#
Leo duduk di balik kemudi, sementara Wulan duduk di sampingnya, di kursi penumpang.
Dia tidak henti memperhatikan Leo, dan dia tahu kalau pria itu pasti merasakannya.
"Apa kau merasa tegang hanya karena kita akan melihat rumah baru? Bukankah seharusnya aku yang merasa begitu karena aku yang akan dibelikan rumah olehmu?" sindir Wulan dengan nada jenaka.
Leo tersenyum kaku.
"Ah, aku tidak merasa tegang. Sungguh. Hanya sedikit gugup karena aku tidak tahu apakah kau akan suka rumahnya atau tidak. Aku ingin rumah terbaik dan sesuai untuk kita berdua," ujar Leo.
Wulan kemudian meraih ponselnya.
"Apa aku seharusnya membantumu untuk mengecek beberapa agen properti dari internet?" Dia terlihat mengetik sesuatu di ponselnya.
"Jangan khawatir," cegah Leo.
"Aku sudah menghubungi seorang agen properti yang cukup dipercaya, dan sudah ada rumah yang bisa kita lihat sekarang. Aku sudah mengatur semuanya. Hanya saja aku tidak yakin apakah kau akan suka. Meski begitu, kalau yang ini tidak sesuai seleramu, agennya berjanji ada beberapa unit lagi yang bisa dia perlihatkan pada kita… euhm, terutama padamu," ucap Leo.
Wulan menyimpan ponselnya lagi.
"Ah, kau benar-benar efektif dan efisien," balas Wulan dengan senyum merekah. Meski begitu, jauh di dalam hatinya, Wulan sesungguhnya merasa tidak nyaman karena entah bagaimana Leo terlalu tahu caranya membuat keadaan menjadi terlalu 'nyaman', terutama untuk Wulan. Seakan semuanya sudah terencana lebih dulu.
Tidak butuh waktu lama sebelum mobil mereka akhirnya memasuki area sebuah perumahan dan berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar.
"Ini?" tanya Wulan tidak percaya. Dia mengira kalau mereka akan melihat rumah yang tidak seberapa besar, atau setidaknya jauh lebih kecil dibanding rumah yang ada di Malang dan Surabaya. Sebenarnya, berapa gaji seorang dokter ahli bedah plastik? Pertanyaan itu memenuhi benak Wulan.
Leo tersenyum.
"Iya. Ini yang paling disarankan. Kita bisa melihatnya dulu kalau itu cocok denganmu," jawab Leo ringan.
Seorang agen properti wanita dengan sigap langsung bergegas menyambut Wulan dan Leo.
"Tuan dan Nyonya Jie, saya sangat senang sekali bisa menunjukkan rumah ini pada Anda berdua. Anda terlihat seperti pasangan yang romantis dan sangat serasi," ucap agen tersebut.
"Sayang, ini Citra. Temanku banyak merekomendasikannya karena dia selalu menjual rumah yang bagus," ucap Leo pada Wulan.
Wulan mengangguk pelan, dan Citra langsung mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
"Saya Citra. Dokter Leo pernah membantu saya juga, dan hari ini saya senang bisa setidaknya membantu dokter Leo memilih rumah terbaik untuk Anda, istrinya. Omong-omong, Anda cantik sekali," ujar Citra jujur.
"Istriku selalu cantik sejak aku pertama kali mengenalnya," timpal Leo, yang disambut tawa oleh Citra.
Leo dan Citra terlihat sangat akrab hingga membuat Wulan tanpa sadar mengetatkan tangannya menggandeng lengan Leo sebelum mendadak tersadar serta bingung sendiri kenapa dia melakukan hal tersebut.
"Kami teman," bisik Leo pelan, cukup untuk didengar oleh Wulan. Seakan dia tahu apa yang saat ini tengah dirasakan oleh istrinya.
Mereka melangkah memasuki rumah tersebut dengan dipandu oleh Citra yang mulai menjelaskan seluk-beluk rumah tersebut.
"Rumah ini bergaya minimalis-modern, memiliki halaman yang cukup luas karena terletak di hook, yang menjadi kelebihannya saat ini," ucap Citra.
Wulan menoleh dan melihat bahwa apa yang dikatakan Citra memang benar. Halaman luas yang terlihat jelas dari jendela kaca membuatnya terpesona, meski dia bersikap seakan itu bukan apa-apa.
"Bagaimana dengan keamanan kompleks perumahan ini? Akses RS dan jaraknya dari tempat ini? Aku tidak ingin istriku kesulitan dengan semua itu kalau aku tidak ada," tanya Leo.
Wulan mengulum senyum. Dia jelas merasa senang karena ucapan Leo menunjukkan kepedulian itu.
Citra memberikan sebuah pamflet pada Leo dan menjelaskan.
"Perumahan ini dilengkapi akses CCTV dari pengelola, ada petugas keamanan seperti yang dokter temui di depan tadi, dan rumah sakit bisa ditempuh kurang lebih lima belas menit dari sini," jawab Citra.
Leo mengangguk puas. Dia kemudian beralih pada Wulan.
"Bagaimana menurutmu?"
"Apa kau perlu pendapatku? Kau bisa memutuskannya sendiri untuk hal seperti itu," jawab Wulan.
Leo terdiam. Tatapannya menunjukkan dia sedikit terluka dengan jawaban Wulan, meski dia kemudian tersenyum dan mengangguk, seakan itu bukan masalah besar.
Wulan refleks merasa bersalah. Sejujurnya, dia sedikit sibuk dengan pemikirannya sendiri sehingga tidak memperhatikan sejenak percakapan Leo dan Citra hingga berakhir, dan dia kaget saat ditanya oleh Leo tiba-tiba. Jawaban itu adalah jawaban yang terlontar otomatis.
Perlahan Wulan hendak menarik tangannya, tapi Leo malah menggenggam jemarinya.
Mereka berpandangan selama beberapa saat hingga ucapan Citra mengagetkan keduanya.
"Nanti ruang keluarga akan dibuat seperti apa? Kami bisa mengubah templatenya sesuai dengan request pembeli. Lebih hangat atau minimalis?" tanya Citra begitu mereka memasuki ruang keluarga yang masih terlihat kosong.
"Hangat, Wulan cepat kedinginan," jawab Leo cepat.
Baik Wulan dan Citra tampak mengulum senyum saat itu, dan Leo dengan cepat menyadari kesalahannya.
"Dokter, maksud saya penataan atau temanya. Bukan udaranya," ucap Citra.
Leo menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Ah, aku lupa ini Jakarta, bukan Malang," Leo tertawa kikuk.
Wulan ikut tertawa, meski begitu dia tidak menyangka kalau Leo benar-benar ingat bahwa dia tidak suka dengan segala hal yang dingin. Bahkan untuk minuman dan makanan, dia selalu memilih sesuatu yang hangat.
Leo melirik Wulan dengan tatapan hangat, merasa senang suasana di antara mereka yang sempat canggung karena kesalahpahaman yang tidak disengaja.
"Aku akan memberikan form untuk diisi mengenai dekorasi tambahan atau tone warna yang diinginkan untuk ruangan tertentu pada Anda ber..."
"Aku mengurus pembayaran, dan istriku yang akan mengurus hal lainnya karena rumah ini untuknya," potong Leo cepat.
Kali ini Wulan melirik Leo. Meski begitu, dia tidak mengatakan apa-apa, tanda kalau dia tidak mempermasalahkannya.
Citra memberikan form tersebut pada Wulan.
"Jadi, apa kita akan lanjut ke ruangan selanjutnya?"
"Aku ingin melihat kamar tidur," jawab Leo.
"Dapur," ucap Wulan hampir bersamaan.
Keduanya bertukar pandang sejenak sebelum kembali berbicara.
"Kamar tidur saja," lanjut Wulan.
"Mulai dari dapur," ucap Leo hampir bersamaan.
Citra tertawa.
"Astaga, Anda berdua benar-benar pasangan yang serasi," godanya.
"Leo senang memasak," balas Wulan.
"Wulan senang tidur," ujar Leo di waktu yang hampir bersamaan lagi dengan Wulan.
"Hei," protes Wulan. Dia memang banyak tidur setelah mengalami kecelakaan dan selama pemulihan, namun bukan berarti itu hobinya.
"Baiklah, karena Anda berdua sepertinya sulit untuk memutuskan, jadi saya akan menyarankan kita untuk melihat taman samping dulu dan kemudian ke dapur sebelum berakhir di kamar tidur, bagaimana?" Citra mencoba memberi usul untuk meredakan perbedaan pendapat di antara kedua suami istri tersebut.
"Aku setuju denganmu," jawab Wulan cepat.
"Orang bijak berkata, kalau wanita sudah memutuskan, pria hanya bisa pasrah," ujar Leo, yang disambut tawa Wulan dan Citra.