BAB 2

2350 Words
Sesuai yang dikatakan Toshio, Mai dan Rie mendapat akses yang mudah begitu menunjukan kartu identitas palsu mereka pada penjaga pintu ruangan di lantai 6 yang dijadikan tempat pesta. Mai berjalan dengan anggun ke dalam ruangan, berbeda dengan Rie yang tampak malu dan tak percaya diri. Dia terus menyilangkan tangan di depan perutnya yang terbuka hingga pusarnya terekspos jelas.  Pakaian yang mereka kenakan sangat seksi dan terbuka. Mempertontonkan bahu telanjang dan belahan d**a. Begitu pun bagian punggung dan perut yang terekspos jelas membuat mereka terlihat seperti hanya mengenakan dalaman. Rok span hitam ketat 10 cm di atas lutut menambah kesempurnaan tampilan mereka yang akan membuat para p****************g menatap lapar.  “Kau pasti bisa, kita sudah latihan dulu tadi sebelum datang ke sini. Dan berhenti menutupi tubuhmu,” bisik Mai pelan di telinga Rie sembari menjauhkan kedua tangan gadis itu yang terus menutupi bagian perutnya. Rie hanya bisa menurut saat Mai menarik tangannya dan membawanya ke tengah ruangan karena musik mulai mengalun dan mereka harus mulai menari agar tak ada yang mencurigai mereka sebagai penari gadungan.  Mai dengan lincah meliuk-liukan tubuh, terlihat begitu ahli dalam gerakan tarinya. Meski tampak kaku dan gugup, Rie cukup mampu mengimbangi gerakan Mai.  Sesuai harapan, tarian mereka berhasil menarik atensi para pria konglomerat karena tatapan mereka tak berpaling sedikit pun dari Mai dan Rie. Suara siulan dan teriakan menggoda terdengar bersahut-sahutan. Jika Mai terlihat puas, lain halnya dengan Rie yang malu bukan main. Jika tidak ingat dengan tugasnya, mungkin dia akan mengambil langkah seribu detik ini juga untuk melarikan diri.  Lima belas menit menari, musik yang mengalun pun terhenti, sama halnya dengan Rie dan Mai yang ikut menghentikan gerakan tari. Saat suara tepuk tangan itu bergemuruh, dengan perlahan tanpa menimbulkan kecurigaan, Mai merapat pada Rie yang berdiri tak jauh darinya.  “Itu dia target kita ada di mini room.” “Aku tahu,” jawab Rie. “Kita hampiri dia.” Mai mengangguk tanpa kata, karena dia pun tak ingin membuang-buang waktu, tugas ini harus berhasil dan segera diselesaikan.  Kedua gadis itu pun berjalan menghampiri mini room, dimana sang target, Masamune Sinyo sedang duduk santai bersama beberapa pria yang jika dilihat dari penampilan mereka sudah tertebak mereka orang-orang berdompet tebal.  Mai menghampiri salah seorang pelayan yang tanpa sengaja dilihatnya sedang berjalan menuju mini room sembari memegang nampan berisi beberapa botol wine. “Biar aku yang membawanya. Kau ingin mengantarkan ini pada mereka bukan?” tanyanya pada sang pelayan berjenis kelamin pria tersebut.  Sang pelayan meneguk ludah tampak gugup karena tiba-tiba didekati dua gadis cantik berpenampilan luar biasa seksi yang dia ketahui merupakan dua penari yang baru saja menyelesaikan tugasnya.  “Benar. Ini minuman pesanan mereka.” “Biar kami yang antarkan ke sana.” Rie ikut berkomentar dan tanpa permisi merebut nampan di tangan sang pelayan. “Eh, tapi ...” “Sssttt ... tidak masalah. Serahkan pada kami, kau lebih baik menjalankan tugas lain karena masih banyak tamu pesta yang harus kau layani. OK, tampan.” Mendapatkan kedipan mata dan usapan ringan di rahangnya dari Mai, sang pelayan seketika membeku di tempat dan seolah kehilangan kemampuannya untuk berkata-kata, dia tak berkomentar apa pun lagi begitu Rie dan Mai berjalan meninggalkannya.  Rie dan Mai saling berpandangan sebelum mereka dengan tegap berjalan ke dalam mini room.  “Permisi, minuman pesanan tuan-tuan sudah datang,” ucap Mai riang sambil berjalan menghampiri meja. Lalu membantu Rie meletakan botol-botol wine mahal dari nampan ke atas meja.  “Tunggu, bukankah kalian penari tadi? Kenapa kalian yang membawakan pesanan minuman kami?” tanya salah seorang pria yang duduk tepat di samping kanan Masamune Sinyo.  Mai tersenyum genit, “Ini salah satu tugas kami, Tuan. Membantu para pelayan melayani kebutuhan para tamu pesta.” “Ck, ck, padahal wanita cantik seperti kalian lebih terlihat indah saat sedang menari dibandingkan menjadi pelayan seperti ini.” “Tapi menurutku tidak masalah. Bukankah kita beruntung karena dilayani dua gadis cantik? Siapa nama kalian?” tanya seorang pria paruh baya dengan perut buncit. Di sisi kanan dan kirinya diapit oleh wanita-wanita seksi yang terlihat seperti wanita panggilan dari rumah bordil. “Namaku, Anabelle,” jawab Mai, yang seketika mengundang gelak tawa para wanita yang ada di sana. “Anabelle? Seperti nama setan di film horor Anabelle,” ucap salah satu wanita yang duduk di samping pria tadi sebagai bentuk ejekan. Mai berpura-pura tertawa, “Ya, sepopuler itulah nama panggungku. Aku tersanjung karena kau mengetahui film populer itu.” “Nama itu cantik menurutku, cocok untukmu.” “Terima kasih, Tuan. Orang berkelas seperti Tuan memang lebih paham arti sebuah nama,” sahut Mai sembari mengedipkan sebelah mata, pria itu tergelak dalam tawa tampak senang dengan respon Mai yang menyiratkan godaan.  “Dan temanmu, siapa namanya?” Mai menyikut pelan pinggang Rie karena gadis itu sedari tadi hanya diam membisu seolah melupakan tugas penting mereka.  “Namaku, Isabela. Tentu saja seperti halnya Anabelle, nama itu hanya nama panggungku.” Rie mencoba mengulas senyum meski terlihat kaku. Tapi tampaknya sukses menarik minat beberapa pria yang kini tak berkedip menatapnya. “Nama panggung kalian terdengar familiar di telinga tapi cocok karena kalian memiliki wajah yang cantik. Terima kasih untuk minumannya. Keberatan jika kalian bergabung lebih lama bersama kami?”  Bukan hanya Mai yang tercekat, namun Rie tak kalah terkejutnya. Target mereka sendiri yang menawarkan hal tersebut dan mereka berdua begitu bodoh jika menolak.  “Terima kasih, Tuan. Dengan senang hati kami akan menerima tawaran baik Tuan,” sahut Mai yang lebih peka dan berpengalaman dalam menghadapi pria, dibandingkan Rie yang tampak kebingungan merangkai kata-kata untuk memberikan jawaban.  Mereka berdua berniat duduk di kursi kosong yang berada tak jauh dari kursi yang diduduki Sinyo. Sungguh tempat yang strategis untuk mereka menguping pembicaraan orang-orang ini. Namun belum sempat mereka duduk, suara ledakan terdengar disertai guncangan hebat yang membuat lampu hias di langit-langit, bergoyang dengan hebatnya.  Ledakan terdengar bertubi-tubi dan kobaran api di lantai lain hotel mulai menyala-nyala. Asap hitam tebal pun mengepul di udara. Semua orang panik dan berhamburan menyelamatkan diri. Dalam suasana kacau itu, fokus Rie tak lepas sedikit pun dari sosok Sinyo yang menyelinap keluar, berusaha meloloskan diri dari kekacauan ini.  Saat itulah mata jeli Rie menangkap sosok beberapa pria berjas hitam menghampiri Sinyo seolah membantunya mencari jalan keluar. Rie berniat mengikuti, namun kedua matanya membola saat melihat sebuah granat tiba-tiba dijatuhkan salah satu anak buah Sinyo. Granat itu menggelinding ke tengah ruangan pesta dimana semua tamu sedang berhamburan menuju pintu keluar.  Rie panik luar biasa, “Cepat lari. Ada granat!” teriaknya sembari menarik tangan Mai yang berada di sampingnya lalu berlari menuju pintu keluar.  Duaaar!  Ledakan hebat terjadi, membunuh cukup banyak tamu pesta yang belum sempat meninggalkan ruangan pesta. Rie dan Mai ikut merasakan imbas dari ledakan itu. Tubuh mereka terhempas hebat hingga membentur dinding.  “Mai, bahuku. Tulang bahuku sepertinya retak,” ringis Mai sambil memegangi bahunya. Tubuh kedua gadis itu tergores beberapa kaca yang hancur akibat ledakan.  “Kita harus pergi dari sini.” “Bagaimana dengan Sinyo?” “Dia sudah melarikan diri melalui pintu lain. Anak buahnya yang menjatuhkan granat.” “Damn! Apa pria itu mengundang kita bergabung karena sengaja ingin membunuh kita juga?”  Rie mengangkat bahu, dia tahu bukan saatnya untuk berdiskusi dalam situasi genting seperti ini. Suara ledakan dari lantai dasar hotel terus bersahut-sahutan disertai guncangan hebat seolah tangah terjadi gempa bumi.  Rie memapah Mai yang kondisinya lebih memprihatinkan dibanding dirinya, ikut bergabung bersama orang lain yang juga sedang berlarian mencari jalan keluar.  “Kita naik lift saja.” “Bodoh! Menaiki lift dalam kondisi seperti ini sama saja bunuh diri. Lari ke tangga darurat!” teriak Rie begitu tanpa sengaja mendengar beberapa orang berniat menaiki lift.  Mereka menuruti perintah Rie, dengan serempak berlari menuju tangga darurat yang terletak tak jauh lagi dari mereka. Namun tangga darurat itu cukup sempit, hanya bisa dilalui dua orang.  “Mai, kau jalan duluan. Aku yakin Hiro dan yang lain sudah menunggu kita di luar.” Mai menurut tanpa kata, meski sakujur tubuhnya terutama di bagian bahu berdenyut luar biasa sakit, dia berjalan lebih dulu menuruni tangga darurat seperti permintaan Rie.  Rie hendak menyusul pada awalnya, namun urung saat ekor matanya tanpa sengaja menangkap sosok seorang wanita tengah duduk bersandar di lantai dengan kondisi yang cukup mengenaskan. Kepalanya berlumuran darah, terdapat sebuah kaca yang menancap di pelipisnya. Dilihat dari jauh pun, Rie tahu wanita itu masih bernapas.  “Tolong. Tolong aku,” ucap wanita itu lirih dengan suara pelan bagitu melihat Rie berdiri di hadapannya. Rie tak mengatakan apa pun, tapi dengan sigap dia memapah wanita itu menuju tangga darurat.  Saat mereka tiba di pintu masuk menuju tangga darurat, kondisinya cukup sepi karena orang-orang yang tadi berlarian sudah melewati tangga tersebut. Rie sendiri yakin Mai sudah tiba di luar hotel dengan selamat sekarang. Bunyi ledakan tak lagi terdengar, guncangan pun tak lagi terasa. Rie dan wanita itu kini berjalan tertatih-tatih menuruni tangga.  “Aku sudah tidak kuat.” “Kau pasti bisa. Kita akan keluar dari hotel ini sedikit lagi. Jangan menyerah.” Rie menyemangati si wanita yang mulai kehilangan harapan untuk hidup.  Tap ... Tap ... Tap  Suara langkah kaki dari arah atas tangga terdengar begitu jelas di telinga Rie. Awalnya, Rie pikir itu suara langkah kaki sisa tamu pesta yang belum melewati tangga. Namun, dari suara langkah kaki yang seolah sedang berjalan santai alih-alih berlari dengan terburu-buru, Rie menyadari perkiraannya salah besar. Siapa pun orang-orang yang berada di atasnya, pastilah bukan orang biasa. Rie merasakan firasat buruk sekarang.  “Cepat. Lebih cepat jalannya,” desak Rie pada sang wanita yang seiring berjalannya waktu semakin melemah, jalannya pun semakin melambat.  Rie masih berusaha membawa wanita itu keluar dengan selamat. Hingga ...  DOR!  Suara tembakan itu begitu memekakan telinga. Saat merasakan tubuh wanita yang dipapahnya tiba-tiba merosot jatuh, Rie tahu persis kemana peluru itu bersarang. Dan benar saja Si wanita jatuh menelungkup dengan kondisi lubang di bagian punggung.  “Ck, sial! Siapa lagi mereka?” umpat Rie sembari berlari menuruni tangga karena suara langkah kaki di atasnya semakin terdengar mendekat. Rie menebak ada lebih dari dua orang yang sedang mengejarnya.  Langkah Rie seketika terhenti dan kepanikan melandanya begitu mendengar suara langkah kaki lain yang kali ini berasal dari arah bawah.  “Sepertinya aku dikepung.”  Rie menggulirkan mata untuk mencari jalan keluar, dan pilihannya jatuh pada sebuah daun pintu yang berdiri kokoh di samping kirinya. Tanpa ragu Rie membukanya dan berlari menelusuri entah ruangan apa yang akan dia datangi nantinya.  Deretan mobil mewah menjadi satu-satunya pemandangan yang dilihat Rie. Rupanya pintu tadi membawanya ke area parkir. Rie tersenyum lebar, merasa ada kesempatan baginya untuk selamat dari kejaran orang-orang misterius itu.  Naasnya, sebelum sempat Rie mengambil tindakan, suara tembakan bertubi-tubi terdengar dari arah belakang. Peluru demi peluru meluncur cepat dan beberapa menggores kulit mulus Rie yang tak mulus lagi karena penuh dengan luka goresan kaca.  Rie berlari menuju sebuah mobil, dari ekor matanya bisa dia lihat ada empat pria yang mengejarnya dan tiada henti melepaskan tembakan.  Rie melompati depan mobil dan berguling untuk menjadikan mobil mercedes berwarna merah mengkilat itu sebagai tameng. Dengan sigap dia mengambil pistol yang diselipkan di balik roknya. Sambil tetap menyembunyikan tubuh, dia membidik ke depan dan melepaskan beberapa tembakan.  Rie cukup ahli menembak meski tak sehebat Hiro, tapi lima tembakan yang baru saja dia lepaskan berhasil bersarang di perut dan d**a dua pria yang mengejarnya hingga kini hanya menyisakan dua pria yang masih gencar mencarinya.  Tindakan Rie yang melepaskan tembakan tadi rupanya menjadi bumerang bagi gadis itu karena kini tempat persembunyiannya ditemukan oleh salah satu dari dua pria yang tersisa. Melalui kaca spion mobil, Rie melihat pria itu tengah membidik tangki bensin mobil yang Rie jadikan tempat bersembunyi. Rie tahu persis apa yang akan menimpanya jika dia terlambat bergerak.  Rie melompat sampai berguling-guling menjauh dari mobil itu bersamaan dengan peluru yang meluncur cepat ke arah tangki bensin. Dan ...  Boom!  Ledakan hebat terjadi tatkala mobil itu meledak, tubuh Rie terhempas kencang hingga pistol di tangannya, ikut terlempar. Rie tergeletak di lantai dengan kondisi mengenaskan dimana tubuhnya berlumuran darah karena terkena efek ledakan beberapa mobil yang berdekatan dengan mobil tadi.  Salah satu pria bersiul sambil menyampirkan senapan laras panjang miliknya di bahu, “Kelinci manis kita yang ternyata agen polisi yang menyamar menjadi penari ini sudah tidak berkutik. Apa kita langsung bunuh saja dia? Dia cukup cantik,” katanya meminta pendapat pada rekannya yang berdiri cukup jauh darinya setelah tadi melepaskan tembakan pada tangki bensin mobil.  “Bunuh saja dia. Dia sudah berani menyusup dan berniat menyelidiki boss kita,” balas rekannya sembari memberi isyarat dengan melakukan gerakan tangannya sedang mengiris lehernya sendiri. “Sayang sekali, padahal aku ingin bermain-main sebentar dengannya. Tapi kau benar juga, orang yang coba-coba mengusik boss kita memang harus mati.”  Pria itu pikir, Rie sudah tak mampu melakukan perlawanan lagi. Namun dia salah besar karena sebelum sempat dia melepaskan tembakan untuk membunuh Rie, Rie lebih dulu mengambil belati kecil yang dia selipkan di balik kaos kakinya lalu dia melemparkan belati itu yang tepat menancap di kening si pria. Seketika pria itu jatuh tersungkur, senapannya yang tergeletak di lantai, cepat-cepat Rie ambil.  Di depan sana, pria yang tersisa melepaskan tembakannya ke arah Rie dengan membabi buta hingga salah satunya mengenai betis Rie. Rie tak mau kalah hingga perang adu tembakan pun terjadi. Seolah Dewi Fortuna tengah berpihak pada Rie, dua tembakannya tepat mengenai area vital sang lawan yaitu d**a kiri dan kepala sehingga pria itu mati dalam sekejap.  Napas Hie terengah-engah, dia lemas bukan main ditambah betisnya yang sakit luar biasa. “Aku harus pergi dari sini. Aku butuh pertolongan secepatnya,” gumamnya. Dengan menjadikan senapan laras panjang di tangannya sebagai tongkat, Rie berjalan tertatih-tatih meninggalkan area parkiran.  Namun gadis malang itu tak sanggup lagi berjalan setelah dirinya berhasil keluar dari area parkir. Dia duduk sambil bersandar pada tembok, berharap salah satu rekannya di luar sana menemukan keberadaannya karena sungguh dia sudah tak sanggup lagi untuk berdiri apalagi berjalan.  Rie tengah menunduk sembari menatap darah segar yang tiada henti mengalir keluar dari luka tembakan di betisnya hingga sebuah teriakan tiba-tiba mengalihkan atensinya.  Seorang pria asing dengan kemaja hitam lusuh serta compang-camping seolah terbakar api kini berlari melintasi Rie begitu saja. Pria itu tampak ketakutan dan sedang berlari untuk menyelamatkan diri. Namun si pria tiba-tiba menghentikan langkah saat menyadari keberadaan Rie yang duduk tak berdaya sambil bersandar pada tembok.  “Kau baik-baik saja, Nona?”  Dalam pandangan Rie di tengah-tengah kesadarannya yang mulai meredup, pria itu hanyalah orang asing yang baru ditemuinya hari ini. Dan sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, yang Rie rasakan hanyalah pria itu yang tiba-tiba menggendongnya tanpa permisi. Rie tak mampu melawan karena setelah itu semuanya tampak gelap di matanya dan dia tak tahu kemana pria asing itu membawanya pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD