Bab 11. Tetap Mencintaimu

1098 Words
# Mereka berakhir melihat beberapa rumah lagi bersama Citra dan tanpa terasa waktu berjalan dengan begitu cepat. Mobil meluncur pelan di jalan raya sore itu, lampu kota memantul di kaca. Sementara itu Wulan menatap ke luar jendela, jarinya mengetuk-ngetuk bingkai pintu, tapi pikirannya terus tertuju pada banyak hal, tidak hanya pada rumah yang baru saja mereka lihat. "Hem, semu rumah yang kita lihat hari ini memiliki satu kesamaan. Halaman luas, desain minimalis-modern," ujar Wulan. Leo tetap fokus pada jalan, satu tangan memegang kemudi, sesekali menoleh untuk memastikan Wulan nyaman. “Hem, itu benar. Jadi bagaimana menurutmu rumah-rumah tadi? Ada yang menarik perhatianmu?” tanyanya dengan nada suara rendah namun hangat. Wulan menoleh sebentar, lalu menatap jalan lagi. “Semuanya terlihat bagus dan Citra juga agen perumahan yang profesional serta menyenangkan, tapi… entahlah. Apa kau tidak merasa semua rumah itu terlalu besar? Hanya kita berdua yang akan tinggal di sana dan aku sendiri tidak yakin kalau kau akan sering pulang. Di Malang dan Surabaya, kau lebih sering meninggalkanku sendirian di rumah. Bayangkan aku tinggal seorang diri di rumah sebesar itu,” ujar Wulan terus terang. Leo tersenyum tipis, dia menatap Wulan dengan tatapan lembut. “Aku janji kalau aku akan sering pulang kali ini. Klinik yang ada di Jakarta berbeda dengan di Surabaya. Ini klikik pusat. Apa kau masih merasa itu terlalu besar untuk kita?” Wulan menunduk, menatap pangkuannya. “Ya, karena hanya kita yang akan tinggal di sana. Kau tidak perlu menghabiskan uang sebanyak itu untuk rumah besar yang hanya akan ditinggali dua orang, itu pemborosan,” ujar Wulan. Leo menoleh, senyumnya tetap hangat. “Aku mengerti. Tidak apa-apa kalau kau berpikir begitu, Wulan. Aku hanya ingin kau merasa nyaman, bukan terpaksa. Namun kau tidak perlu merasa khawatir tentang itu, karena Derry akan tinggal di sana. Pembantu yang dulu bekerja di rumah almarhum Kakek dan Nenekku juga ingin bekerja lagi, jadi aku berpikir mengambil rumah besar akan lebih praktis karena mereka akan bisa membantumu dengan pekerjaan rumah tangga sekaligus menemanimu kalau aku kebetulan terlalu sibuk dengan pekerjaan,” balas Leo tenang. Wulan menatap Leo sekilas, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam ketenangan Leo yang membuatnya merasa waspada tapi juga penasaran. “Kau mengejutkanku. Aku tidak bisa menebak apa yang kau pikirkan.” Leo menepuk dasbor ringan. “Mungkin karena aku adalah tipe suami hebat yang tahu persis bagaimana caranya meratukan istri,” balas Leo dengan percaya diri. Wulan hampir tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Ke mana pria pemalu yang dulu dikenalnya? Apakah Leo memang sudah berubah sejauh ini di kehidupannya yang pertama dan dia hanya tidak mengetahuinya atau memang Leo di kehidupan kedua ini memang berbeda? “Aku tidak percaya kau memuji dirimu sendiri dengan percaya diri,” ejek Wulan. Leo tertawa “Kau tidak harus percaya. Cukup biarkan perasaanmu menentukan sendiri dan lihat apakah aku benar-benar memenuhi kriteria suami terbaik atau tidak.” Wulan tersenyum samar, menahan rasa geli yang muncul tanpa ia sadari. “Kadang aku ingin menguji kesabaranmu,” bisiknya, hampir seperti bercanda. Leo menoleh, senyumnya mengembang tipis. “Aku siap diuji kalau begitu,” tantang Leo Wulan menatapnya diam, lalu menggigit bibir bawah. “Menguji berarti aku seharusnya bisa membuatmu merasa sedikit frustasi sesekali ya?” Leo tertawa pelan, suaranya tetap hangat. “Aku akan menikmati setiap ujiannya. Karena kau yang memutuskan cara menguji, bukan aku.” Wulan mengangkat bahu, dia memalingkan wajah sambil mengulum senyum. Dia merasa aneh. Seperti ada perasaan lama yang bangkit dan membuatnya teringat semua hal-hal manis di masa ketika mereka masih sangat muda. Meski begitu dia tidak bisa mempercayai Leo begitu saja, meski Leo yang sekarang ada bersamanya terlihat jauh berbeda. Dia tidak ingin terluka lagi. Leo menepuk lembut tangannya yang terletak di dasbor. “Tidak perlu terburu-buru percaya padaku. Biarkan perasaan itu muncul perlahan, dan lihat apakah kita bisa berjalan bersama. Ingatanmu mungkin hilang tapi aku yakin perasaanmu padaku tidak pernah hilang. Begitu juga aku. Aku tetap masih mencintaimu,” ujar Leo memastikan. Wulan diam sejenak, hatinya bergetar. “Aku kadang heran denganmu.” Leo menoleh. “Heran kenapa?” Wulan menelan ludah, sedikit terdiam. “Bagaimana kau bisa begitu sabar denganku beberapa tahun terakhir ini. Aku merasa kau menjaga jarak denganku tapi juga tetap menjaga dan memperhatikanku. Laki-laki biasanya tidak melakukan hal seperti itu tanpa niat tertentu,” jawab Wulan. Leo menepuk dasbor lagi. “Aku mengerti kau mungkin meragukanku karena aku orang asing untukmu setelah kau kehilangan ingatanmu. Tapi aku suamimu. Aku melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang suami untuk istrinya.” Dalam hati Wulan mencibir ucapan Leo. Jelas-jelas mereka bukan suami istri sejak awal. Status, pernikahan, dan bahkan mungkin semua yang Leo tunjukkan padanya saat ini adalah palsu. Wulan menunduk, tersenyum samar, tangannya bermain dengan tali tas. “Baiklah.” Wulan menjawab singkat. Leo tertawa renyah. "Kau menggemaskan," ucap Leo. "Aku percaya kalau aku mungkin menggemaskan untukmu mengingat kau sudah menghabiskan banyak uang untukku jadi aku terima pujiannya," balas Wulan. Leo tertawa renyah. "Lihat, kau juga bisa memuji dirimu sendiri," goda Leo. "Aku belajar darimu. Setidaknya aku harus menjadi wanita yang percaya diri kalau suamiku adalah orang yang punya rasa percaya diri tinggi," ucap Wulan tidak mau kalah. Leo mengangguk menyetujui. "Baik-baik, aku setuju. Kau memang harus seperti itu. Aku suka istriku yang percaya diri dan tahu kalau dirinya memiliki sangat banyak kelebihan yang harusnya membuatnya merasa sangat berharga. Karena itu kenyataannya. Kau berharga untukku dan untuk dirimu sendiri," ucap Leo dengan tatapan menerawang. Wulan terdiam mendengar ucapan Leo, mengigat masa lalu ketika dia selalu merasa kalau dirinya tidak berharga karena terus menerus ditekan dan direndahkan oleh orang-orang di sekelilingnya. Ironisnya, salah satu yang dulu juga merendahkan dirinya adalah Leo. Dia tidak bisa lupa bagaimana Leo menatapnya jijik di kehidupan pertamanya saat dia akhirnya memperoleh sedikit keberanian untuk menunjukkan wajahnya pada pria itu. "Leo," panggil Wulan akhirnya. "Ya?" "Jika suatu hari aku mengalami kecelakaan besar hingga membuat wajahku rusak parah dan bahkan kau sendiri, meski kau adalah dokter bedah plastik terbaik di dunia tidak bia memperbaikinya. Apa kau akan tetap bersikap seperti ini kepadaku?" Sebuah pertanyaan tiba-tiba dari Wulan. Raut wajah Leo tampak mengeras mendengar ucapan Wulan. Dia menepikan mobilnya secara tiba-tiba dan terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya menatap Wulan dengan mata yang berkaca-kaca. Wulan mengerutkan dahinya tidak mengerti kenapa justru Leo yang tampak terluka dengan pertanyaan yang dia lontarkan. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" Leo balik bertanya. Wulan mengangkat bahu. "Hanya penasaran." Leo keluar dari mobil dan berjalan memutar ke sisi Wulan kemudian membuka pintu mobil dan merengkuh tubuh Wulan ke pelukannya saat Wulan baru akan keluar. "Aku mencintaimu. Seperti apa pun penampilanmu. Aku mencintaimu." Nada suaranya gemetar saat berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD