“Anak haram…. Anak haram….”
“Pergilah kalian.” Azka mengusir teman-temanya, dia sama sekali tidak sakit dengan hinaan itu apalagi menangis—mengadu pada ibunya karena di bully. Azka justru mengkhawatirkan teman-temannya yang terus mengejeknya. Jangan sampai hinaan itu terdengar ke telinga ibunya, bisa bahaya.
“Ganteng-ganteng anjjir, nggak taunya dia anak haram.”
“Iyah, kasihan banget sih nggak punya bapak,” ejek temannya lagi.
“Mana bapaknya nggak jelas lagi siapa,” sambung bocah bergigi ompong.
“Pulanglah,” usir Azka sekali lagi, takutnya ibunya yang bar-bar mendengar ejekan itu bisa-bisa ibunya marah besar jika mulut mereka tidak diam dan pergi.
Hinaan apapun separah apapun itu tak akan membuatnya marah. Azka sudah kebal dengan semua kata-kata menyakitkan itu dan tidak pernah memusingkan orang-orang yang menghina tentangnya. Tapi jika sudah menyangkut ibunya, menghina ibunya itu jadi urusannya.
“Pantes aja nggak ada yang mau temenan sama, lo anak haram, sih.”
“Tapi si anak haram itu juga aneh. Masa kemana-mana pake masker dan jaket tebal di cuaca panas kayak gini?” sambung bocah laki-laki seusianya.
Azka mengalah, dia masuk ke halaman rumahnya agar teman-temannya pergi. Kesalnya, mereka masih disana mencari masalah tak bisa membuat dia marah kini mereka melempari genteng rumahnya dengan batu kecil dengan olokan anak haram yang semakin keras.
Apa ibunya tidak akan mendengar anaknya di ejek?
Ya, ibu tunggal itu mendengarnya sejak tadi bahkan ubun-ubunnya rasanya hendak meledak putranya di hina seperti itu. Dengan daster usangnya dan rambut yang dicepol asal, satu tangan ibu beranak satu itu sudah siap membawa sapu lidi berjalan cepat keluar dari dalam rumah.
“Mana bocah yang sudah menghina anak saya, hah?” Azka mengusap d**a kaget dengan kedatangan ibunya yang tiba-tiba mengejutkannya apalagi ibunya berlari mengejar kelima temannya dan berhasil membawa satu temannya.
Bocah bergigi ompong itu ditarik sampai ke depan gerbang.
“Kalian ngatain apa sama anak gue, hah?”
“Bu,” Azka memegangi tangan ibunya.
“Panggil temen lo yang tadi udah menghina anak gue,” pintanya.
Hidungnya kembang kempis, wajahnya memerah marah jika mereka bisa melihat kepalanya seolah bertanduk saking marahnya karena putra semata wayangnya di bully.
“Ampun Ibunya Azka. Sa-saya nggak bilang apa-apa,” bocah itu mengatupkan kedua tangannya memohon ampun tapi ibu satu anak yang tak lain Ayumie tidak akan mengampuni begitu saja.
“Nggak usah minta ampun-ampun sekarang. Panggil temen lo tadi yang udah enak banget ngehina anak gue. Kalo nggak gue gantung di tiang listrik di depan gang rumah gue, hah?”
Tubuh bocah laki-laki itu beringsut ketakutan sementara Azka yang melihat hal itu hanya hela nafas dia membujuk ibunya untuk melepaskan temannya yang sudah kencing di celana.
“Gue aduin lo pada sama emak dan bapak lo! Kalau perlu gue panggil pak Rt sekalian! Lo pada harus diarak warga karena sudah meresahkan banyak orang,” amarah Ayumie meledak, semakin kesini anak tetangganya semakin meresahkan.
“Tapi bukan saya, Bu.”
“Halah, udah ketangkap lo masih aja ngelak!” decak Ayumi tak terima.
Mata Ayumie menyipit menatap empat bocah yang berlindung di balik tembok dengan tubuh bergetar ketakutan.
“Saya punya bukti kalau kalian pada lah pelakunya,” Ayumie menunjuk pada cctv rumahnya yang terpasang di beberapa sudut termasuk di samping rumah agar melihat siapa bocah yang sering melempar batu pada genteng rumahnya.
“Lo apain anak gue, Yum?” Ibu si bocah itu akhirnya keluar setelah salah satu dari keempat anak itu mengadu pada ibunya.
Ayumie dengan santai tersenyum tipis ketika melihat tetangga resenya mendekat. “Kebetulan Emak lo ada disini.”
“Lepasin anak gue!”
Ayumie menghempaskan cengkeramannya seketika sampai tubuh kecil itu terhuyung dan hendak saja terjatuh jika Azka tidak menopangnya.
“Lo apain anak gue sampai ketakutan gini, Ayumie.”
“Gue nggak apa-apain anak lo! Nggak ada tanda-tanda kekerasaan juga. Gue cuman ancem anak lo doang mau gue gantung di tiang listrik. Kelakuannya sudah nggak bisa ditoleransi bikin ribut terus sama gue!” Ayumie menjeda kalimatnya, dia menarik nafas sebelum melanjutkan kembali.
Ceu Edoh, ibu anak itu marah tak terima anaknya di ancam-ancam seperti itu apalagi sampai di gantung di tiang listrik.
“Gak kaca jendela rumah saya saja yang anak Eceu pecahkan,” Ayumie mulai melembut, tak memanggil wanita subur dan lebih tua darinya itu dengan panggilan tak sopan seperti tadi.
“Genting rumah saya bocor sering di timpuk sama batu sama anak Eceu! Terus sekarang mulutnya lemes banget menghina anak saya anak haram!”
“Anak lo emang anak haram kan, Yum?”
Tangan Ayumie terkepal erat matanya melotot sangat mengerikan. Ceu Edoh yang di depannya ikut takut. Mau mandur, tapi dia malu dan takutnya gengnya malah mentertawakannya.
“Tau dari mana Eceu kalau anak saya anak haram, hah? 12 tahun lalu Eceu menjelma jadi dedemit atau setan sampai tahu proses pembuatan anak saya lahir ke dunia tanpa ayah?” amuk Ayumie.
“Buktinya selama ini bapaknya Azka nggak pernah datang? Anak lo sendiri pun nggak tahu bapaknya yang mana?”
Ayumie semakin geram, ia menggulung lengan dasternya sampai ke atas. Habis sudah kesabarannya menghadapi tetangga resenya ini. Dua ibu-ibu itu hendak saja berkelahi saling pukul, saling jambak jika Akira tidak lekas datang mererai perkelahian mereka.
“Jadi ini alasan kamu nggak mau lanjut sekolah disini?”
“Azka obatin dulu luka ibu di tangan,” sela Azka seraya membawa kotak obat.
“Duduk kamu,” titahnya.
Azka duduk di kursi single kepalanya menunduk, keputusannya melanjutkan sekolah ke pesantren keinginan sejak lama.
“Mereka bukan alasanku tidak melanjutkan sekolah disini, Bu.”
“Bohong!” hardik Ayumie marah, ia tahu salah satunya itu. “Kenapa kamu diam aja nggak ngomong sama ibu kalo selama ini dikatain anak haram? Nggak mungkin kamu ngotot sama Ibu buat pasantren kalo di rumah saja telingamu berisik karena bully an teman-temanmu.”
Apa Azka tidak tahu, di dunia ini hanya dia yang Ayumie punya? Keseharian Ayumie akan terasa lebih sepi dengan ketidak adanya putra semata wayangnya.
“Alasan Kakak pasantren itu karena Kakak ingin Ibu—“ Azka menatap ibunya lekat sebelum mengutarakan alasanya.
Ayumie terkesiap kaget di sela mendengarkan alasan dan juga permintaan putranya. Azka mau sekolah disini dengan satu syarat yang membuat Ayumie jengkel sekaligus sedih. Sedihnya Ayumie tak akan bisa mengabulkan permintaan Azka.
“Rumah ini masih sama,” Jackson mendekati sahabatnya yang berdiri memandangi sekitar rumahnya seolah pria itu sedang mengingat masa-masa remaja pernah tingga di rumah sederhana milik orang tuanya.
Jackson berjabat tangan. “Hari ini di dalam formasi lengkap seperti belasan tahun lalu. Ya, hanya hari ini mereka kumpul di hari libur untuk mengantarkan anaknya ka Lisa lanjut sekolah ke pesantren.”
Jackson mengajak sahabatnya masuk lebih dalam lagi pada keluarganya yang berkumpul. Disana, mereka menyambut pria itu dengan senang dan sesekali orang tua dan kakak Jackson bertanya akan istrinya.
“Kompak banget keluarga lo tanya istri?”
“Wajarlah mereka bertanya. Cuman lo doang sahabat gue yang sampai sekarang masih betah menjomblo makanya mereka penasaran sama wanita mana yang nanti bisa menaklukan hati lo yang sedingin es itu.”
Pria itu mendengus pelan, Jackson terlalu berlebihan. “Gue serius. Sejak remaja lo sibuk belajar dan belajar nggak pernah lo terlibat sama wanita. Pacaran? Nggak pernah sama sekali.”
Dia memang tidak pernah pacaran tapi setidaknya sekali dalam hidupnya dia pernah terlibat dengan satu wanita. Ya, wanita bertopeng itu yang telah membuat hari-harinya resah bertahun-tahun.
“Mananya anaknya ka Lisa yang mau pasantren?” Jackson menunjuk bocah gembrot yang sedang bersama keponakan yang lain. “Dia mau di pasantren in?”
“Awalnya sih nggak mau tapi setelah kakak gue kasih air jampe keponakan gue langsung nurut.”
“Kenapa di pasantren in bukannya itu anak satu-satunya?”
Jackson mendengus. “Dia memang anak satu-satunya tapi kalo anaknya soleh sekali kakak gue juga nggak sanggup lah. Saking solehnya nggak ketolong lagi sama tingkahnya, keluarga gue termasuk ibu dan ayah gue di buat serangan jantung sama ulahnya.”
Batara terkekeh pandangannya menatap sekumpulan keponakan Jackson. “Makannya lo cepet nikah, gih, Bat. Biar nanti lo ngerasain punya anak sendiri yang sudah baligh kayak apa,” sambung Jackson.
Batara terkekeh meski kepalanya mendadak penuh dengan anak bermata indah yang serupa yang entah siapa itu sering datang dalam mimpinya.
“Nggak tawuran, nggak berantem, nggak bikin anak orang masuk rumah sakit. Nggak bikin guru kejang-kejang akan keusilan keponakan gue. Sudah nggak naik kelas dua kali. Jadi sekarang kakak gue nyerah. Takut khilaf menyiksa anaknya sendiri saking kesalnya makanya dia masukkan ke pesantren. Moga si Dodo di sana jadi anak soleh,” ungkap Jackson yang diaminkan oleh Batara.
“Lo nggak kepikiran pengen nikah terus punya anak gitu, Bat?” Secara sahabatnya sampai usianya 39 tahun masih betah sendiri. “Temen kita yang lain udah punya anak cuman lo doang yang masih betah nggak nikah.”
“Pernah kepikiran cuman gue masih trauma dengan kejadian itu dan gue juga belum menemukan wanita yang tepat yang bisa mengimbangi egoisnya sifat gue, Jack,” ungkap Batara. “Berapa umurnya si Dodo?”
“14 tahun. Apa anakmu ada seusianya?”
Entahlah Batara tidak tahu, itu hanya firasatnya saja dia memiliki seorang anak dari wanita itu benihnya 12 tahun lalu pastinya tumbuh bukan?
“Dari pada lo balik lagi apart tiduran sampai malem ikut gue antar mereka ke pesantren sembari gue bahas kerjaan disana.”
Batara setuju, dia pun ikut bersama keluarga Jackson ke sebuah kota X setelah sampai disana kurang lebih 4 jam perjalanan keluarga Jackson yang lain mengantarkan Dodo ke asrama sementara Jackson dan Batara duduk di gubug sembari memandangi hamparan hijaunya sawah sambil membicarakan pekerjaannya.
“Om Jack, Om Batara ayo kita ke masjid mau adzan Ashar kita shalat berjamaah bareng,” teriak Dodo.
“Kita ke masjid yuk, nanti lagi kita bahas ini.” Keduanya bangun dari duduknya lalu berjalan bersama ke masjid paling besar di tengah-tengah asrama. Selesai berwudhu Jackson dan Batara masuk kedalam masjid namun, langkah kaki Batara dan seorang anak laki-laki masuk secara bersama alhasil tubuh kecil itu terhuyung dan hendak saja terjatuh ke lantai bila Batara tidak cepat menariknya.
“Kamu tidak apa-apa kan, Nak?”
Anak laki-laki bermasker hitam itu menatap Batara, matanya yang serupa itu membuat Batara kaget.
“Tidak. Maaf aku terburu-buru. Saya duluan, Om,” kata bocah itu seraya melambaikan tangan dan berjalan cepat menghampiri temannya.
“Kenapa, Bat?” Jackson yang baru masuk pun menghampiri sahabatnya. “Enggak, cuman anak itu kom nggak asing ya. Gue kayak pernah lihat bocah itu...”
“Dimana?”
“Mimpi gue.”