Bab 1-Morning, Husband!

791 Words
Pagi harinya, ketika Davina tengah sibuk berkutat di dapur, Devon muncul dengan wajah masam. Pasti gara-gara kejadian semalam, tebaknya. Kabarnya, blue balls benar-benar sangat menyakitkan. Laki-laki bisa senewen seharian jika hasratnya tidak tersalurkan. Tapi salah Devon sendiri karena sudah memulai semua ini. Jika pria itu bisa sedikit lebih baik dan tidak selalu sinis menatapnya, mungkin Davina juga tidak akan bersikap seperti itu padanya. Jangan bermimpi terlalu tinggi. Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu. Camkan itu, Davina. Kata-kata Devon waktu itu kembali terngiang di telinganya. Sedikit rasa nyeri menelusup di d**a Davina, namun ia berusaha menepisnya. Rencana balas dendamnya masih banyak, jadi ia tidak perlu mengingat-ingat kembali hal menyakitkan itu. Davina menoleh dan tersenyum ke arah suaminya yang mendekat. “Selamat pagi, suami. Tidur yang nyenyak?” Wajah tampan Devon memberengut seraya meraih gelas dan membuka lemari es. Ia menuang air dingin dan meminumnya. Aku menikah dengamu karena ingin mempertahankan perusahaan keluarga. Seharusnya begitu pula denganmu. Kita berdua adalah fondasi paling kokoh dalam merger dua perusahaan. Jadi jangan berharap terlalu tinggi bahwa aku akan menjadi suami yang baik untukmu. Tidak akan pernah ada cinta di sini. Saat itu, harapan Davina yang selama ini berpikir akan mendapat pernikahan yang indah seketika hancur berantakan. Namun, ia tidak akan kalah begitu saja. Devon salah jika mengaggap Davina sebagai perempuan manja yang cengeng. Jika Devon dengan berani mendeklarasikan permusuhan, maka Davina tidak akan tinggal diam. Akan ia pastikan hidup Devon tidak akan tenang. Hingga akhirnya pria itu bertekuk lutut dan menelan kembali semua ucapannya. Akan ia pastikan bahwa suatu hari nanti Devon akan menyatakan jatuh cinta padanya. Dan ketika saat itu tiba, ia hanya tinggal menghancurkan perasaan pria itu sebagai balasan. Davina menggeleng ketika emosi tersebut kembali naik di dadanya. Memikirkan rasa sakit dari ucapan Devon saat itu pada pagi hari seperti ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Ia lalu menuang scrumble egg ke dalam piring, kemudian menata dua buah sosis yang sebelumnya telah ia panggang, serta beberapa tomat ceri ke dalam piring yang sama. Ia lalu menghidangkannya ke hadapan Devon yang kini duduk di meja konter masih dengan wajah masam. “Sarapan spesial untuk suamiku,” ujar Davina dengan senyum manis. Devon mendengus. Davina hanya tersenyum, lalu menuang dua gelas jus jeruk. Ia kemudian berbalik untuk mengambil sarapannya sendiri. Piring sarapannya berisi potongan buah kiwi, naga, dan apel. Davina kembali melangkah mendekati Devon dan duduk di sebelah pria itu. Penthouse yang mereka tempati ini adalah milik Devon. Dan seperti kepribadiannya yang tak ramah, tidak ada asisten rumah tangga yang menetap di sini. Hanya akan ada petugas yang membersihkan tempat ini tiga kali seminggu dan mengisi beberapa bahan makanan di lemari es. Keputusan untuk tinggal bersama Devon di sini membuat Davina bagai menyerahkan diri ke istana monster. Padahal orangtua Davina dan orangtua Devon sudah mempersiapkan sebuah rumah untuk mereka tempati sebagai hadiah pernikahan. Namun bagi Davina, mengikuti kemauan Devon untuk tetap tinggal di sini adalah salah satu strategi perang yang ia lakukan untuk membuat pria itu bertekuk lutut. “Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Davina seraya menusuk potongan buah yang menjadi sarapannya dengan garpu. Devon seketika menoleh dan menatapnya tajam. “Kamu sengaja ingin memancing amarahku?” “Ouch... Ada apa denganmu?” tanya Davina dengan wajah tanpa dosa. “Aku kan hanya bertanya. Jangan bertingkah seperti hewan buas yang teluka seperti ini, dong.” Devon berdiri, lalu mengurung Davina dengan kedua kedua lengannya yang menumpu pada tepian meja bar. Perempuan itu kini tidak bisa menghindar darinya. “Asal kau tahu, aku bisa saja mengejar dan memperkosamu semalam,” desis Devon sambil menatap Davina tajam. “Aku tahu,” ujar Davina dengan dagu terangkat. Devon kagum karena istrinya ini tampak sangat berani. Tak terlihat takut sedikit pun padanya. “Tapi aku juga tahu bahwa kamu adalah pria terhormat yang tidak akan melakukan hal serendah itu,” sambung Davina. “Oh ya?” Devon merunduk hingga wajah mereka sangat dekat. Tangannya menelusuri paha Davina dari balik jubah tidur wanita itu. “Lihat sekarang, siapa yang memulai lebih dulu,” ujar Davina dengan tubuh menegang waspada. Sementara di sisi lainnya, tangan Devon terus bergerak ke atas untuk mengusap pahanya. Membuat Davina mati-matian berusaha tetap tenang. Pria ini benar-benar sudah sangat mahir menggoda wanita, karena itu Davina harus bisa melawannya. Devon pun tersenyum, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Davina. “Jangan memancingku lagi. Aku tidak akan menjamin keselamatanmu untuk kali berikutnya.” Davina membuka mulut untuk membalas, namun Devon sudah menjauhkan tubuh mereka. Pria itu seketika berbalik dan melangkah keluar dari area dapur. “Pesawat kita jam sepuluh. Jangan lupakan itu, suami,” ujar Davina dengan suara lantang, meski tubuhnya sedikit gemetar akibat perlakuan Devon tadi. Untuk sesaat ia sempat berpikir bahwa suaminya itu akan menariknya berlutut ke lantai untuk menuntaskan apa yang ia mulai semalam. Pria itu memang benar-benar mampu mengintimidasi. Davina pikir ia sudah cukup mahir mengendalikan situasi. Namun, sepertinya ia sudah salah duga. *** Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD