Ares Of Darkness_2

2410 Words
"Kau tahu hari ini sedang Fashion Week tapi kau mengabaikan sakit perutmu. Karena ulah mu, acaraku hampir gagal!" Meskipun acara fashion week sudah selesai, namun Wilma masih mengeluarkan rasa kesalnya pada Belle, seorang model yang seharusnya memakai gaun yang saat ini dipakai Marry. Wanita yang sudah menyandang gelar desainer terkenal sejak tiga tahun lalu itu memang dikenal tidak bisa berhenti memarahi anggotanya yang melakukan kesalahan, bahkan model terkenal sekali pun pernah mendapat ceramahnya. Setelah merasa mengeluarkan semua kekesalannya, dirinya meninggalkan Belle di ruang Green room. Wilma menemui Pedro-asisten desainernya untuk membawa membantu Marry melepaskan gaunnya. Namun dirinya tidak melihat Marry, Wilma justru melihat Pedro sedang berdiri di depan pintu sembari berkutik dengan ponselnya. "Di mana wanita yang bersamamu?" tanyanya dengan nada tinggi. Pedro langsung menyembunyikan ponselnya dari Wilma. "Tadi Mr. McLaughlin membawanya," jawab Pedro. "Apa?!" Wilma nampak terkejut, sontak dia menatap cemas di sekitarnya, "Di mana mereka?" "Aku tidak tahu." "Oh ya Tuhan, Pedro!! Apa yang kau lakukan, hah? Kau membiarkan Antonio membawanya, kau tidak membantuku dan model lainnya melepaskan pakaian mereka, kau justru bermain dengan ponsel sialanmu itu! vy ne polezno na vsekh!" Wilma mengakhiri umpatannya. Dia menatap kesal pada Pedro. Bukan sekali dirinya merasa kesal pada asistennya tersebut. Tapi entah kenapa dia tidak bisa memecatnya. Wilma mendesah kasar di depan Pedro. "Bantu yang di dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. Aku akan mencari Antonio," perintahnya lalu melenggang pergi. Sepanjang jalan Wilma terus menghubungi Antonio. Dirinya semakin tidak bisa berpikir jernih karena semua masalah yang menimpanya di dalam acara tersebut. Dia yakin Antonio tahu jika wanita itu bukan modelnya, lalu kenapa Antonio membawanya pergi? Antonio McLaughlin yang merupakan rekan bisnis serta temannya itu memang selalu membawa model yang di sewa untuk acara fashion show miliknya. Jika bukan wanita yang bahkan Wilma sendiri tidak tahu namanya, dirinya akan membiarkan Antonio membawanya selagi model tersebut memang ingin menghabiskan waktu dengan temannya, Antonio. Wilma menghentikan langkahnya ketika mendengar dering ponsel dari salah satu kamar hotel di lorong tersebut. Dia menoleh ke arah kamar yang memiliki pintu yang sedikit terbuka. Merasa ragu untuk masuk ke dalam kamar tersebut, Wilma mematikan sambungan teleponnya lalu mencoba menghubungi Antonio kembali. Dan dirinya ikut mendengar nada dering ponsel yang sama dari kamar tersebut. Takut Antonio akan melakukan hal yang lebih jauh sedang wanita yang saat ini berada dengannya di luar tanggung jawab Wilma, dirinya pun melangkah masuk ke dalam kamar tersebut. Ketika di ambang pintu dan sebelah tangan Wilma membuka penuh pintu tersebut, dirinya melihat Antonio dan wanita yang dicarinya berada di dalam ruangan. Wilma memperhatikan keadaan keduanya sejenak. Antonio berdiri tepat di depan wanita bergaun merah itu sedang punggung wanita tersebut menempel pada dinding ruangan. Sebelah tangan Antonio mengungkungi wanita itu seolah menahannya supaya tidak melarikan diri. Antonio menoleh ke arah Wilma membuat keduanya saling memandang sebelum Wilma mengembalikan tatapannya pada wanita di depannya. Wanita bergaun merah tersebut menatap ke arah lain dengan tatapan yang tidak bisa dibaca oleh Wilma. Antonio menurunkan tangannya. Dia berjalan mundur seolah memberi jarak pada Marry. Antonio memasukkan kedua tangannya dan memberi kesempatan pada Wilma untuk mendekat kearahnya dan Marry. Wilma mendekat ke arah Marry. Dia menggandeng tangan Marry membuat wanita tersebut sedikit tersentak karena tidak menyadari kedatangannya. Wilma kembali menatap Marry sekilas. Nampak jelas ada sesuatu yang mengganggu pikiran wanita yang saat ini digandeng olehnya. "Dia bukan seorang model?" suara pelan namun dalam milik Antonio membuat Wilma mengeratkan genggamannya. "Dia memang bukan seorang model. Pedro yang membawanya kemari dan karena Belle mendadak sakit, aku meminta bantuannya untuk ikut di acara tadi," jawab Wilma dan menoleh ke arah Marry. Dirinya sedikit merasa bingung dengan Marry karena sejak pertama kali bertemu dengannya, wanita tersebut tidak mengatakan apapun. "Kami pergi dulu," pamit Wilma dan menarik Marry keluar dari ruangan tersebut. Antonio menatap punggung keduanya. Awalnya dirinya berniat untuk tidak membiarkan Marry pergi. Namun melihat Wilma juga mungkin akan mendapat masalah jika dirinya menahan Marry, Antonio membiarkan mereka pergi. Selang beberapa menit, Antonio ikut meninggalkan ruangan tersebut. Dirinya harus kembali ke kantor untuk menghadiri pertemuan penting dengan kolega bisnisnya. Jika bukan Wilma yang memintanya hadir di acara itu, Antonio lebih memilih menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaannya. Antonio tersenyum tipis, setidaknya dirinya tidak sia-sia menghadiri acara tersebut. Wanita yang sudah bertahun-tahun dia cari kini telah ditemukan. Setelah keluar dari hotel ini, Antonio berjanji pada dirinya sendiri untuk mendapatkan wanita tersebut dan melakukan banyak hal yang sejak lama ingin dilakukannya. ~ "Siapa kau?" Marry bertanya pelan dengan tatapan mencoba mengenali sosok pria asing di depannya. Kening Marry berkerut saat pandangannya menangkap senyuman pria itu. Kedua kakinya bergerak mundur ketika dirasa pria itu mendekat ke arahnya dengan raut wajah yang menyeramkan. Marry tersentak saat menyadari tubuhnya sudah bersandar pada dinding. Wajahnya sedikit terdongak untuk menatap wajah pria di depannya. "Kau melupakanku," pria itu bergumam pelan membuat Marry semakin tidak mengerti dengan ucapannya. Melupakannya? Benarkah? Marry tidak pernah merasa bertemu dengan pria asing di depannya. Apakah secara tidak sengaja dirinya bertemu dengannya di tengah jalan? Jika memang itu kenyataannya, Marry bisa memaklumi tidak ingat pada pria di depannya. Tapi, pria itu mengatakan bahwa dirinya sangat mengenalnya. "Katakan siapa dirimu," pinta Marry pelan. Pria itu menyeringai. Marry tidak pernah melihat pria manapun yang menatapnya setajam pria di depannya, bahkan menyeringai padanya. Siapa pria itu?! "Bagaimana jika aku mengatakan tentang dirimu saja?" tawar pria itu. "Apa yang ingin kau katakan tentang diriku?" Pria itu diam sejenak membuat Marry ikut diam. Satu menit, dua menit, Marry belum juga mendengar pria di depannya berbicara. Pria itu justru terus menatap kedua matanya seolah ingin mengunci tatapan dirinya. Marry terkejut saat benda lembut itu menempel pada bibirnya. Waktu terasa berhenti detik itu juga. Napasnya terasa berat dan jantungnya berpacu dengan cepat. Kedua mata Marry membulat sempurna. Dirinya berdiri seperti patung ketika merasakan sensasi lain yang baru pertama kali dirasakannya. Katakan dirinya tidak mengerti pergaulan. Katakan dirinya tertinggal jaman dan macam sebagainya karena belum pernah merasakan ciuman sampai usianya menginjak lebih dari 20 tahun. Bahkan bersama seorang pria asing dengan jarak yang begitu dekat adalah yang pertama untuknya. Nyatanya Dale-lah yang melarang dirinya untuk berhubungan dengan pria lain. Dale selalu melarang dirinya untuk bergaul dengan lelaki sehingga Marry hanya mempunyai teman-teman wanita. Dirinya pula tidak dekat dengan teman-temannya karena Dale melarang menghabiskan banyak waktu dengan teman-temannya. Seolah Dale takut dirinya akan terjerumus ke dalam lubang yang sangat dalam hingga sulit untuk digapai, Dale melarang banyak hal. Sehingga Marry sudah terbiasa hidup dengan aturan-aturan dari seorang Dale Fischer, kakak laki-lakinya yang mempunyai usia sebaya dengan pria asing di depannya, setidaknya itu yang ada di dalam pikiran Marry. Marry meremas kedua tangannya. Dirinya ingin menghentikan ciuman pria asing yang sekarang menikmati bibirnya bak singa yang merasa lapar lebih dari setahun. Dia ingin mendorong pria itu menjauh namun kedua tangannya sangat sulit untuk digerakkan. Marry yakin kedua tangannya mampu bergerak bebas, tapi mengapa seluruh tubuhnya terasa sulit untuk menolak ciuman aneh yang sekarang justru menyihir dirinya? Ringisan kecil akibat gigitan pria itu di bibirnya membuat Marry membuka mulutnya. Memberi kesempatan untuk Antonio menelusup masuk ke dalam rongga mulut yang memiliki bibir seksi serta begitu manis untuk Antonio. Marry reflek mendongakkan kepalanya ketika dirasa sebuah lengan besar menangkup wajahnya serta tubuhnya semakin terhimpit oleh tubuh keras, seksi serta kokoh yang terbalut jas rapi di depannya. Kedua mata Marry terpejam saat bulu-bulu halus di rahang pria itu menyapu permukaan pipinya. Tubuhnya seperti di sengat listrik ketika lidah pria itu menyapu permukaan bibir melewati pipi hingga mendekat ke arah telinganya. Marry tidak bisa mengontrol suara desahan yang keluar dari bibirnya ketika pria itu meniup daun telinganya membuat bulu-bulu di tubuhnya meremang, antara sensasi geli dan gairah mengguyurnya dalam waktu bersamaan. "Kau... seorang pelacu*r murah*an," bisik pria itu. Suaranya begitu pelan dan dalam. Namun Marry dapat mendengar nada suara lain dari ucapan tersebut. Seperti nada penuh kebencian dan peringatan untuknya membuat kedua mata Marry terbuka seketika. Marry menatap sepasang mata hitam pekat di depannya. Dia tertegun melihat pria itu justru tersenyum padanya. "Aku... Aku bukan seorang pelac*ur murahan seperti di dalam otakmu," Marry berucap tegas dengan suara bergetar. Dia tidak tahu kenapa suaranya bergetar membuatnya merasa kesal pada dirinya sendiri. "Kau menikmati ciumanku." "Itu karena-" Marry menggantungkan ucapannya. Tidak mungkin dirinya akan mengatakan jika pria di depannya telah mengambil ciuman pertama miliknya, "Aku bukan seorang pela*cur," sambungnya. Marry berniat untuk pergi dari ruangan hotel itu. Namun ketika dirinya baru akan bergerak, lengan pria asing di depannya bergerak cepat. Menghimpitnya kembali di dinding dengan lengan lain mengungkunginya. Marry kembali di buat terkejut oleh tindakan pria itu yang kini menundukkan kepalanya dan mencium* lehernya. Digigit bibir bawahnya untuk menahan suara kotor itu keluar ketika dirasa pria itu menghisap permukaan lehernya kuat-kuat. Beberapa saat kemudian tubuh Marry terasa lemas ketika pria itu menghentikan permainannya. Dia mendengar ponsel milik pria itu berdering namun nampaknya tidak ada keinginan pada dirinya untuk mengangkat telepon tersebut. "Akhirnya aku menemukanmu, pelacurku," bisiknya membuat Marry tercengang. Kenangan yang dialaminya beberapa menit yang lalu terus menggerayangi isi kepalanya. Jemari Marry bergerak cemas mengusap leher serta wajahnya mengingat bagaimana cara pria itu memperlakukan dirinya. Menciumnya seperti dirinya adalah makanan lezat yang dihidangkan di depannya. "Nona, kita sudah sampai." Marry tertegun. Dirinya baru sadar jika saat ini sedang menaiki sebuah taksi menuju apartemen yang menjadi tempat tinggal dirinya dan juga Dale. Setelah membayar biaya taksi, Marry segera keluar dari dalam taksi menuju apartemen gedung apartemen sederhana yang mempunyai setiap ruangan sempit. "Marry!" Pandangan Marry tertuju pada Dale. Kakaknya itu berjalan cepat ke arah Marry dan memeluknya. "Marry, kau ke mana saja? Kau tidak mengatakan padaku akan pergi siang ini," tanya Dale. Dia mengernyit melihat Marry tiba-tiba menjadi pendiam. Bahkan tatapan Marry nampak berbeda dari sebelumnya. "Marry, kau kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Dale khawatir melihat keadaan adiknya. Melihat ada luka pada bibir adiknya, jemari Dale bergerak untuk menyentuh bibir Marry namun langsung di tahan oleh Marry, "Kau terluka. Apa terjadi sesuatu padamu? Bagaimana bibirmu bisa terluka seperti itu?" "A-aku... Aku..." Marry menggelengkan kepalanya. Dia tersenyum tipis pada Dale untuk menghilangkan kekhawatiran yang sempat hinggap di raut wajah kakaknya, "Aku tidak apa-apa. Tadi... aku hanya tergigit saat sedang makan sesuatu di jalan." "Baiklah," Dale ikut tersenyum. Dirinya nampak mempercayai jawaban Marry, "Kau mengatakan padaku untuk cepat pulang. Apa yang sudah kau siapkan untukku di hari ulang tahunku?" Marry menarik napasnya dalam-dalam. Dirinya harus bisa melupakan kejadian beberapa menit yang lalu. Setidaknya ketika di depan Dale supaya kakaknya tidak merasa khawatir padanya. Marry menggandeng lengan Dale memasuki ruang makan yang tidak memiliki banyak ruang. "Aku membuat sup kesukaan Kakak," jawabnya dan menarik kursi untuk Dale. "Wah... Ini sebuah kejutan, Marry," Dale nampak bersemangat. Dia mengecup pipi Marry membuat tubuh Marry kembali menegang mengingat ciuman pria asing itu. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali untuk kembali menghilangkan ingatan itu dan membalas senyuman kakaknya. Dale duduk di kursi itu sedangkan Marry duduk di depannya. Dia mulai menyiapkan makanan buatannya untuk dinikmati kakaknya. Hidup bersama Dale membuat Marry merasa senang meskipun Dale memberikan banyak larangan padanya. Dirinya memang bukan adik kandung Dale karena keduanya besar di panti asuhan yang sama. Dale selalu menjaganya sejak kecil dan menyayanginya seperti keluarganya membuat Marry pun melakukan hal yang sama pada Dale. "Ini enak sekali," puji Dale ketika menyantap sup labu buatan Marry. Kehidupan yang serba kekurangan membuat keduanya sangat jarang menikmati makanan meskipun hanya semangkuk sup labu. Bahkan makanan itu begitu mudah di dapatkan namun tidak untuk Dale dan Marry. Dale bekerja sebagai buruh di proyek bangunan karena tidak bersekolah. Dirinya membiarkan Marry yang menempuh sekolah hingga Marry berhasil mendapat gelar sarjana dengan bantuan beasiswa hanya dalam kurun waktu dua tahun. "Aku punya kejutan lain," ucap Marry. "Apa itu?" Dale menaikkan alisnya. Dia melihat Marry tersenyum senang dan bangkit berdiri. Dirinya menatap Marry yang dibalut dengan gaun merah sederhana yang dibelikannya sejak tiga tahun yang lalu ketika Marry berhasil di terima di salah satu universitas terbaik. "Ini," Marry memberikan selembar kertas pada Dale. Dia kembali duduk di depan kakaknya. "Marry, kau meledekku? Kau tahu kalau aku tidak pandai membaca. Kenapa kau memberiku kertas dengan tulisan-tulisan yang tidak bisa aku baca?" Marry tertawa pelan melihat ekspresi kesal di wajah kakaknya. "Ada sebuah perusahaan besar yang membuka lowongan pekerjaan. Aku akan mendaftar di sana. Aku yakin dengan hasil belajarku di universitas, aku bisa masuk ke perusahaan itu dengan mudah. Lihat itu," Marry menunjukkan sebuah kalimat yang terlihat tabu untuk Dale, "Perusahaan ini memiliki kualifikasi yang sesuai dengan diriku, Kak. Mulai besok aku akan bersiap-siap untuk melamar pekerjaan di sini. Besok adalah hari terakhir pendaftaran dan untuk tes interview dan lainnya akan dilakukan sekitar satu minggu. Itu, lihat tanggalnya Kak. Sekarang sudah tanggal 12, besok adalah hari terakhir." "Tapi, Marry... Kau tidak perlu terburu-buru bekerja. Aku masih bisa bekerja untuk kehidupan kita berdua. Pekerjaanku masih cukup untuk membayar sewa apartemen ini." "Kakak," Marry menggenggam tangan Dale. Dia menarik kedua ujung bibirnya. Dirinya tersenyum dan berusaha untuk meyakinkan Dale, "Kakak tidak perlu khawatir. Letak gedung perusahaan itu tidak jauh dari apartemen kita. Kakak tahu persimpangan jalan di depan bukan? Nah... hanya perlu belok ke kiri dan sekitar seratus meter dari persimpangan jalan di depan. Di sana letak gedung perusahaan tersebut. Lagipula Kak, perusahaan itu adalah perusahaan besar. Aku mendengar pemiliknya juga tidak akan tanggung-tanggung memberi gaji pada karyawan yang berprestasi." "Kau mendapat brosur ini dari mana?" "Bibi Adore yang memberikannya saat aku ke pasar tadi pagi," jawab Marry dengan antusias. "Pemiliknya Mr. McLaughlin, Kak. Bukankah orang itu juga pemilik dari gedung yang saat ini sedang menjadi proyek Kakak?" "Mr. McLaughlin?" Marry mengangguk lagi, "Iya. Kakak pernah melihatnya?" "Iya, Kakak pernah melihatnya sekali saat dia mengunjungi proyeknya minggu lalu." "Itu bagus bukan?" Marry tertawa senang, "Kalau begitu Kakak tidak perlu khawatir lagi. Aku yakin aku pasti akan di terima di perusahaan itu. Dan akan lebih bagusnya lagi jika aku menjadi salah satu karyawan yang berprestasi di sana. Kakak tahu kan kalau aku ingin mengajak Kakak pergi jalan-jalan ke Perancis?" Akhirnya Dale hanya bisa mengangguk membuat Marry merasa senang. Mungkin benar ucapan adiknya jika sekarang sudah bukan saatnya untuk dirinya merasa khawatir pada Marry. Dale menatap adiknya lekat-lekat. Marry tidak bisa berhenti tersenyum. Wanita itu mulai menyantap sup buatannya dan tanpa sadar tangannya bergerak menyibak rambut yang menutupi lehernya.  Dale terkejut melihat bekas kemerahan di leher adiknya. Bahkan bekas merah itu sedikit terlihat membiru kelam seperti bekas hisapan yang kuat. Sontak ketika pikiran buruk menyerangnya, mengingat pada bekas luka di bibir Marry dan juga bekas merah kebiruan di leher Marry membuat sendok di tangannya terlepas begitu saja menimbulkan suara dentingan. "Ada apa Kak?" tanya Marry bingung melihat ekspresi wajah Dale. "Lehermu... Lehermu merah seperti bekas ciumann. Apa yang terjadi denganmu?" Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD