Langit Biru

485 Words
"Rin lama banget si, kita cuma ospek bukan mau tampil jaipongan," Arina terus mengoceh karena Karin belum juga kelar memoles make up diwajahnya. "Arin sahabat gue tersayang, gue itu harus tetap tampil maksimal walaupun cuma ospek, lo liatkan tadi kakak tingkat kita ganteng-ganteng banget," balas Karin tak kalah panjang. "Ya walaupun tetap cantikan gue," lanjutnya dengan wajah tanpa dosa. Arina menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabat satu-satunya tersebut. "eh cepetan yuk, dikit lagi waktu istirahatnya habis," ucap Arina seraya menarik tangan Karin menuju lapangan. Mereka berlari tergesa-gesah menuju barisan. "Woy kalian berdua! kenapa baru balik hah, belum cukup waktu istirahatnya?!" Teriak Stela pada kedua juniornya yang baru balik ke barisan. "Ma-maaf-" belum selesai Arina mengucapkan kalimatnya, tiba tiba Stela memotongnya. "Udahlah lo cupu diem! Sebagai hukumannya kalian berdua harus lari ngelilinging lapangan sepuluh kali!" "Kakak gila ya? Masa ngelilingin lapangan sepuluh kali si," protes Karin pada Stela. "Lari sekarang atau gue tambahin hukumannya hah?!" Ancamnya Stela. "Dasar adeknya baigon!" Karin mengumpat pelan, namun masih dapat terdengar oleh Stela. "Ngomong apa lo barusan?!"  "Temen saya nggak ngomong apa apa kok kak, kalo gitu kita mulai larinya, permisi," sergah Arina.  Gadis tersebut menarik Karin untuk berlari mangelilingi lapangan sebelum temannya tersebut kembali berulah. Di bawah naungan langit biru mereka menjalani hukuman. Tujuh putaran telah Arina lalui, sedangkan Karin baru akan melewati empat putaran. Itu pun karena Arina yang sesekali menariknya. ... Tak terasa masa ospek telah terlewatkan. Arina dan Karin telah resmi menjadi mahasiswi fakultas psikologi. Fakultas yang mereka berdua minati. Saat ini keduanya sedang berada di salah satu kafe daerah Jakarta selatan. Hanya sekedar melepas dahaga sepulang kuliah. Tiba tiba ponsel yang berada di saku baju nya berbunyi, nama Bi Minahlah yang tertera di layar ponselnya. "Assalamualaikum bi." "...." "Serius bi?" "...." "Oh ok aku pulang sekarang, Assalamualaikun," sambungan tersebut pun akhirnya terputus. "Rin aku pulang ya, ayahku udah nungguin di rumah." "Bokap lo? Tumben banget, bokap lo kesambet ya?" Karin di buat heran, ia tahu sekali bahwa hubungan mereka kurang baik. "Nggak tahu, mungkin ada hal penting yang mau di sapaikan," Arina yang tetap positif thinking, "aku pulang ya, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." ... Kini Arina berada di ruang kerja Rizal Anderson, ayahnya. Ingin sekali dirinya memeluk sang ayah yang saat ini berada dihadapannya. Namun apa boleh buat, tembok pertahanan sang ayah begitu kokoh. Jangankan untuk menembus, menyentuhnya pun Arina tidak bisa. Setelah bebera saat menatap sendu ayahnya, kini Arina menundukan kepalanya. Gadis tersebut akui, sampai sekarang dirinya masih canggung dengan ayahnya sendiri. Maklum saja, mungkin selama delapan belas tahun ini bisa dihitung berapa kali sang ayah berbicara dengan anak pempuannya tersebut. Bahkan mungkin bisa terhitung berapa kalimat yang telah di ucapkannya. Dengan perlahan Arina memberanikan dirinya untuk kembali menatap sang ayah. "Maaf sebelumnya, sebenarnya apa yang mau ayah bicarakam?" Tanya Arin membuka pembicaraan. "Saya akan menjodohkanmu," jawabnya santai. Sangat berbeda dengan Arina yang sangat terkejut dengan ucapan santai ayahnya tersebut. "Dijohohin?" Tanya Arina spontan, tubuhnya pun menegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD