaminya atau keluarga mantan suaminya tapi juga orang yang saat ini berdiri di depannya, Dokter Leo Kurniawan Jie.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD