"Lintang!!!" kata kata terakhirku lalu tiba tiba terasa dunia berputar dengan hebatnya lalu gelap gulita. Kubuka mataku perlahan dan menahan sakit yang teramat sangat pada seluruh tubuhku. Kupanggil panggil Lintang tapi yang terdengar hanya suara angin dan lolongan anjing malam.
"Lintang..Lintang...." cairan hangat terasa mengalir dari keningku. Kakiku sangat sakit sekali dan tidak bisa kugerakan.Lalu kudengar rintihan seseorang di dekatku, tanganku meraba raba mendekati suara itu dan kurasakan tubuh seseorang yang kuyakini tubuh Lintang.
"Errggg....Nova.." suara lihir memanggil namaku.
"Lintang? kamukah?"
"Nova..kamu tidak apa apa? sebentar aku bantu kamu keluar dari mobil." terdengar suara suara barang yang digeser dan erangan Lintang.
"Lintang, kamu tidak apa apa? kamu bisa keluar?" tanyaku memastikan kondisinya. Kudengar gesekan dan dentuman besi yang memekakan telinga kiriku.
"Tutup telingamu Nova, aku sedang berusaha membuka pintu mobil." kututup telingaku dengan kedua tanganku dan memejamkan mataku. Terasa ada yang menarik tangan kiriku dan aku menjerit kesakitan.
"Arhhhhhh....kakiku Lintang...kakiku sepertinya terjepit." terdengar samar samar langkah kaki mendekati kami.
"Tolong Pak..Tolong...saya tidak bisa mengeluarkannya karena kakinya terjepit. Tolong telepon ambulan Pak." terdengar suara Lintang cemas. Sementara aku masih menahan sakit di kedua kakiku dan kepalaku seperti dipukul dengan palu rasanya lalu gelap kembali kurasakan.
***
Perlahan aku membuka mataku, gelap. Ah, mungkin mereka mematikan lampu kamar, pikirku. Kucoba mendengar suara suara disekitarku, samar samar kudengar suara orang bercakap cakap.
"Siapa itu?" lihirku
"Nova..." tangisku pecah mendengar suara yang sangat familiar.
"Leo? Leo?" tanganku menggapai gapai di udara, lalu ditangkap oleh sepasang tangan besar Leo.
"Gue dimana Leo? nyalain lampu..." Leo mengusap lembut kepalaku.
"Sekarang lo di rumah sakit, tenang ya...ada gue disini."
"Papa? Mama?"
"Mereka baru saja pulang, besok akan kembali datang." ujarnya menenangkanku.
"Lintang Leo? Bagaimana kondisinya?"
"Lintang? tidak ada Lintang Nova. Maksudmu Alex?" kuanggukan kepalaku.
"Dia masih dalam perawatan, terpisah dari sini karena Lo sekarang di ruangan ICU. Sudah tiga hari tidak sadar. Tenang, kondisinya baik baik saja."
"Leo, apakah mata gue? buta Leo?" kulepaskan tanganku padanya dan meraba kedua mataku. Kurasakan perban menutupinya.
"Mata lo luka, nanti akan diperiksa dokter baru bisa diketahui kondisinya bagaimana. Sekarang Lo istirahat lagi ya..."
"Leo...tolong kasih kabar ke Lintang kalau gue baik baik saja. Dia pasti khawatir. "
"Baiklah, tapi lo istirahat. Gue akan kasih tahu dia. Gue keluar dulu ya." hening kembali datang, yang terdengar hanya bunyi bunyi bip bip saja dan akhirnya aku terlelap lagi.
***
"Nova...sayang.." suara lembut mama membangunkanku.
"Ma... Mama..." kurasakan tanganya membelaiku.
"Ya sayang, mama disini."
"Maafkan Nova Ma..."
"Sstt..ini kecelakaan sayang, tidak ada yang tahu. Yang penting sekarang kamu istirahat agar dapat cepat sembuh yah.." Kuanggukan kepalaku setuju dengan ucapannya.
"Nova, dokter datang mau memeriksamu. Ayo Ma..kita tunggu diluar." Papa mencium keningku lalu kudengar suara langkah kaki medekatiku, sepertinya dokter dan beberapa suster. Mereka bercakap cakap dan menutup tirai.
"Nova, kita buka perban di matamu ya. Awalnya akan terasa perih, lama kelamaan akan menghilang. Yang kuat ya.."
"Baik Dokter" lalu terdengar suara kain perban digunting oleh dokter dan selembar demi selembar kain perban yang menutupi mataku dibuka. Samar samar sinar menerpa mataku, kututup kembali mataku karena silau sekali. Lalu perlahan kubuka kembali sedikit kelopak mataku, kupejap pejapkan dan berusaha menajamkan pandanganku tapi tidak berhasil. Penglihatanku buram, hanya ada bayang bayang saja dihadapanku.
'Bisa jelaskan pandanganmu?"
"Buram Dokter, seperti tidak focus. Aku hanya melihat bayang bayang saja. Mungkinkah lama kelamaan akan menjadi lebih jelas?
"Saya belum bisa mengatakan apa apa dulu. Harus dilakukan pemeriksaan lebih seksama lagi. Sementara biarkan dulu mata kamu terbiasa dengan sinar." anjur Dokter lalu kulihat bayangannya menjauh dan keluar kamar diikut oleh beberapa orang dibelakangnya.
"Rel..." kualihkan pandanganku ke arah suara itu berasal.
"Dewi? Dewi benar?" air mataku mulai menggenangi pelupuk mataku.
"Aurel, gimana perasaan lo?" kuangkat tanganku hendak memeluknya. Tangisku pecah ketika dengan hangat Dewi memelukku. Kudengar isak tangisnya juga.
"Gue takut Dew..dan Lo bisa ceritain kondisi kaki gue? Gue gak bisa geraki. Sakit sekali." ujarku meringis.
"Kaki Lo terjepit ketika tabrakan terjadi. Tulangnya patah sehingga sekarang di gibs. Banyak luka dikulitnya juga kulit tangan Lo akibat pecahan kaca." kurasakan Dewi menghapus air mataku dengan tissue.
"Dew..lo udah liat Lintang?" bisiku perlahan. Kurasakan helaan napas Dewi sebelum menjawab pertanyaanku.
"Sudah, dia sudah baikan dan kondisinya gak separah Lo. Dan gue harap lo lupain dia Rel, sepertinya dia juga sudah melupakan Lo." nada suaranya sangat ketus sekali.
"Kenapa Dew? Apa yang terjadi?"
"Keluarganya tidak memperbolehkan siappun bertemu dengannya. Bahkan Alex diam diam sudah dipindahkan ke rumah sakit lain. Tapi lo jangan khawatir, sebelum Alex pindah gue sempat ketemu dia dan dia suruh gue nyampein surat ini ke Lo." Dewi menyelipkan secarik kertas ke dalam tanganku.
"Dia tidak apa apa kan Dew?" tanyaku masih khawatir.
"Don't worry, lukanya tidak ada yang terlalu serius." terdengar seseorang memasuki kamarku, dengan cepat kusembunyikan surat dari Lintang kebawah bantal kepalaku.
"Siapa Dew yang masuk?" kutatap bayangan yang perlahan mendekati ranjangku.
"Hallo Aurel.." William ternyata. Dia mendekatiku dan mencium keningku. "Hari ini kamu terlihat lebih segar ya.."
"Hai William...terima kasih. Tapi sayang aku masih belum bisa melihat wajah tampanmu." candaku, seperti biasanya.
"I'll wait...sabarlah butuh waktu untuk bisa sembuh seperti sediakala."ditepuk tepuknya pundakku. Kuanggukan kepalaku dengan semangat. Ya, aku harus sembuh!!
***
Sudah hampir seminggu aku di rumah sakit, sungguh membosankan karena aku masih belum bisa berjalan dan penglihatanku pun masih belum mengalami kemajuan yang bearti. Jika sedang sendirian aku suka menangis sendiri, meratapi nasibku dan merindukan Lintangku.
Surat yang ditinggalkannya masih belum bisa k****a karena aku masih belum bisa membacanya sendiri. Aku tidak mau orang lain mengetahui isi surat itu, maka kutunggu hingga mata ini sudah bisa membacanya sendiri.
Ada seseorang yang hampir setiap hari setia mengunjungiku, siapa lagi kalau bukan William. Jika tidak pagi hari, William akan datang malam sepulang kantor. Bahkan pernah ketika aku sudah tertidur dia datang dengan membawakan setangkai bunga.