bc

Trapped by Mr. Right

book_age18+
3.6K
FOLLOW
51.6K
READ
HE
boss
bxg
kicking
genius
office/work place
cheating
tricky
substitute
like
intro-logo
Blurb

Langit Tri Semesta, harusnya sudah punya anak dua, andai tiap bercinta bukan hanya dengan berkas kerjaannya saja. Alhasil, hartanyalah yang berkembang biak, CV. Semesta Media buktinya.

28 tahun, Langit mulai ditagih wanita, cemas belok orientasi seksualnya, Langit pun menyetujui saran papinya untuk taaruf dengan Nadila; putri sulung dari pegawai setia papinya.

Sosok yang Langit telurusi segala tentangnya, semua jejak media mudah Langit dapatkan hanya dengan duduk di depan komputer saja.

Perempuan itu adalah seorang kakak dari adiknya yang bernama Kalia Locita, orang yang duduk di depan Langit saat ini. Kalia.

Oh. Lantas, sampai mana Langit betah mengikuti alur mereka? Dengan pura-pura tidak tahu dan apa tujuannya? Paling penting, adakah perempuan yang bisa menjungkir-balikkan hidup Langit? Mungkin, salah satu dari mereka?

***

[LANGIT & KALIA, 88 PART TAMAT]

chap-preview
Free preview
1. Menjadi Nadila
"Tiket konser, lho, Mbak. Janji." Yang dia julurkan jari kelingkingnya. Sedang yang lain tersenyum. "Sip, bisa diatur." Lalu dikaitkan pula jari kelingking mbaknya pada kelingking yang sudah lebih dulu mengacung, kelingking miliknya. "Tapi kamu harus totalitas bantu Mbaknya, ya. Semaksimal mungkin bikin dia ilfeel sama kamu." "Asal janji Mbak terpenuhi, aku oke." "Cuma tiket konser aja, kan? Gampang. Kamu tinggal ikut war tiketnya, terus lapor biayanya ke Mbak. Beres!" "Deal!" Sekali lagi, dan kali ini, Kalia Locita menjulurkan tangannya. Lima jari, lekas dijabat pula oleh sang kakak. Demi bisa menonton idol K-POP kegemarannya yang kerap Kalia sebut sebagai suami sejuta umat, akan datang ke Jakarta. "Sip. Sekarang gladi resik dulu. Besok mau gimana pas ketemu doi?" "Dandanin aku semenor mungkin, Mbak. Biasanya cowok nggak suka sama perempuan dempul tebal, kan?" "Selain itu?" Nadila, kakak sulung yang menolak keras perjodohan--eh, bukan--ini bukan kisah yang bermula dari kasus perjodohan, melainkan taaruf bersyarat. Ehm. Yakni: Nadila minta pertemuan pertamanya itu secara personal dulu, face to face, antara kamu dan aku istilahnya, tanpa siapa-siapa selain "kita", termasuk keluarga. Dan, ya, nggak salah ... Nadila memanfaatkan adiknya. Tentu, semua itu Nadila lakukan bukan semata karena tak mau menikah, justru karena dia ingin sekali menikah--dengan kekasih--maka dia menolak gagasan taaruf versi keluarganya ini. Mau dibilang .... "Anak bosnya Ibu, lho, itu. Ganteng, iya. Jenius pula. Pas kecilnya aja pandai investasi dia." Nadila cuma senyum, sedang Kalia sibuk memakan sarapannya sebelum berangkat kuliah. Ah, iya! Nadila dan Kalia tak jauh beda usianya, tetapi tentu sebagai anak pertama maka Nadila yang dipinta oleh bos ibu. Konon, entah sebetulnya ibu yang mempromosikan atau justru menyodor-nyodorkan putrinya agar dapat mantu anak bos. Ibu sampai lupa kalau hati Nadila sudah ada pemiliknya. Tak pula memilih Kalia karena katanya si bungsu masih bayi walau sudah semester 6 kuliahnya. "Mungkin aku nanti ngupil di depan dia pas lagi makan, Mbak. Apa aja, deh, meski itu jorok asal dia ilfeel dan nggak minat sama Mbak, biar cepet selesai. Tapi bener, ya, Mbak, tiket konser aku." Soalnya ibu dan ayah melarang keras hubungan sepihak Kalia terhadap 9 pangeran halunya itu. Katanya, rugi! Buang-buang uang dan energi, padahal menurut Kalia justru energinya semakin membara jika dia habiskan waktu dengan fangirling. Tak menampik jika itu soal uang, memang keluar banyak. Kamar Kalia penuh dengan koleksi oppa-oppa. "Ya udah, Mbak percayakan ke kamu. Intinya, buat dia seenggan mungkin sama kamu. Oke?" Dengan demikian, taaruf itu tak akan berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Kalia acungkan jempolnya. Oke, sip. Dia anak bungsu. *** "Langit." To the point masnya, Kalia menilai, menatap sosok yang lima belas menit datang lebih awal daripada dirinya. Sengaja! Please banget dicatat, ya, itu trik Kalia agar penilaian atas dirinya langsung minus di mata pria itu. Ugh. Ngeri. Pandangan Kalia jatuh ke kemeja biru Mas Langit yang tampak lelah membungkus ketat isi di dalamnya. Perawakan masnya agak beda dari pria-pria Indo kebanyakan. Ini, sih, kembaran Om Dedi yang kerap Kalia tonton podcast-nya. Eh, tidak. Salah. Mas Langit tidak semenonjol itu juga ototnya. Cuma, ya, kelihatan ngeri saja di mata Kalia yang terbiasa melihat ukuran tubuh mahasiswa di kampusnya. Kemeja yang mahasiswa pakai nggak sesesak Mas Langit walau dari kelihatannya, juga para suami halunya yang belum punya otot sekokoh gerangan. Oke, cukupkan! "Nadila." Pertama-tama, kenalan. Kalia senyum. Sedang di depannya, Mas Langit tampak menaikkan alis. Namun, manggut-manggut berikutnya. Next. "Saya dua puluh delapan tahun." "Dua puluh empat," jawab Kalia cepat, kakaknya umur segitu. Beda tiga tahun dengannya. Tak begitu jauh, kan, jaraknya? Mas Langit kembali mengangguk. "Kuliah? Kerja?" "Kerja." Dari detik itu, Kalia mulai menggali emas di hidungnya. Bodoh amat! Memang begini, kok, konsepnya. Kemudian Kalia tiup-tiup jemari yang tak ada bongkahan emas murni dari hasil galiannya tadi, toh memang cuma akting acara ngupilnya. "Masnya? Kerja juga?" "Iya." Yang Kalia tengok bagaimana raut dari sosoknya selepas melihat aksi anarkis super iyuh dari dirinya. "Di mana?" Sayang, Mas Langit tampak datar-datar saja. Itu sebenarnya ekspresi jijik, kan, ya? Atau belum berefek? Kalia berpikir keras untuk aksi berikutnya. "Kamu?" Malah balik tanya. Kalia jawab seadanya bahwa, "Aku kerja di Kafe Universe, tau?" Kayaknya nggak. Masnya diam saja. Kalia pun lanjutkan. "Ahli biji kopi," katanya. Mas Langit akhirnya manggut-manggut lagi. "Cabang mana?" Oke, sekarang segelas americano di meja tak dianggurkan. Akhirnya dicipok juga pinggiran gelas cantik itu oleh bibir Mas Langit, lalu cairan kafein dalam gelasnya disesap penuh penghayatan, pasti setelahnya cairan itu bercinta dengan lidah gerangan. Kalia ambil tisu. Kok, gerah?! Eh, Mbak Nadila kerjanya di cabang Universe mana, ya? Bentar, senggaknya, jawab ngasal pun tak akan bermasalah selagi berlogika. "Cabang pusat, Mas." Terlihat Mas Langit meletakkan gelas kafeinnya dengan elegan. Terpampang jelas bagaimana sesaknya kemeja itu membungkus tubuh beliau. Kalia pun menyengaja lancang menatap penuh terang-terangan di beberapa tubuh Mas Langit yang memang mengundang zina mata. "Kalau Mas? Kerja apa? Di mana?" Rasanya soal itu belum terjawab, kini mata mereka bersua, Kalia kikuk tiba-tiba. Aduh! Bagaimanapun juga yang duduk di depannya ini adalah orang tua! Sopan sedikit, Kal, sopan! Eh, tetapi kalau dengan minim kesopanan dan aksi Kalia sukses, kenapa harus sopan, kan? "Saya apa saja dikerjakan. Hm ... bantu memasarkan produk, menyumbang ide, kadang ke sana kemari juga, nggak tentu." "Oh, serabutan?" Kalia naikkan dagu, pongah. Sengaja! Biar Mas Langit merasa direndahkan. Ternyata pekerjaannya serabutan. Ya ampun, berarti pakaian, jam tangan, dan sepatu yang tampak mahal itu dapat rampok uang orang tua. Kata ibu yang sedikitnya Kalia dengar, calon taaruf kakaknya ini memang anak bos. Ya, tapi yang orang tuanya sukses, kaya, belum tentu menular ke anaknya juga, kan? Yang sugih itu bapaknya, to? Bukan anaknya. Kira-kira seperti itu logikanya. Oke, Kalia manggut-manggut. Langit senyum. Masya Allah! Ganteng ternyata. Eh? Kalia basahi bibir. Tak meralat bahwa lelaki yang merupakan anak bos ini memang tampan. Namun, sepertinya kurang mapan, gayanya hedon, dan itu mengandalkan orang tua. Sungguh sayang, tetapi tak sepenuhnya menyayangkan sebab dengan begini Mbak Nadila tak akan merasa dirugikan bila sudah menolak pertaarufan ini. Untungnya Kalia pun sudah punya incaran hati, meski belum resmi jadian seperti Mbak Nadila dengan kekasihnya. "Ada lagi yang mau ditanyakan?" Refleks saja Kalia bilang, "Mas kalau pipis, jongkok apa berdiri?" Wajar kalau raut masnya menjadi suram. Di situ Kalia cekikikan dalam hatinya yang suci. Oke, berhasil! "Kamu?" "Kok aku? Kan, aku tanya." "Saya berdiri. Kamu?" "Jongkok." Oke, tanya-jawab macam apa ini? Kalia teguk latte-nya. Kok dia mesti buka kartu juga, ya? Bentar, konsepnya nggak gini, kan? Lalu Kalia bersendawa, mantap betul sampai-sampai Langit kelihatan risinya. Nah, tuh, mamam! Kalia senyum elegan. Duh, apa sudah saatnya Kalia bilang mau pulang? "Mas--" "Kamu--" Malah bicara kompakan. "Ladies first." Masnya mempersilakan. Kalia berdeham. "Cuma mau kasih info, aku nggak bisa masak, lho. Bajuku masih dicucikan sama ibu. Manja, kekanakan. Terus kata orang, aku ini nggak peka. Jadi semisal kita deal sama taaruf ini, porsi sabar Mas harus dipertebal. Oh, iya, aku juga cerewet. Mungkin nanti berpotensi membuat kuping Mas sakit." Wait, Guys! Wait!!! Tampaknya Mas Langit terpesona, tuh! Eh, terkejud maksudnya. Pakai "d" biar yahud saat disebut. Tampang-tampang syoked banged gitu. Kalia tersenyum semanis mungkin. "Ada lagi?" Apa, tuh? Kekurangannya maksudnya? Fine! Dengan lancar Kalia beberkan, "Agak lemot juga, Mas. Tipikal istri yang bikin suami sensi tiap hari. Ditambah aku ini penggemar idol Korea. Mas mungkin tau, atau belum? Biasanya fans-fans Korea itu sedikit digemari sama cowok di negeri kita. Mungkin, Mas salah satunya?" "Selain itu?" Duh! Nantangin amat, sih! Aib Kalia banyak kalau masnya mau tahu! Cuma ... dosa nggak, nih, beberkan aib sendiri? "Ya, intinya aku merasa kasihan aja sama suami aku nanti. Jadi ...." Oke, langsung saja. "Banyak perempuan yang lebih baik dari aku, Mas. Tidur aku ngiler, sendawa aku gede kayak tadi, penampilan aku kayak gini, artinya kita tampak kontras. Dari yang aku lihat, Mas ini apik orangnya, nggak jorok kayak aku, ganteng juga. Dan, ya, aku menghindari cowok sejenis Mas Langit. Bukannya apa, tapi dengan kita yang dari hal kecil aja nggak sejalan, gimana hal besarnya, kan?" Sebentar! Kalia menggigit lidah dan berpikir, kayaknya itu di luar naskah rencana yang harusnya dia proklamasikan, deh. Ini melenceng jauh! "Memangnya kenapa kalau tidak sejalan?" Kok, nanya? Harusnya Mas Langit lebih tahu. "Pernikahan kita bisa putus di tengah jalan, sedangkan menikah versi aku itu harus sekali untuk selamanya." "Kamu lahir bulan apa?" Eh, lho? "November?" Agak bertanya-tanya rautnya. Obrolan ini tak ada di prediksi kemarin. "Tanggal?" "Kenapa Mas tanya? Mau guna-gunain aku? Nggak bakal mempan, Mas! Guru aku Mbah Dukun juga soalnya." Ngawur! Argh! Ini, sih, kalau nggak dicap gila, ya, mampus. Akan ketahuan busuknya, bohongnya, atau aslinya dia ini siapa. Eh, tetapi bukankah itu baik? "Ya sudah." Dengan harap-harap cemas Kalia menanti putusan Mas Langit. Demi kamu, wahai suami-suami sejuta umat! Batin Kalia heboh merapal. Dia berdoa agar taaruf antara Mbak Nadila dengan lelaki di depannya ini gugur sudah, dengan demikian Kalia bisa nonton konser pujaan hati. "Itu saja dulu." Tampak Mas Langit melihat jam mahal di tangannya, hasil malak ke orang tua pasti. Lagi pula, kalau bukan jam dinding yang dipasang di tangan, Kalia tidak akan takjub, tuh! Jam tangan mahal itu pasaran, sedangkan jam dinding dipasang di tangan barulah namanya fenomena buatan, bisa diviralkan. Kalia diam menanti apa-apa lagi yang akan diucapkan gerangan. "Perlu saya antar pulangnya?" "Nggak usah, Mas. Makasih. Aku bawa motor." Cepat-cepat Kalia juga berdiri. "Oke. Saya duluan." Yes! Tampaknya beliau tidak tertarik dengan taarufan ini. Yuhu! Kalia siap baris paling depan untuk menonton kesembilan pujaan menari di stage. Dia pun kini berjalan mengekor di belakang tubuh Mas Langit, rupanya kopi yang dipesan sudah dibayar lunas dan sekarang tinggal pulang bawa berita menggembirakan. Di parkiran. "Oh, ya." Hampir saja jidat Kalia kepentok punggung alot lelaki berotot yahud di depannya. Ototnya itu tidak terlalu menonjol dan tidak kecil juga, alih-alih geli atau apa, ini justru ngeri-ngeri yahud alias hot jeletot! Sekadar informasi, otak seorang fangirl sudah diatur 21 plus-plus dari sananya semenjak mengenal bintang-bintang Korea. Karena dengan begitu, banyak cerita halu yang disebut genre fanfiction dan Kalia suka membacanya, tentu di sana isinya tentang pergulatan ranjang, ritual mengaitkan benang saliva, juga seremonial meresahkan lainnya yang haram bagi anak bangsa. "Kenapa?" tanya Kalia. Sebab Mas Langit berbalik, tepat menghadapnya. "Tinggi kamu berapa?" Menghina atau meledek, nih, namanya?! Wajah Kalia andai tak dipoles tebalnya make-up pasti sudah merah mengepul, hiperbolisnya. "Satu enam puluh kurang empat senti." Maka wajar jika sekarang saja dia mendongak, sedang Langit menunduk. Aduh, pegal! Masnya nggak bilang apa-apa, langsung berbalik dan lanjutkan langkah lagi. Demi apa?! Kalia persis kambing boloho di sana. Itu ... apa maksudnya coba?!!!

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Tentang Cinta Kita

read
189.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.3K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.3K
bc

My Secret Little Wife

read
95.2K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.4K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook