“Gue mau pindah ke Bali, Ra.”
“Pindah?” Akira kaget, dia menoleh lalu menatap Ayumie yang duduk dengan tatapan kosong. “Kenapa lo mendadak jadi pengen pindah ke Bali?”
Janda satu ini memang membingungkan sejak mengantarkan Azka ke pesantren Ayumie berubah menjadi manusia kutub, Ayumie jarang keluar rumah dan paling banter duduk sendiri melamun sepanjang hari di gazebo yang terdapat di lantai 3.
“Istighfar, Yum. Harusnya lo itu banyak bersyukur karena selama ini hidup lo itu nggak pernah kekurangan apapun.” Itu yang Akira lihat selama berteman dengan Ayumie, kehidupan Ayumie tak kurang apapun seperti dirinya. “Lo punya segalanya yang banyak orang irikan.”
Mata Ayumie menyipit ketika menatap Akira. Apa yang orang-orang irikan dengan kehidupannya? Apa mereka tahu saat ia kesulitan? Tidak, orang lain hanya melihat senangnya saja.
“Dari segi materi, lo oke. Nggak bakal lo kesusahan karena lo punya segalanya. Jadi, stop ngeluh terus dan merasa hidup lo hampa,” ungkap isi hati Akira.
‘Astaga. Kayak gini, kalau punya otak nggak pernah di upgrade. Asal aja ngomong. Kalau gue punya segalanya, mana mungkin gue ngeluh dan galau kayak gini,’ gerutu Ayumi di dalam hati. Akira nya tidak peka.
“Selama ini gue amat bersyukur sama Tuhan atas kenikmatan yang tidak tara ini, Ra.”
“Lah terus masalah lo apa, sampai galau tiap hari dan ngeluh terus, hah?”
“Jelas ada. Gimana sih Ra!”
“Ya apa alasannya, Yum?” tanya Akira masih belum paham.
“Permintaan, kakak.” Akira menoleh kini dia menatap Ayumie dengan serius. “Dia ingin tahu siapa ayah kandungnya? Azka ingin punya ayah agar tidak dikatain anak haram terus dan dia ingin punya adik agar suatu hari nanti aku nggak sedih?”
Meski terdengar membingungkan dengan kalimat terakhir, tapi Akira paham kata-kata itu. Ya Tuhan, kenapa hati ini sudah menangis lebih dulu mendengarkan permintaan Azka seolah permintaan itu permintaan yang terakhirnya. Azka mengidap penyakit langka sejak kecil.
“Gue masih trauma menikah.” Ayumie menghembuskan nafasnya yang terasa berat jika diingatkan dengan pernikahanya yang mengerikan. “Bisa bercerai dari Galang saja rasanya suatu anugerah.” Akira tahu cerita bagaimana proses Ayumie bisa lepas dari Galang. “Dan untuk mengulangi biduk rumah tangga.” Ayumie tersenyum getir diserta gelengan kepala pelan. “Gue belom siap.”
“Jika permintaanku tidak berdosa pada Tuhan, gue pengen di hamili tanpa harus dinikahi. Satu bibit unggul saja yang tumbuh di rahim gue selain itu nggak ada permintaan lain,” sayangnya semua kata-kata hanya di dalam hati, Ayumie tak berani mengungkapkan ide gilanya pada Akira.
Bisa-bisa sahabatnya itu memukulnya sampai sadar atau menendangnya ke planet lain dengan keinginan yang tak masuk akal atau Akira memberikan tausiyah ala Mamah Dedeh yang panjang lebar sekalipun Akira sama-sama berstatus janda sepertinya. Sayangnya janda sebelahnya sudah mati rasa sama pria, tapi Ayumie?
Dia sudah tak tahan rasanya. Jadi janda itu rasanya tidak enak sama sekali selain setiap malamnya tidur sendirian, makan sendirian dan semuanya serba sendirian. Sedihnya, tidak ada yang memberikannya perhatian special.
Apa lagi Ayumi sudah 9 tahun menjanda. Dia sudah tidak tahan lagi kalau rahimnya selama ini tidak ada yang membuahi karena saking lamanya tidak ada yang mengunjungi. Ayumie takut rahimnya expired.
“Lo bukan sekali dua kali–ya, Yum pengen pindah ke Bali. Tapi sudah sering. Memangnya di Bali ada siapa sih? Apa si Hai atau si James ada di Bali, holiday?”
Ayumie berikan gelengan, kedua bule yang dikenalnya sama sekali tidak sedang holiday di Bali.
“Lah terus lo mau apa kalau si bule itu saja nggak stay di sana?” Akira menarik napas dengan satu tarikan. “Sudahlah, Ayumie. Lo nggak usah ngadi-ngadi mau pindah ke Bali,” omel Akira tak akan pernah bosan dia mengingatkan sahabatnya itu.
“Kalau lo mau ketemu sama si Hai atau si James. Pergi saja ke sono sekalian lo healing biar otak lo fresh nggak beku dan galau terus. Tapi, kalau buat pindah. Sorry to say, no!” Ayumie berikan bibir lima centinya pada Akira. “Jangan mentang-mentang anak lo dah dikirim ke pesantren ya, Yum. Lo jadi mau bebas gitu di Bali?” sambung Akira.
“Gue cuman pengen cari suasana baru aja Ra, setelah anak gue minta 3 bulan sekali minta di datangi ke pesantren nggak salahnya bukan gue cari suasana baru?”
Itu karena setiap Ayumie datang kesana selalu menangis dan Azka tidak mau Ayumie menangisinya.
“Emangnya rumah ini kenapa, sampai lo cari suasana baru, Yum?” Pertanyaan Akira mendadak berhenti, dia meminta Ayumie untuk diam saat telinganya mendengar suara bisik-bisik nan ribut di bawah semakin di telusuri suara itu semakin jelas terdengar. Akira menggeser tubuhnya mendekati Ayumie.
“Jer. Apa informasinya ini sudah jelas? Kenapa kita jadi blusukan kayak gini sih cuman cari satu orang? Meragukan,” ucap seorang lelaki tampan sembari berbisik.
“Ssst… Berisik, Ndan. Menurut laporan dari masyarakat setempat yah di sini lokasinya,” jawab Jerry sambil berjalan mengindap-indap.
“Tapi ini kampung orang. Bukan bagian kita,” balasnya.
“Lo denger nggak ada suara?” tanya Akira pelan.
Ayumie menggeleng tidak mendengar suara apapun tapi Ayumie penasaran dengan Akira yang kini berdiri di pagar besi lantai 3. Dari sana, Ayumie dan Akira melihat dua orang mencurigakan apalagi keduanya berjalan mengidap-idap seperti maling yang hendak beraksi di siang bolong.
“Woy…. Lo maling, ya?” Seruan Akira membuat dua pria dibawah sana tersentak kaget, keduanya dengan kompak mencari sumber suara.
“Kalian mau mencuri si Juliend, ya?” Ayumie ikut bertanya, satu kucingnya mendadak hilang dan entah kemana.
“Juliend? Siapa tuh Ndan?”
“Mana saya tau,” jawab Komandannya seraya menggendikan bahu.
Pria berjaket hitam itu menengadahkan kepalanya ke atas dengan tangan yang menghalau sinar matahari yang menghalangi kedua matanya untuk melihat ke atas. Sayangnya, sinar matahari pagi ini terlalu terik hingga kedua matanya silau untuk melihat dua wanita orang yang berada di atas sana.
“Bukan Mbak. Saya lagi cari rumah mang Yayat,” jawab Jerry, asal. Takutnya dua wanita yang entah bagaimana rupanya itu meneriakkannya maling.
“Ohh… rumahnya mang Yayat yang punya koleksi ayam jago itu bukan?”
Jerry mengangguk dia membaca sepintas laporan kasusnya, pelakunya memiliki koleksi ayam.
“Dari sini lurus saja Pak, rumah mang Yayat persis sisi jalan banget rumah cet warna ungu,” kata Ayumie menerangkan dimana pada pria di bawah itu untuk mengikuti petunjuknya.
“Makasih ya, Mbak. Saya pamit dulu,” ucap Jerry sambil melambaikan tangan. Dia pergi dari tempat itu bersama komandannya.
“Mang Yayat siapa, Jer?” Komandanya bertanya, dia heran dengan sikap Jerry yang sok akrab dengan para wanita sementara si pelaku berikan cengiran pada komandanya sebagai jawaban. Dia hanya asal saja tapi nyatanya ada juga nama itu di kampung ini.
Setelah dua laki-laki itu pergi, Akira dan Ayumie kembali duduk melanjutkan obrolannya yang sempat terganggu.
“Lo nggak akan cerita yang sebenarnya sama gue? Kenapa lo keukeuh ingin pindah ke Bali, hm?”
Ayumie mencebikkan bibirnya. Ah, Akira nya sangat menyebalkan bisa-bisanya dia masih mengintrogasinya dan mendesaknya untuk berkata jujur alasan rencana kepindahannya ke Bali.
“Jujur aja sama gue, Ayumie. Ada apa, hah?”
“Gue pengen minta bibit unggul sama bule di sono…”
“Sinting, lo!”