Pertemuan Dengan Saga

1242 Words
Setelah selesai membersihkan diri, Venus pun mulai mengemas makanan berat ke dalam kotak bekal berwarna biru, untuk ia berikan pada seseorang yang hendak ditemuinya. Membawa beberapa camilan manis ke dalam tas, lalu berjalan keluar dari rumah dengan menenteng dua tas berukuran sedang, dan mengunci pintu dari luar. Ia pun memasukkan seluruh barang bawaannya ke dalam mobil sisi penumpang, dan mulai melajukan kendaraan tersebut dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, di tengah keheningan yang menyelimuti, lagi-lagi pikiran Venus melayang pada isi percakapan dalam ruang obrolan antara Aji dengan selingkuhannya. Termasuk alat uji kehamilan yang dia temukan dalam saku jas sang suami. Siapa wanita itu? Apa benar selingkuhannya Mas Aji? Gak, gak mungkin! Palingan itu temannya. Atau jangan-jangan Mas Aji hanya dijadikan kambing hitam oleh Luki seperti beberapa bulan yang lalu? Ah, benar. Luki. Kayanya, sekarang nomor ponsel Mas Aji yang dipakai Luki buat selingkuh. Mas Aji dijadikan kambing hitam lagi biar istri Luki gak curiga. Yang hobby selingkuh, kan, Luki. Mas Aji, sih, gak mungkin begitu. Benar ... Luki. Pasti itu selingkuhannya Luki lagi! Aku yakin! Denial. Ya, Venus kini mulai berada di fase itu ketika pikirannya terus hatinya untuk mempercayai. Bahkan, saat logika tak sejalan muncul pun, ia tetap meyakinkan diri bahwa suaminya bukanlah pria semacam itu. Bagi Venus, Aji adalah lelaki terbaik, yang bahkan jauh lebih baik dari yang dapat dilihat oleh orang-orang. Pria yang begitu lembut, penyayang, dan selalu menghargai istrinya. Tak pernah sekalipun Aji menolak permintaan Venus. Sekalipun permintaan itu aneh-aneh, dia pasti akan memenuhinya. Melihat istrinya menangis saja, Aji akan cepat-cepat meminta maaf walau bukan dia yang melakukan kesalahan. Lantas, apa mungkin pria seperti itu akan berselingkuh? Setidaknya, itulah yang dipikirkan Venus sejak semalam, bahkan sampai detik ini. Karena tidak ingin pikirannya semakin jauh, saat tiba di lampu merah, Venus merogoh ponsel dari dalam tas, hendak menghubungi seseorang. Menunggu beberapa saat, sampai akhirnya panggilan pun terhubung. “Kamu di mana? Aku udah di perempatan, sebentar lagi sampai,” ucap Venus. Seseorang dari seberang telepon sana berdiam diri sejenak, terdengar menarik napas dalam seraya menggeliat. Seperti sedang meregangkan otot-otot yang kaku. “Gue udah lumutan nungguin lu. Lama banget nih emak-emak!” omelnya. Venus seketika merengut mendengar sebutan seperti itu. “Heh! Minta disumpel, ya, tuh mulut! Bisa-bisanya ngatain sahabat sendiri emak-emak!” “Ah, bener juga. Lu, kan, baru punya anak satu, ya. Berarti emak doang, gak emak-emak!” “Minta ditabok sendal nih orang! Bener-bener!” Pria dari seberang telepon sana tertawa lepas, kemudian berkata, “nyetirnya jangan kek siput! Gue udah laper banget ini.” “Gak sarapan emang?” tanya Venus, sepertinya ia benar-benar sedang mencari pengalih perhatian dengan mengajak temannya itu berbicara. “Kagak! Gue kira lu udah sampai di sini, makanya gue buru-buru pergi dari kantor dan lewatin jam breakfast berharga gue,” jawabnya. Venus mendengkus. “Alesan kamu aja itu! Padahal nyatanya, kamu sengaja gak sarapan biar bisa makan makanan gue dan ngirit duit pengeluaran.” “Sialan! Gue lupa kalau lu cenayang!” Sembari memutar stir mobil ke arah kanan, Venus menjawab, “bukan aku yang cenayang! Tapi, pikiran orang kikir kaya kamu itu mudah ditebak!” Pria itu tertawa. “Bukan kikir, Ven. Gue cuma ketagihan masakan lu aja. Kalau semisal kita gak bakalan ketemu, gue pasti udah sarapan di luar kok,” jawabnya dengan jujur setelah berhenti. Venus kembali tersenyum, sedikit terhibur oleh pujian tak langsung yang diberikan oleh sahabatnya itu. “Nah, gitu dong, mengakui. Kan enak dengernya.” “Terpaksa, daripada lu katain kikir,” jawabnya. Venus pun kembali tertawa dengan lepas, hingga sempat melupakan masalahnya barang sejenak. “Asal jangan kikir sama bini, sih, gak masalah.” “Gue gak kikir sama bini, tetep aja bermasalah. Buktinya, gue ditinggal pergi dan jadi duda di usia muda.” “Tapi sekarang udah punya cewek lagi, kan.” “Udah, sih. Cuma ... Ya, gitu ... cewek gue belum mau diajak nikah” Sepanjang perjalanan menuju tempat pertemuan, pria itu pun benar-benar menemani Venus melalui sambungan telepon. Mengobrol dengan santai, membuat lelucon kecil, hingga keduanya tertawa lepas bersamaan. Meskipun saat ini Venus mencoba mengalihkan perhatian dengan percakapan yang ceria, dalam pikirannya masih terus berputar tentang masalah yang sedang menghantui. Sampai-sampai, beberapa kali Venus sempat termenung, dan menghiraukan pertanyaan sahabatnya di seberang telepon sana. Sampai akhirnya, mobil putih itu pun di tempat pertemuan. Venus mengambil lahan parkir di taman belakang SMA yang sudah mereka sepakati untuk memarkirkan mobilnya. Melihat sekeliling barang sejenak, kemudian tersenyum lebar kala pandangannya menangkap sosok sang sahabat tengah melambaikan tangan dengan tingkah yang konyol. “Hei, Bintang Timur! Gue di sini!” teriaknya Venus tersenyum sembari balas melambaikan tangan, lalu berteriak dengan lantang, “heh, Biji-bijian! Jangan Cuma pecicilan doang! Sini! Bantu bawain barang-barang!” Saga, pria yang sudah cukup lama menunggu di sana itu mencebik, sembari tetap berjalan hendak menghampiri Venus. “Lu emang paling gak bisa lihat gue santai dikit!” gerutunya. Venus menyembunyikan kekehannya. “Ini berat loh, Ga. Mana isinya makanan buat sarapan kamu pula!” Karena tidak ingin Venus semakin mengomel tidak jelas, pria berkemeja hitam itu segera mempercepat langkahnya, untuk membantu Venus membawa semua barang bawaan, dan langsung berjalan bersamaan menuju ke taman belakang yang kini sudah terbengkalai. Duduk di salah satu bangku taman yang sudah dibersihkan, dan keduanya mendesah panjang bersamaan. “Mau ngambil napas dulux atau langsung ke inti?” tanya Saga sembari membuka penutup kotak bekal, dan mengambil sepotong kimbab isian daging sapi-sayur buatan Venus. Wanita itu terdiam sejenak, lalu menjawab, “langsung ke inti aja.” Saga mengangguk, mempersilakan. “Jadi, ada masalah apa?” Venus merogoh sesuatu dalam tas kecil yang ada di pangkuannya, dan memperlihatkan benda tersebut pada Saga. “Ini.” Mata pria itu membelalak, sampai-sampai menghentikan kegiatan mengunyahnya karena terkejut. “Lu hamil lagi?” tanyanya. Venus menggeleng dengan tatapan sendu. “Bukan aku.” “Lah, terus?” tanya Saga lagi dengan dahi berkerut dalam. Bukannya menjawab, Venus malah mengambil ponselnya, dan membuka galeri untuk memperlihatkan hasil foto semalam. “Dia.” Dengan rasa penasaran yang tinggi, Saga segera mengambil alih ponsel tersebut dari tangan Venus dan membaca isi pesan dalam foto tersebut. Memperhatikan dengan teliti percakapan itu, hingga kerutan dahi Saga semakin mendalam. Dan satu pertanyaan dalam benaknya tiba-tiba muncul. Kenapa cara pengetikkannya begitu tidak asing? “Jadi, dia pemilik alat tes kehamilan tadi?” tanya Saga meyakinkan. Venus mengangguk. “Ya.” “Terus yang lagi chat-an ini suami lu?” “Iya. Mas Aji sama cewek itu.” “Lu tahu, siapa dia?” Lagi-lagi Venus menggelengkan kepala. “Yang aku tahu, dia seseorang yang sepertinya cukup akrab sama Mas Aji.” Saga menunjukkan layar ponsel. “Ini bukan akrab lagi, Ven. Pembahasan mereka aja udah gak lumrah! Jelas, mereka memang punya hubungan khusus! Gak bisa dipungkirin lagi!” Mendengar itu, Venus seketika menunduk. Tak tahu lagi harus menyangkalnya seperti apa. “Aku bingung, Ga. Antara yakin dan gak yakin.” “Jangan denial, Venus! Semua bukti udah mengarah ke sana. Please, buka mata lu!” “Aku bener-bener gak tahu lagi harus gimana, Ga.” “Lu gak harus membuat keputusan besar sekarang. Tapi tolong, lu juga jangan sampai menutup mata dan telinga dari semua bukti yang lu dapetin saat ini.” “Terus aku harus gimana?” “Pertimbangkan semua opsi dan bicara sama Aji! Lu berhak minta penjelasan sama dia. Ini udah bukan lagi masalah kecil yang bisa diselesaikan di atas kasur! Ini menyangkut nasib rumah tangga lu,” jawab Saga dengan sangat tegas. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD