Saat itu juga langsung terasa sangat sakit hatiku ini, benar sekali itu adalah Mas Huda. Apa lagi yang dilakukan sepasang manusia dewasa berlainan jenis di dalam kamar hotel kalau tidak untuk melakukan perbuatan zina itu? Mengapa kamu tega sekali denganku Mas? Apa kurangnya aku hingga kau duakan aku dengan wanita yang lebih pantas kau panggil Ibu itu? Atau jangan jangan wanita inilah yang dalam tidurnya kemarin dipanggil 'Mama ' oleh Mas Huda?
Sejenak aku pun terdiam, air mata kembali menetes, kali ini lebih deras, menekuri kehidupan rumah tanggaku yang baru delapan bulan ini bersama Mas Huda, mengapa begitu banyak kejutan menyakitkan yang harus kuterima, apa salahku ya Allah. Film film tentang kehidupan masa lalu ku seakan berputar kembali di otakku.
Aku, Widya Retnasari, saat ini masih berusia dua puluh dua tahun, almarhum Bapakku selalu mengajarkanku untuk hidup mandiri, karena aku adalah anak tunggal, begitu juga dengan Bapak. Ibuku sudah meninggal beberapa jam setelah melahirkanku, karena pendarahan hebat. Namun aku tak pernah kekurangan kasih sayang, karena Bapak selalu berusaha menghadirkan sosok Ibu dalam hidupku. Bapakku adalah seorang petambak bandeng, seperti kebanyakan mata pencaharian penduduk disini.
Dulu Bapak memiliki dua belas tambak bandeng, saat kelas dua sekolah menengah atas Bapak pernah berpesan padaku,
"Nduk, Wid, kalau nanti misalnya tiba tiba Bapak meninggal dunia, tolong sampaikan amanah Bapak ini ya. Rumah dan enam buah tambak bandeng mutlak menjadi milikmu dan juga satu hektar sawah yang ada di kampung sebelah itu juga milikmu. Sedangkan enam tambak lagi, mintalah tolong Pak Giyo untuk menjualkanya, hasilnya tolong sumbangkan ke panti asuhan dan separuhnya bagilah rata pada semua karyawan karyawan kita,"
Dan saat Bapak meninggal ketika aku baru berusia tujuh belas tahun, aku melaksanakan semua amanah Bapak tersebut. Satu tambak udang kami hanya berukuran lima ratus meter persegi atau setengah hektare. Hasil penjualannya pun kuantar bersama Pak Giyo ke panti asuhan langganan Bapak bersedekah tiap bulan, dan separuhnya dibagi rata pada semua karyawan.
Pak Giyo adalah orang kepercayaan Bapak sejak masih ada Ibu dulu. Beliau sangat jujur dan amanah. Hingga saat ini pun , aku masih mempercayakan semuanya kepada Pak Giyo, dan alhamdulillah panen kami selalu memuaskan. Setiap panen pun tak lupa aku bersedakah sepuluh persen dari hasil panen, seperti yang Bapak ajarkan dulu. Separuh untuk panti, separuh lagi untuk para karyawan.
Dari kecil aku memang sedikit introvent, lebih suka menutup diri dan main dirumah bersama Bik Sanah, dihalaman belakang atau ikut Bapak ke tambak. Bik Sanah adalah wanita tua yang sudah bekerja di keluarga Bapak sejak Bapak kecil, dan ketika aku berusia lima belas tahun dia meninggal dunia.
Setelah lulus SMA aku memang tak melanjutkan ke jenjang kuliah, karena aku ingin bersungguh sungguh mengelola tambak peninggalan Bapak. Malah aku pernah bekerja di sebuah pabrik roti kalengan di Surabaya, bukan karena uang, tapi karena aku ingin mencoba pengalaman baru disana. Dan semua kawanku pun tak ada yang tahu kalau di kampung aku memiliki banyak tambak.
Akupun tak pernah berpacaran atau mengenal laki laki selama itu, aku masih ingin sendiri dan menjalani semua ini. Hanya satu kali saat kelas satu SMA aku berpacaran dengan teman sekelasku, dan hanya tiga bulan, namun kurasa itu hanyalah cinta monyet biasa. Baru dengan Mas Huda ini lah aku merasakan cinta yang sesungguhnya.
Ibunya Mas Huda, Bu Ratna, adalah seorang penjual ikan di pasar, dan beliau sering membeli bandeng langsung dari tambakku. Kami sering bertemu dan ngobrol. Suatu hari Bu Ratna memperkenalkan anak laki lakinya padaku, yaitu Mas Huda, yang saat itu sudah bekerja menjadi perawat honorer di sebuah rumah sakit kecil. Menurutnya anaknya tersebut pendiam dan sangat baik, dan Bu Ratna juga memintaku menjadi menantunya.
Sejak perkenalan pertama, kuakui aku memang menaruh hati pada Mas Huda, sosoknya yang ganteng dengan kumis tipis dan senyum menawan itu mampu meluluhkan hatiku. Dan aku pun menyetujui perjodohan itu. Kulihat juga dari penampilannya Mas Huda adalah pria baik baik, saat itu Mas Huda berusia dua puluh empat tahun, jeda dua tahun diatasku.
Acara lamaran pun dilaksanakan satu minggu setelah aku menyetujui perjodohan itu, dan sebulan kemudian pernikahan pun digelar.
Pesta besar dan meriah pun di adakan di rumahku. Sebebarnya aku hanya ingin pesta sederhana, namun Bulekku, adik dari Ibu, ingin pesta yang meriah dan mewah. Sebenarnya Bulek Yaumi tidak menyetujui aku menikah dengan Mas Huda, katanya karena dia hanyalah orang miskin yang tidak sepadan dengan keluarga kami. Namun aku terus memaksa, dan meyakinkan padanya bahwa Mas Huda adalah orang yang baik, dan tidak mengincar hartaku.
Selama acara pernikahan yang digelar tiga hari tiga malam itu, Bulek dan keluarganya selalu sinis kepada Mas Huda dan keluargnya, tapi sepertinya Mas Huda tak begitu menanggapinya.
Honeymoon memang kami berdua sepakat tak melakukan perjalanan kemana mana, hanya di rumah saja, bahkan malam pertama pun tak pernah ada, baru setelah tiga minggu pernikahan, terjadilah belah duren itu. Ya mungkin karena masih canggung dan perlu pengenalan lebih dalam satu sama lain.
Setelah menikah kami pun tinggal di rumahku, karena rumah Mas Huda, atau lebih tepatnya rumah orang tuanya hanya memiliki dua buah kamar, satu untuk Ibu dan satu lagi untuk adiknya, Heny yang sudah menikah dan memiliki anak. Sebelum menikah, Mas Huda selalu tidur di ruang shalat atau di depan televisi saja.
Setiap bulan ku kirimkan uang untuk Ibu mertua dan juga Henny, karena mertua tak lagi berjualan dan mulai sakit sakitan, sedangnkan suami Henny pun tidak bekerja, setiap hari hanya memancing dan nongkrong dengan teman temannya saja, sedangkan mereka pun telah memiliki seorang anak.
Mas Huda pun tak pernah memberikanku uang sepeserpun, untuk kehidupan sehari hari aku memakai uangku. Pun dia tak pernah menanyakan atau ingin tahu tentang usaha tambakku. Jarang sekali diantara kami ada obrolan panjang. Kami hanya akan bicara saat sarapan pagi saja. Mas Huda hanya akan pulang untuk tidur dan sarapan saja, selebihnya hanya sebentar sudah pergi, pun saat libur tiba. Hampir tak ada komunikasi diantara kami.
Akupun juga disibukkan sendiri dengan kegiatanku, tak masalah juga bagiku saat itu, ada atau tidak Mas huda dirumah. Benar benar rumah tangga kami saat itu seperti kuburan, sepi. Karena sabun imut itulah kurasa rasa cinta itu justru hadir kembali.
Jadi saat ini, aku akan memperjuangkan Mas Huda, bagaimanapun caranya. Aku akan mencoba jadi istri yang baik baginya, mungkin juga selama ini aku sudah melupakan kewajibanku hingga dia pun berpaling.
Namun semua itu sedikit goyah. Seandainya nanti aku menerima kenyataan bahwa Mas Huda benar benar bermain api dibelakangku, apakah aku bisa memaafkanya kembali? Dan bisakah hubungan yang kurasakan sudah hancur ini kembali menjadi sebuah hubungan yang sehat?