Bab 3. Wulan Ayu 1

1082 Words
# Aroma antiseptik memenuhi udara ketika cahaya matahari pagi merembes masuk melalui sela-sela tirai tipis ruang rawat intensif itu. Monitor detak jantung berdetak dengan ritme tenang, namun sunyi menggantung di sekeliling ruangan itu seolah waktu sendiri enggan bergerak. Dokter Leo berdiri tegak di sisi ranjang, kedua tangannya terulur dengan sarung tangan medis yang baru saja dia kenakan. Di depannya, seorang wanita terbaring tanpa bergerak, wajahnya tertutup perban hampir sepenuhnya kecuali area kecil di sekitar telinganya. Dua bulan. Selama dua bulan penuh wanita itu mengalami koma setelah operasi pertama yang diterimanya. Dua bulan Leo menunggu, berharap, menyesal. Perawat yang menemani Leo melirik catatan medis. “Kulit graft-nya sudah menyatu sempurna, Dok. Struktur wajahnya stabil. Mungkin masih butuh sedikit terapi laser untuk haluskan bekas luka, tapi hasilnya sangat baik. Bahkan lebih baik dari yang saya kira. Dia juga sudah pulih dari sisa-sisa cedera kecelakaan kecuali kakinya yang patah masih membutuhkan lebih banyak perhatian dari Dokter Gio nanti.” Leo tidak menjawab. Matanya dipenuhi sesuatu yang sulit dilukiskan, campuran lega dan duka yang bertumpuk dalam satu tarikan napas. Perawat itu memandang Leo dan menyadari perubahan ekspresi itu. “Dok, saya mungkin tidak tahu siapa wanita ini tapi yang pasti dia tampaknya sangat penting untuk Anda. Tolong jangan khawatir. Saya yakin dia akan segera sadar. Anda sudah merawatnya dengan baik,” hiburnya. Leo menelan ludah. “Seharusnya aku menunggu. Seharusnya aku tidak memaksakan operasi itu dilakukan saat kondisinya belum sepenuhnya pulih. Seharusnya dia tidak seperti ini.” Suaranya hampir pecah, lirih dan penuh penyesalan. Bagi Leo. Ini jelas salahnya karena dia kehidupan pertama, Nayaka tidak mengalami trauma. Perawat itu menepuk bahunya pelan. “Yang penting dia stabil. Anda sudah menyelamatkannya. Saya optimis dia akan bisa sadar sepenuhnya lagi. Anda juga seharusnya jangan bersikap pesimis seperti ini,” ujarnya memberi semangat. Perawat itu kemudian pergi, meninggalkan ruangan dengan kesunyian yang sama. Leo tetap terpaku, seperti tak sanggup memalingkan wajah. Mata Nayaka masih tertutup rapat. Tidak ada gelang identitas di pergelangan tangan Nayaka. Seolah dunia tidak diizinkan mengetahui siapa dia. Leo melepaskan perban terakhir dengan sentuhan selembut mungkin, seakan takut menyakiti orang yang sangat disayanginya itu. Di balik balutan itu, wajah baru itu muncul. Halus, muda, cantik, dengan garis-garis wajah yang berbeda dengan sebelumnya. Wajah yang dibentuk oleh Dokter Leo dengan penuh kehati-hatian. Leo kemudian meraih tangan Nayaka, dingin namun terasa hidup di bawah kulitnya. Meski begitu, Nayaka sangat kurus. “Bangunlah. Tolong bangunlah. Aku di sini,” bisiknya, suaranya hampir seperti doa. Jari-jari Leo menggenggam lebih erat, menyalurkan kehangatan. Dia kemudian menunduk sedikit, seolah dengan mendekat dia bisa memanggil jiwa Nayaka kembali. “Aku minta maaf,” katanya lagi. “Aku… aku hanya ingin memperbaiki semuanya. Seharusnya aku menunggu, Naya." Matanya memerah menahan tangis. Tiba-tiba, setitik air meluncur turun dari sudut mata Nayaka. Leo terperanjat. “Naya?” napasnya tercekat. Lengan Nayaka bergerak lemah, jari-jarinya yang kurus meraih lengan jas dokter Leo. Genggamannya tidak kuat, tetapi cukup untuk menggetarkan seluruh dunia Leo. “Astaga, Naya. Demi Tuhan!” Leo langsung menghapus air mata itu dengan telapak jarinya, lalu memukul tombol darurat. “Perawat! Siapapun! Tolong ke sini! Dia bangun!” Matanya tak pernah lepas dari wajah Nayaka, seolah takut kehilangan momen kecil itu jika dia berkedip. Hatinya berdegup liar, penuh harapan yang selama dua bulan ini tertehan di dalam dadanya. # Gelap. Hangat. Lalu dingin. Nayaka merasa dirinya seperti mengambang di tengah kabut gelap yang tak berujung. Lalu kabut itu terbelah. Dia melihat versi dirinya yang lebih muda, lebih polos, berada di suatu tempat. Udara sejuk pagi yang dingin menyentuh kulitnya. Dia mengenali tempat itu. Dia datang ke tempat itu saat study tour ketika dirinya masih duduk di bangku SMA. Dia melihat Leo muda berjalan diam-diam ke arah pohon besar, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya. Nayaka, dengan rasa penasaran khas remaja, mengikuti dari jauh. Ketika Leo meletakkan sesajen kecil di dekat akar pohon, Nayaka menyergapnya sambil tertawa. “Serius, Leo? Kamu percaya hal-hal begituan? Pohon besar yang dipercaya masyarakat sekitar bisa mengabulkan harapan kalau diberi nasi kuning, telur rebus dan bunga melati?” Leo tersenyum, pipinya memerah karena ketahuan. “Hanya iseng. Aku ingin meminta sesuatu khusus untuk hari ini karena ini hari ulang tahunmu.” Leo menatap Nayaka malu. Nayaka terkejut. “Kau ingat?” “Tentu.” “Terus, kau minta apa? Umur panjang untukku? Atau kebahagiaan?” Leo menggeleng pelan. “Tidak.” Nayaka tampak kecewa namun sebelum dia bereaksi, Leo melanjutkan dengan napas gemetar. “Aku minta, semoga kita selalu bersama. Menikah. Bahagia. Tidak terpisahkan. Aku adalah hadiah untukmu.” Nayaka tertawa malu. “Leo, itu masih sangat lama. Kau terdengar seperti orang tua.” Tapi Leo kemudian menatapnya dengan kesedihan yang tidak seharusnya dimiliki anak seusianya. “Aku sudah kehilangan banyak orang. Ayahku meninggal sebelum aku lahir. Ibuku waktu aku dilahirkan. Aku hanya punya dirimu sekarang.” Nayaka merasakan sesuatu menusuk dalam dadanya. Dia meraih tangan Leo. “Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku janji.” Mereka menautkan kelingking di bawah pohon besar itu, mengikat janji yang terasa kekal. Bayangan itu memudar, berganti gelap. Lalu muncul bayangan Leo dewasa dipukuli orang-orang suruhan keluarga Prawitasari. Darah mengalir dari pelipisnya. Nayaka berteriak, meronta, menangis minta mereka berhenti. Leo menatapnya, teguh. "Aku tidak akan berpisah dengan Naya." Bayangan itu pun menghilang, digantikan adegan yang jauh lebih tajam dan menyakitkan. Nayaka, berdiri tegak dengan mata basah, menatap Leo yang menangis di hadapannya. “Aku akan menikah dengan pria pilihan orang tuaku,” katanya waktu itu. “Tidak, kau tidak mencintainya Naya.” Leo memohon dengan suara pecah. Dengan hati yang hancur, Nayaka mendorong Leo. Dia pergi dan berbalik tanpa menoleh. Di dalam mobil, air matanya jatuh tanpa henti. Keputusannya menghancurkan mereka berdua. Gelap kembali datang. Lalu tiba-tiba, cahaya. # Nayaka membuka mata. Siluet pertama yang dia lihat adalah wajah seorang pria dengan mata sembab dan tatapan penuh luka sekaligus kerinduan. “Bagaimana keadaanmu? Ada yang sakit?” Suara pria itu terdengar patah, namun lembut. Nayaka mengerjap berkali-kali. Cahaya terasa menyilaukan, menusuk kepalanya. Dia menutup mata lagi. Leo buru-buru berdiri dan menutup tirai, membuat ruangan meredup. “Maaf, maaf, terlalu terang ya?” Perlahan Nayaka membuka mata lagi. Seluruh tubuhnya terasa ringan namun asing. “Ini di mana?” suaranya serak. “Kau siapa? Dan aku… siapa?” Leo membeku. Tatapannya membesar, seolah seluruh dunia runtuh di hadapannya. “Apa maksudmu? Kau tidak ingat siapa dirimu?” suaranya pecah, hampir tak terdengar. Namun Nayaka hanya menatap Leo dengan kebingungan. "Aku tidak ingat. Aku tidak ingat apa pun." Nayaka mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan takut dan bingung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD