PART 1

1741 Words
2010 Jam menujukkan pukul 4. Seperti biasa, ia duduk di teras depan. Sembari menonton video tari-tari, mata nya sesekali tetap memperhatikan rumah di depan nya. Anira bergerak maju, Coba bergerak maju menari dalam video itu.  Tanpa ia sadari, kini ia sudah tidak sendiri. Helma menatap lekat Anira, lalu menepuk pundaknya pelan. Agar menyadari kehadirannya. Anira langsung melepas earphone yang terpasang di telinga nya. "Kenapa, Ma?" Tanya Anira. "Lagi apa kamu?" Anira membuka ponselnya, "Ini biasa, Ma. Lagi liat referensi menari. Biar engga lupa." "Rara kangen Aska engga?" Anira terkekeh kecil, ia berusaha menyembunyikan kesedihannya jika diminta menjawab perihal kerinduan nya pada Aska. "Bukan kangen lagi, tapi rindu, Ma." Batin nya, yang tidak bisa ia ungkap kan langsung. "Ya ampun, Ma. Aku kira Mama nanya apa." "Rara gapapa kalau harus ninggalin Bandung?" Lagi-lagi Menurut Mama, ini menanyakan hal yang sensitif untuk Anira. "Lho, emang kenapa?" Anira balik bertanya. "Mama tau, Ra. Setiap jam segini, Rara selalu ada di teras rumah. Atau jika sepulang sekolah kamu Mama cari engga, jawabnya pasti ada di balkon kamar Nadira." Anira menghela napasnya, "Ya maklumin aja ya, Mama. Aku kan udah ga pernah main di luar lagi." "Karna Aska udah ga di Bandung ya, Ra? Anira selalu menyadari hal itu, agar ia tidak larut dalam rindu nya untuk Aska. Meskipun sudah berlalu 6 tahun Aska pergi dari Bandung, Aska tetap ada, di hati Anira. "Kita cuma engga lagi main aja, lagi fokus sama mimpi nya masing-masing." Helma menyerah, ia tahu mau bagaiamana pun Anira tidak akan jujur tentang Aska. "Barang-barang kamu sudah dirapihkan semua kan?" Pertanyaan itu dijawab anggukan oleh Anira. "Kamu beneran baik-baik aja kan, Ra?" Tanya Helma memastikan. "Aku gapapa, Mama. Cuma ga enak badan aja." Jawabnya bohong. "Ini mimpi kamu kan? Untuk mewujudkan apa yang kamu mau dari kecil. Mama sama Papa ga mungkin lupain kamu di Bogor, sesekali pasti Mama sama Papa jenguk kamu." Anira harus pindah ke Bogor, lalu dia akan tinggal bersama neneknya di sana. Anira akan mengambil alih sanggar yang menjadi impiannya sejak dulu, sayang Mama dan Papa tidak bisa tinggal bersamanya. "Iya, Mama. Aku sadar ini mimpi aku, aku cuma tidak perlu dengan semua. Mama sama Papa fokus aja sama perkerja sama kamu, aku bisa jaga diri kok di Bogor." Jawabnya meyakinkan. "Yaudah, Mama siap-siap dulu ya. Kamu ganti baju, jam 5 kita berangkat." Anira mengacungkan ibu jarinya, lalu mengangguk tersenyum. Sepeninggalan Helma ke dalam rumah, Nadira kini menghampiri Anira.  "Ka?" "Lho, udah kamu aja Nad yang di sini." Anira mengulas senyumnya. "Maaf, kalau aku, Mama dan Papa gabisa ikut kaka ke Bogor." "Gapapa kok, lagian kan Mama sama Papa ada kerjaan di Surabaya. Kamu jangan nyusahin Mama sama Papa ya ada, jangan lupa ke Bogor, ke rumah oma." Anira selalu mengulas senyum di depan siapap pun, ia tidak peduli apa yang ia rasakan sekarang. Yang ia tahu hanya, banyak orang yang lebih rapuh dari nya tetapi mereka kuat. "Gimana kabar ka Aska?" Nadira menyinggung seseorang yang membuatnya hancur selama beberapa tahun ini. "Pasti baik, Aska kan hebat bisa jagain Kaka waktu masih di Bandung. Apalagi jaga diri sendiri, udah pasti sangat baik." "Kangen engga?" Anira mengusapakan bergerak kasar, "Tadi Mama nanyain itu, sekarang kamu, Nad. Nanti pasti Papa tanya ni." "Jadi nya kangen atau engga?" Nadira meminta Anira. "Udah engga biar sa dijelasin, Nad. Rumah ini tuh dulu benar-benar hidup, bernyawa gitu buat aku. Terlebih lagi kalau Aska udah diem di atas sana terus manggilin aku buat main." Anira tertawa sendiri, ia mengingat betapa lucunya mereka berdua dulu.  Sudah 6 tahun berjalan, semenjak kepergian Aska dari Bandung. Anira benar-benar menunggu Aska, berharap perkuatan benar-benar dia buktikan. Sebulan, dua bulan terus berlalu lebih dari-tahun Aska tidak pernah singgah lagi ke Bandung. Kabar nya saja Anira tidak pernah lagi mendengarnya, dia berharap Aska baik-baik saja di sana. "Se berkesan itu ya, Ka?" "Nanti kamu akan tau, bagaimana Aska pandai melukis kenangan di setiap waktu. Permanen lagi." Nadira mengangguk paham, "Engga akan tau, setiap kali aku ketemu nanti, bakalan aku bawa ke Bogor." "Udah yu, masuk." Ajak Anira yang enggan mengajak Aska lebih lama lagi. Bukan benci atau apapun, obrolan itu hanya akan membuat dia semakin mengingat Aska. Hari ini, Anira tidak akan mengulang kebiasaanya semenjak 6 tahun yang lalu. Dia tidak akan menunggu di rumah lagi di sore hari, dia tidak akan menunggu di atas balkon kamar. Anira kini akan meninggalkan Bandung, tempat di mana dia mempercayai jika janji akan menjadi bukti. * Setelah melalui perjalanan yang cukup lama, Anira sekarang sudah sampai di tempat yang mungkin asing untuknya. Anira kini sudah berada di Bogor, di rumah Neneknya. Anira disambut dengan baik oleh Almi, Ibu dari Helma. Helma sendiri tahu bagaimana ibu nya sangat menyayangi Anira. "Jaga diri baik-baik ya, jangan buat Oma kesusahan. Jagain Oma sayang." Helma mengecup kening Anira saat itu. "Mama sama Papa jaga diri baik-baik, sering-sering kesini. Aku janji, nanti aku perlihatkan perkembangan menari ku." Nadira tampak tersenyum mendengarkan Anira bersemangat untuk mama dan papa nya. "Papa janji akan sering-sering kesini ya. Jaga diri baik-baik ya, Anira." Pesan Adnan untuk Anira. "Ibu, aku sama Mas Adnan pamit. Titip Anira, maaf kalau nanti merepotkan. Anira sudah aku titip untuk jagain ibu juga di sini." Pamit Helma pada Almi sebelum pergi. Sebab Adnan dan Helma tidak bisa berlama-lama di Bogor, mereka juga harus segera ke Surabaya bersama Nadira. Berat sebenarnya meninggalkan Anira disini Sementara bersama ibu dari Helma, lebih tinggi dia tidak bisa melihat perkembangannya secara langsung. "Jaga diri baik-baik, Ka. Jangan sia-siain cowo bogor yang manis-manis ya. Jangan terpaku dengan ka Aska, main dulu sebelum lebih dulu yang ga mahal kok." Kalimat terakhir untuk Anira, sebelum Nadira pergi kembali di Bogor. Umur mereka hanya berbeda 2 tahun, umur Anira saat ini baru beranjak 13 tahun. Itu artinya dia masih duduk di bangku SMP. Tidak berlama-lama lagi di Bogor. Mereka segera melanjutkan perjalanan mereka menuju Surabaya, Karna Adnan yang dikejar waktu untuk segera sampai di Surabaya sebelum malam hari tiba. "Nad, mulai kamu udah mulai sekolah. Udah siap kan?" Helma dibuka keheningan yang terjadi sejak tadi. "Aku minta persiapan sehari aja?" Nadira tampak mengeluh. Dia belum tahu tentang di Surabaya, Nadira Amanda Nisya, gadis menghadiri 11 tahun. Dia tidak lebih aktif dari Anira, kaka nya. Hobi mereka berdua jelas berbeda, Anira yang lebih menekuni sesuatu seperti para gadis lainnya. Nadira lebih memilih memilih bela diri, Karate. Sikapnya lebih dingin dari Anira, dia hanya berbicara lebih banyak dengan orang-orang yang dia kenali. Dan Nadira tidak menerima Aska, pasti di Bandung Nadira tidak pernah keluar rumah. Selepas sekolah dia tidak dihabiskan di luar rumah seperti Anira dengan Aska. "Kamu kan udah kelas 6, mau balik kamu kamu sendiri yang kesulitan. Lebih cepat lebih baik kan?" Helma mencoba meyakinkan Nadira dengan Lingkungannya yang baru. "Tapi-" "Apa salahnya kamu belajar komunikasi dengan orang lain lebih cepat, lebih hebat kamu di bidang mana pun kamu engga punya relasi ya percuma." Selalu saja yang diterjemahkan oleh Helma, Mama tidak pernah tahu bagaimana cara Nadira mengenal dunia luar dan berkomunikasi dengan mereka. "Iya." Jawab singkatnya , Nadira menghembuskan nafasnya dan membuang pandangannya ke arah yang lain. * "Ayah?" "Hm." Sadam hanya bergumam melihat Aska berada di ruang kerja. "Ayah lagi sibuk?" "Kenapa? Mau tanding basket sama Ayah?" Sadam menoleh ke Arah Aska, biasa saja jika Aska menghampiri nya ke ruang kerja itu tanda nya ia minta ditemani bermain keranjang.  "Engga kok, aku cuma mau main aja ke ruang kerja Ayah." Aska duduk di sofa, tepat di sebelah kanan Ayahnya. "Kamu tumben banget, pasti ada mau nya ni? Iya?" "Ah Ayah! Suka bener terus kan." Aska tertawa kecil, ia melepaskan malu sendiri dengan tingkahnya jika ia ada mau nya. "Mau apa emang, Ka?" "Yah, liburan nanti kita ke Bandung ya?" "Mau ngapain? Perasaan Ayah dari dulu kamu tuh minta ke Bandung terus." Sadam mengerutkan dahinya, menatap anak-anak yang setiap saat selalu meminta untuk bermain ke Bandung. "Aska mau ketemu Anira yah. Dulu kan ayah janji akan ajak Aska buat utama kesana kapan pun mau Aska mau. Aku tuh kangen yah lingkungan yang aku kenal." "Kamu tinggal di sini udah lumayan lama, 2 tahun kan? Masa masih asing sih, Ka. Kamu ke bandung kangen Lingkungan atau kangen Anira?" Sadam menatap lekat setiap sudut wajah Aska saat itu. "Iya, 2 tahun. Setelah aku nyaman, Ayah selalu membawaku pindah. Kemarin Jakarta, sekarang Kalimantan. Lalu, kapan aku punya sahabat yah?" Aska menekuk wajahnya, memberi jeda pada ucapannya, "Kalau aku kangen Anira memang salahnya? Dia temen aku dari kecil. Aku udah pernah beruntung akan kesana, sekarang udah 6 tahun yah dan bukan sesuai yang diinginkan." Sadam bukan miliknya, dia membalasnya dengan ledakan tawa yang membuat Aska semakin kesal saat itu. "Kamu tuh cinta monyet sama Anira, belum pasti akan bertahan lama." Aska melirik tajam kompilasi. "Kenapa jadi bawa-bawa Cinta sih, Ayah?" Kesal Aska. "Ya lagi Ayah tuh liat kamu berapi-api banget soal Anira." "Emang Ayah ga kangen sama Om Adnan? Mama juga pasti kangen sama Tante Helma. Iya kan? Lagian kan rumah di Bandung itu sayang tau Ayah kalau ditinggal selama itu." Sadam menggeleng-gelengkan disetujui, meyakinkan benar saja Aska jika sudah bicara. Sadam tidak bisa berhenti tertawa meski tidak sekencang tadi. "Iya iya Ayah ga akan boongin kamu lagi, ka. Nanti liburan sekolah, Ayah akan ajak kamu ke Bandung." Sadam kembali melirik anak yang masih menunggu "Tapi dengan satu syarat." "Apa, Yah?" Seketiba wajah itu berubah semangat, menyambut kalimat ayah itu tadi. "Kamu harus tingkatkan prestasi kamu. Nanti kelas 3 kamu harus pindah ke Surabaya, karna proyek ayah ada di sana. Dan ayah mau kamu masuk Spensa, ingat itu bukan sekolah biasa" Spensa, SMP Excellent Satu. Terkenal sebagai sekolah yang sulit untuk ditembus. Terlebih lagi, Aska akan pindah kesana kelas 3. Dan itu adalah waktu dimana Aska harus bisa mendapatkan nilai yang baik, dan diterima di sana. "Aku janji kok." Aska mengangguk cepat, lalu meninggalkan ayah dengan membawa bola keranjangnya. Gerakannya sangat cepat, terlihat jelas dia sangat bahagia. "Anira, aku udah jago sekarang. Tunggu aku liburan akhir tahun ini." Aska berbicara sendiri sambil menatap bola bakset yang dia pegang sejak tadi. Sadam menjanjikan akan diantarkan ke Bandung, jika Aska berhasil diterima kepindahan sekolahnya di Smp Spensa. Meskipun demikian nanti Aska tidak berhasil, ia tetap akan membawa Aska ke Bandung. Apa kabar dengan janji itu? Ternyata sampai sekarang Masih jelas oleh Aska, dan begitupun Anira. 6 tahun sudah dia bawa rindu ke Gadis yang mahir menari itu. Tidak peduli tentang tanggapan Ayahnya tentang semangat untuk bertemu Anira, cinta atau tidak yang jelas hanya Anira yang selalu dia ingat kemana pun Aska pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD