PART 3

1641 Words
Satu sendok terakhir telah ia habiskan satu menit yang lalu, tinggal menunggu Maura menghabiskan makanan lalu pergi dari kantin. Nadira menghembuskan napas kesal, ia melihat jam tangan nya. Sudah menit ke 10 Maura masih menyisakan makanannya. "Gue masih ga nyangka kita bisa sekelas di Spensa." "Abisin dulu deh makanan mu, Ra." Kesal Nadira. Maura hanya melihat cengengesan Nadira sudah kesal dengan tingkahnya.  Banyak perubahan yang terjadi di antara keduanya, mungkin karna lebih dekat dari dulu. Segala sikap yang kaku kini sudah mencair bahkan tidak tahu malu. Nadira kini sudah pindah masa SMP sekitar 3 bulan, lewat prestasi dia bisa menembus Spensa dengan mudah. Lain hal dengan Maura, dia memang murid yang pintar. Karna nilai dia bisa masuk ke Spensa, tidak perlu ditanyakan, sudah pasti nilai nya sangat besar. "Aku juga masih ga nyangka masuk ke sini, tadi gaada bayangan gitu mau masuk mana. Aku baru setahun ngerasain sekolah di Surabaya." Sekarang Nadira lebih aktif, meski tidak seheboh Maura. "Sampe gue tunggu banget, nunggu lo ngomong sebanyak ini." Ucap Maura dengan penuh penekanan.  Nadira tertawa, ia baru sadar kalau memang Maura sesabar itu. "Maaf ya, tapi makasih kamu mau jadi sahabat ku." "Halah, mana coba yang paling sabar selain gue? Ada ga?" Nadira meletakkan telunjuknya di bibir, mengisyaratkan jangan terlalu berisik. Karna suara Maura yang sudah kelewatan. Seperti kantin pada umumnya, semewah apapun sekolahnya tetap saja akan ramai. Hanya saja beda nya, kantin Spensa sangat teratur. Karena, mereka hanya perlu menulis pada kertas dengan nomor meja mereka, seperti tempat makan di luar sana. Sambil menunggu Maura menyelesaikan makan nya ia mengedarkan pandangannya ke sekitar Kantin, hingga mata nya berhenti saat pandangannya jatuh ke seseorang yang ada di ujung sana. Dari sekian banyak laki-laki di ujung koridor, matanya tertuju pada ia yang duduk di bangku kecil. "Balik sekolah ada kegiatan?" Tanya Maura, yang belum juga mendapat respons dari Nadira. "Nad, balik sekolah lo ada kegiatan?" "..." "Nadira." Maura menepuk bahu nya, hingga Nadira tersentak kaget. "Aduh, aku kaget." "Lo liatin apa sih?" Maura mengikuti kemana Arah pandangan Nadira sejak tadi. "Gaada, kenapa tadi?" Nadira berusaha mengalihkan pembicaraan, agar Maura tidak curiga. "Balik sekolah ada kegiatan?" "Ada, aku ada jadwal latihan karate hari ini. Kenapa?" Sambil sesekali pandangannya melihat ke koridor, dan tatapan mereka masih tetap bertemu. Laki-laki itu belum melepaskan pandangannya. "Gue balik duluan gapapa?" Nadira menoleh ke arah Maura, "Lho, emang ga mau masuk Klub Sains?" Setiap hari, mereka akan selalu pulang bersama. "Jadi kok, baru besok mulai agi katanya." "Kamu gamau tahan dulu aja di Basket?" Tanya Nadira, "Engga, berasa latian sama patung gue. Mangkanya hari ini gue balik duluan, takut ketemu terus ditegur." Jelas Maura. "Latian sama patung?" Kening Nadira mengerut, menunggu jawaban nyata dari Maura. "Harus banget ya lo tau info dari gue terus? Perbarui mangkannya ih." Nadira memutar bola memutar, "Niat ngasih tau engga?" "Nih ya, anak Basket tuh yang cowo-cowo rata-rata pendiem semua gila. Kaya es batu, ditanya cuma ngangguk atau engga geleng-geleng. Terus cewe nya ya gitu, emang si semua asik dan ramah." Setelah berbicara cukup banyak, baru lah suapan terakhir yang Nadira nantikan masuk ke dalam mulut Maura. "Mungkin kamu aja kali belum deket sama mereka. Terus, kenapa keluar? Kan kamu tim putri. Ga ada urusan nya sama sikap cowo-cowo itu." "Iya gue tim putri, tapi rata-rata anak Basket itu cantik, sempurna lah inti nya. Mereka tuh pada kenal sama tim putra jadi ga canggung. Beda sama gue, mungkin fisik jadi penentu popularitas juga ya. Sama merasa percaya diri." Maura menghela nafas, "Apalagi kalau harus berurusan sama Ka Daffa, Ka Irham, ah menyerah gue." Tingkah Maura yang mirip dengan artis-artis di ftv, sangat dramatis. Dengan tangan-nya yang menujuk sana-sini, lirikan mata nya, menandakan apa yang dikatakannya, belum lagi suaranya yang tidak pernah bisa pelan. "Kenapa lagi?" "Dingin nya ngalahin es batu dong, sekali diajak ngomong gue ga bisa apa-apa. Langsung leleh gitu, abis ganteng." Maura sangat ekspresif jika bercerita, "Lo tau Ka Ale?" "..." "Ka Ale, anak baru itu masa gatau sih." "Anak baru kan? Aku ga hafal." Jawabnya pasrah. "Iya lah, anak lama aja lo mah ga hafal." Kesal Maura, "Ka Ale itu anak baru, tapi penggemar nya udah ngalahin ka Irham. Jago banget, dia baru masuk langsung direkomendasiin jadi Kapten. Karna jago banget main nya." "Kapten?" Nadira tidak memiliki sesuatu yang berkaitan dengan kapten. "Iya, kenapa? Jangan bilang lo udah kenal duluan sama Kapten Basket?" Tanya Maura curiga. Nadira menggeleng cepat. "Ya bagus dong, alasan kamu di Basket makin kuat. Kamu kan para pencari Cogan." "Gue baper sendiri liat nya, jadi cape hati." Maura menampilkan mengungkapkan menyerah di depan Nadira, dia sendiri hanya tertawa kecil melihat nya sampai tidak sadar sepasang mata masih memperhatikan nya. Suara bel mengusaikan perbincangan mereka, sekaligus menandakan waktu istirahat sudah selesai. "Udah, ayo ke kelas." Ajak Nadira. "Iya." Maura bangun dari tempat duduknya, lalu berjalan lebih dulu. Sementara Nadira, sebelum berjalan mata nya tertuju pada koridor di mana tatapan itu bertemu. "Yahh." Sepi, di sana sudah tidak ada siapa-siapa. "Lah, ngapain diem disitu? Ayo buruan." Maura meneriaki Nadira yang masih saja diam di meja makan tadi. "Iya." Nadira langsung berjalan menghampiri Maura. * "Latihan hari ini selesai, kita ketemu di hari Sabtu. Osh!" Suara Sensei Hardian mengusaikan latihan karate hari ini. Nadira mengecek ponselnya, ternyata sudah pukul 5 lewat bahkan hampir pukul 6. Niatnya untuk pulang cepat setelah ganti baju terhalang, pelatihnya menghampiri Nadira.  "Ada apa, Sensei?" "Kamu siap turun kejuaraan lagi?" Tanya Hardian. "Kapan, Sensei?" "Bulan depan, jadi mulai sabtu kamu latihan lebih ekstra dari yang lain. Sensei juga mengikutkan 3 orang lagi selain kamu, mereka masih butuh latihan lebih intensif. Mangkannya baru kamu yang sudah pasti." Nadira tidak ingin berlama-lama di sekolah, setelah latihan usai tadi anak Basket sudah lebih dulu siap-siap pulang. Sudah pasti, jika hanya dia dan Hardian yang masih di sekolah. "Iya sensei, nanti aku bilang ke Papa." "Yasudah, kamu boleh pulang." Nadira tersenyum lebar, "Oke, aku duluan ya sensei." Hardian hanya mengangguk dan mengatakan hati-hati kepada Nadira. Namun, saat dia keluar dari ruangan dia baru ingat jika seragam olahraga nya tertinggal di lokernya. Jika tidak dia bawa, bagaimana nanti kalau Mama mau bawa. Sebelum lebih jauh, Nadira memutuskan kembali ke lokernya. "Nadira? Belum pulang?" Itu suara Hardian yang sudah menuju ke arah gerbang. "Ada yang ketinggalan, Sensei." "Hati-hati, sensei duluan." "Iya." Nadira setengah berteriak sambil berlari. Dia yakin setelah mengambil baju itu, pasti di sekolah tinggal dia seorang diri. Nadira berjalan melewati lorong yang langsung tembus ke lapangan Basket, dia melewati jalan itu karna lebih hemat untuk ke gerbang utama. Nadira bisa mendengar, ada suara pantulan Bola sekali bahkan dua kali. Lalu, menghilang begitu saja. Perlahan Nadira berjalan pelan-pelan melewati lapangan basket, dia tahu ada orang di sana. Tapi, sedang apa sudah jam segini masih di sekolah memainkan bola. Nadira berjalan agak kikuk, dua tas di tangan nya cukup berhasil kewalahan. Dia bisa bernafas lega setelah melewati lapangan basket, Nadira bisa melihat satu laki-laki di sana yang masih duduk di depan ring basket. Sebelum Nadira naik angkutan umum, dia mengecek isi tasnya. Seperti biasa Nadira menerima uang lebih dulu sebelum naik, namun yang dia cari tidak ada. Dompet Nadira, entah ada dimana. Yang jelas Nadira sudah merogoh tasnya, malah tas kedua nya belum selesai nihil. Lalu bagaimana untuk pulang jika uang saja tidak ada. "Dompet aku-" Antusiasnya berhenti kompilasi melihat sosok yang memberi dompet itu. "Makasih ka." Jawab sedikit lambat. Orang itu masih di sampingnya, dengan menaiki Ninja berwarna hitam. Spensa memang memperbolehkan membawa kendaraan untuk kelas 3-nya. "Ka, maaf aku ga punya uang banyak buat bayar kaka karna cari dompetku." Nadira berpikir keras, "Aku kasih tahu ke Mama, kaka kelas 3 kan?" Nadira mengira orang itu meminta upah, karna masih berdiam di tempat sedari tadi. Dia hanya menatap datar, "Gue ga minta duit lo." Aduh, pedas sekali mulutnya. "Naik." Perintahnya. "Hah?" "Ini hampir malam, lo mau jadi korban Larasati selanjutnya?" Nadira tidak tahu siapa Larasati, dia hanya bergidik ngeri karna mendengar kata 'korban'. Itu sudah pasti perlu nyawa atau hal yang merugikan. "Tapi, rumah ku jauh ka." "Gue ga nanya, cepet naik." Seolah terima kasih adalah hipnotis untuk Nadira, dia langsung ikut naik di belakang orang itu. Dilihat dari baju Basket yang digunakan, bukan berasal dari Spensa. Melainkan sekolah yang lain untuk Nadira, di sana tertulis nama ALE. Sebelumnya Nadira seperti pernah bertemu dengan nya. Entah di mana Nadira tidak ingat,  seperti nya orang ini adalah siswa baru. Setelah sampai di depan rumahnya, Nadira melihat orang itu hanya mengangguk sebagai tanda pamit. "Makasih Ka-" Ucap nya gugup. Laki-laki melepas helm wajah penuhnya, yang sedari tadi membuat Nadira bingung. "Ale." Hah? Ale? Nadira bertanya sendiri dalam batinnya. "Oh iya, makasih ya Ka Ale." Nadira tersenyum dengan sikapnya yang tak kalah gugup. Entah apa yang membuat sudut bibir tertarik, Ale menampilkan senyum tipisnya. Senyum yang ia berikan hanya pada temannya, itu pun teman se geng nya. "OH TUHAN!" Batin Nadira. "Gue pamit." Nadira mengangguk cepat, "Hati-hati ya, Ka." Motor itu langsung melaju dengan cepat, pergi angin yang terasa saat Ia pergi meninggalkan tempat itu. Aroma parfumnya sangat jelas tercium, aroma yang lembut sekali. Benar kata Maura, Ka Ale lebih banyak kali lipat dari Ka Irham. "Ssttt, kok aku jadi sebelas dua belas si sama maura." Nadira berusaha menyadarkan diri sendiri. Tapi tetap saja tidak bisa bohong, senyumnya tercetak manis di wajah semenjak kepergian kaka kelasnya itu. "Aku pulang." Rumahnya sepi, tidak ada yang menjawab. Mungkin memang orang tua belum pulang, ia baru ingat kalau jam baru memilih pukul tujuh malam. Nadira sudah cukup paham kali ini, jika jam belum menujukkan pukul 9 malam itu berarti Helma dan Adnan masih sibuk dengan pekerjaannya. Terkadang Nadira ingin beregois dengan orang tua nya, tapi mau dikata juga. Dia tetap harus lebih memperhatikan kedua orang tua nya. Nadira menghela napasnya lagi, melihat isi kamarnya yang sudah rapih. Bukan Helma yang melakukan nya, tetapi pembantu di rumah nya. Setelah kepindahannya ke Surabaya, Helma jarang sekali mengunjungi kamar Nadira. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD