Prolog

842 Words
“Kamu berusaha keras untuk menggodaku ya,” ucap Devon dengan tatapan mencela. Tatapan itu sangat menusuk hati. Namun, Davina menolak kalah. Sekuat tenaga ia berdiri tegak dan tak gentar. “Menggodamu? Yang benar saja,” ujarnya sambil tertawa pelan. Davina melangkah santai menuju tempat tidur, lalu duduk sambil menyilangkan kaki. Sekilas ia dapat melihat mata pria itu berkabut menatap kaki jenjangnya. Ternyata keputusan untuk mengenakan lingerie transparan ini benar-benar tidak salah. Ia tidak akan kalah dari Devon Mahawira. Salah besar jika pria ini meremehkannya. Devon melepas jas, lalu disusul dengan kancing kemeja putihnya satu per satu. Davina dapat melihat jelas bahwa pria itu berusaha keras untuk tidak menatap ke arahnya. “Tapi suka atau tidak, kamu harus menerima kenyataan bahwa mulai sekarang kita akan terus bersama-sama,” ujar Davina lagi. Devon langsung menatapnya dan tersenyum sinis. “Terus bersama-sama?” ulangnya sambil mendengus. “Akan kupastikan mulai malam ini kita akan tidur di tempat terpisah.” “Oke, silakan saja tidur di lantai kalau begitu,” ujar Davina seraya menunjuk lantai di dekat kakinya. “Bukan aku, tapi kamu.” Devon melepas celana, menyisakan celana boxer yang membuat Davina sesaat merasa malu karena melihatnya, kemudian melepas kemeja putihnya. “Aku tidak akan tidur di lantai,” jawab Davina. “Kalau begitu silakan tidur di tempat lain. Di sini ada satu kamar lain yang kosong atau sofa panjang di ruang tamu yang bebas untuk kamu jadikan tempat tidur,” ujar pria itu seraya melangkah mendekati Davina. “Aku akan tetap tidur di sini,” ujar Davina tegas. “Ini kamarku.” Devon kini menatapnya kesal. “Kamar pengantin kita, kalau-kalau kamu lupa,” koreksi Davina. “Resepsi kita telah selesai satu jam yang lalu, jadi berhenti mengekoriku seolah-olah kita adalah pasangan yang paling bahagia,” ujar Devon. “Aku tidak mengekorimu. Tidur di kamar suami adalah hak seorang istri.” “Aku berhak mengusirmu, little girl,” desis Devon. “Dan aku juga berhak menolak, husband,” balas Davina. Keduanya saling tatap dalam jarak kurang dari satu meter. Davina berusaha duduk santai di tepi tempat tidur, meski ada Devon dengan tubuh polos dan celana boxer di hadapannya. Sialan. Kini Davina merasa sama persis dengan perempuan-perempuan pemuja Devon. Ia mulai gelisah melihat pria itu melepas pakaian. Bohong jika ia mengaku sama sekali tidak tertarik menyentuh d**a pria itu. “Oke, jika itu maumu,” ujar Devon yang akhirnya memutus aksi tatap-tatapan mereka. “Karena kamu sudah berusaha keras menggodaku, akan kuberikan apa yang kamu mau.” Davina terkejut ketika Devon tiba-tiba bergerak maju dan mendorong tubuhnya hingga jatuh ke kasur. Demi menutupi rasa kagetnya, Davina seketika tertawa. Devon menautkan alis ketika Davina melingkarkan kedua lengannya ke leher pria itu. “Oke, coba lihat sekarang, siapa yang pada akhirnya merasa tidak tahan,” ujar Davina. Devon tersenyum miring di atasnya. “Aku hanya memberikan apa yang kamu inginkan karena kamu sudah bersusah payah untuk menggodaku. Pada akhirnya memang akan begini, tak ada perempuan yang tidak menginginkanku.” Davina hendak mencibir ketika tanpa aba-aba Devon langsung menyatukan bibir mereka. Davina terkesiap, namun Devon tidak memberinya ruang untuk menolak. Ciumannya benar-benar ahli. Devon benar-benar player handal. Sentuhan pria itu membuat Davina terbuai selama beberapa sesaat. “Lihat siapa yang sekarang benar-benar menikmatinya.” Devon melepas tautan bibir mereka dan menatap Davina dengan mata berkabut. Davina tersenyum. Ia tidak akan kalah. Tidak semudah itu membuatnya kalah. Ia lalu balas menelusuri tangannya ke d**a Devon. Pria itu memejamkan mata selama beberapa saat, kemudian terdengar geraman pelan dari tenggorokannya saat Davina menyentuhnya di sana. Hingga akhirnya saat ia mulai terlena, Davina mendorong d**a pria itu hingga posisi mereka kini berbalik. Devon menatap perempuan yang sejak beberapa jam lalu telah sah menjadi istrinya itu dengan rasa kaget sekaligus takjub. Davina memulai pembalasannya untuk menggoda Devon, dan pria itu pun masuk ke dalam perangkapnya. Mata Devon semakin berkabut. Pria itu mengulurkan tangan untuk menyentuh Davina, namun dengan cepat perempuan itu mencegahnya. “Belum saatnya, Sayang.” Davina tersenyum. Ia lalu kembali menggoda Devon. Napas pria itu semakin memburu, membuat Davina tersenyum senang. Ia terus bergerak turun untuk melancarkan aksinya. Suaminya itu kini menatapnya dengan mata yang Davina pahami hanya akan memikirkan satu hal saja. Davina tersenyum sambil menyelipkan jemari di pinggiran boxer Devon. Sejujurnya ia cukup terkejut dengan apa yang dilihatnya. Ia melakukan ini hanya untuk membalas Devon. Ia tidak punya pengalaman apa pun. Namun, Davina berusaha sebaik mungkin untuk bersikap tenang. Kepalanya kemudian merunduk, sementara tangannya menyambut Devon dan mulai memanjakannya sesuai dengan yang diinginkan pria itu. Davina bermain-main selama beberapa saat. Hingga saat Devon mulai berada dalam kenikmatan, perempuan itu tiba-tiba langsung melepaskan diri. Ia langsung berdiri, lalu merapikan kembali pakaiannya. Davina tersenyum pada Devon yang kini menatapnya bingung. “Aku berubah pikiran,” ujarnya sambil menyeka sudut bibir. “Aku akan tidur di kamar lain saja. Sampai jumpa besok pagi, suami,” ujarnya seraya berbalik dan melangkah ke arah pintu. “Davinaaa!!!” pekik Devon di belakangnya. Kepalanya berdenyut sakit. Sambil tersenyum senang, Davina segera melangkah cepat untuk kabur sebelum Devon berdiri dan mengejarnya. *** Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD