Lima

1064 Words
Jangan lupa tekan tombol love yang dibawah ya... Hari kedua di mana gadis itu telah tinggal satu malam bersama dengan Devan dan penghuni rumah besar yang lain. Devan, selaku tuan besar di rumah itu yang sedang turun menuju ruang makan dan bertemu dengan para pelayannya yang tengah menyiapkan sarapan seperti biasa kepadanya. Namun, kali ini pelayannya akan bertambah satu orang lagi. Dan tidak sulit bagi Devan untuk mengurus gadis kampung itu dengan bantuan Laura. Mengingat juga dia tidak perlu membayar mahal untuk gadis bodoh itu. Tetapi, bagaimanapun juga mengenai pendidikan Alya, pria itu masih sangat peduli bahkan dia sudah memerintahkan beberapa anak buahnya mencari kampus yang bagus untuk Alya nantinya. Sambil menuruni anak tangga dan mengikat dasinya dengan benar, dia mengedarkan pandangannya, dari atas sana terlihat beberapa pelayan berlalu lalang menuju meja makan dan langsung menaruh beberapa makanan di sana. tidak ada sosok Alya yang terlihat di sana. dan itu membuat Devan mengangkat alisnya. Ke mana gadis kampung itu? Pikiran Devan pun mengarah kepada kaburnya Alya dari rumahnya. "Bibi Zu? Gadis kampung itu mana?" Bibi Zu meletakkan piring dan langsung menghampiri Devan yang baru saja tiba di ruang makan. "Kenapa nggak ke kamarnya saja untuk mastiin?" "Kenapa harus aku?" "Karena yang bawa dia kemari itu Tuan sendiri. Bukan kami, jadi itu adalah tanggung jawab Tuan untuk manggil dia ke kamar," Meskipun dengan perasaan dongkol. Devan tetap menurut kepada Bibi Zu, barangkali dari banyaknya penghuni rumah itu. Hanya Bibi Zu yang mampu menyuruh Devan untuk melakukan sesuatu, karena pria itu sudah menganggap Bibi Zu seperti ibunya sendiri. Perlahan, dia menaiki anak tangga kembali lagi ke kamar yang ada di sebelah kamarnya. Tempat yang dihuni oleh gadis kampungan itu. Beberapa kali Devan mengetuk pintu, akan tetapi tidak ada sahutan maupun terdengar suara kunci di buka oleh gadis itu. Maka, Devan mencoba membuka pintu kamar itu yang ternyata tidak di kunci oleh pemiliknya. Dia masuk begitu saja dan mengedarkan pandangannya. Tidak menemukan ada Alya di dalam kamar. Satu hal yang dipikirkan oleh Devan. Yaitu Alya kabur dari rumahnya. Dia tidak menemukan ada Alya di atas ranjang. Bahkan kamarnya pun tidak di kunci tadi. Dan itu benar-benar mengarah kepada kaburnya Alya dari rumah Devan. Dengan geram, Devan langsung keluar dan membanting pintu begitu saja. "Bibi, Alya ke mana?" Laura yang baru saja keluar dari kamarnya langsung menghampiri Devan. "Ada apa? Kenapa emosi pagi-pagi begini sih?" "Laura, Alya mana?" "Lah, dia di kamarnya, kan?" "Dia nggak ada," geram dengan pernyataan Laura yang sepertinya juga tidak tahu mengenai keberadaan Alya yang tidak ada di kamarnya. Devan langsung kembali lagi ke kamar untuk mengecek jendela, barangkali Alya kabur melalui jendela kamar. Bagaimanapun juga, Devan tetap tidak terima jika Alya kabur dari rumah itu. Karena hal itu sangat merugikan dirinya. Dia telah mengklaim bahwa hutang-hutang orang tua Alya akan lunas dengan cara menjadikan Alya sebagai pelayan di sana. Baru saja ia melangkahkan dirinya ke jendela yang masih tertutup rapat. Kaki Devan tersandung sesuatu hingga membuat dirinya hampir terjatuh dan itu adalah kaki Alya, gadis kampung itu tidur di lantai dengan cara melilitkan tubuhnya dengan selimut kemudian tidur di bawah ranjang. "Kamu apa-apaan di sini?" Devan menarik Alya agar keluar dari tempat itu. Baru saja Devan menarik gadis itu, dia terkejut dengan penampilan acak-acakan Alya, pucat, wajahnya memerah serta menggigil. "Pak, dingin," keluh Alya yang sesekali bersin dan menggosok hidungnya kemudian mengelap ingusnya dengan selimut tersebut. Devan langsung berdiri dari tempat berjongkoknya kemudian menjauh. "Kamu menjijikkan. Kamu jorok banget jadi cewek," "Maaf, saya nggak bisa bantuin Bibi siapin sarapan, haccchiiiih," Melihat beberapa kali Alya bersin, sejahat apa pun Devan. Tetap saja dia kasihan melihat Alya yang bersin-bersin. Ditambah lagi dengan pipinya yang memerah serta hidungnya benar-benar memerah karena flu. "Saya telponin dokter, kamu istirahat aja. Biar saya bilang sama Bibi Zu juga nanti kalau kamu nggak usah kerja dulu, kenapa kamu tidur di bawah?" "Ruangannya dingin," Devan pun akhirnya sadar dan langsung mengambil remote yang ada di dekat televisi kemudian mematikan AC itu, dia tidak pernah menyetel AC-nya sendiri sampai sedingin itu. "Siapa yang turunin suhu kamar kamu?" "Kak Laura," Dengan sikapnya seperti biasa yaitu acuh, Devan pun memencet tombol panggil untuk menelepon salah satu dokter yang sudah lama berlangganan dengannya. Dia akan meminta kepada dokter tersebut untuk memberikan obat kepdaa Alya. "Kamu tunggu, bentar lagi dokter sampai," Devan berdiri di samping ranjang, sementara Alya masih duduk dilantai sambil menutupi kepala dan juga tubuhnya dengan selimut tebal. "Pak, saya takut disuntik," "Siapa juga yang mau nyuntik kamu. Kalau saya, baru bakalan nyuntik kamu nanti," ucapan ketus itu bahkan tidak bisa disaring oleh Devan sendiri. Dia pun sempat membantu Alya bangun dari tempat duduknya karena ia kasihan melihat gadis kampungan itu sedang duduk tergeletak di lantai. Bagaimanapun dia akan menjajah nantinya, tetap saja Devan memiliki hati nurani jika Alya sakit seperti ini. Dia tidak bisa membiarkan siapapun dalam keadaan kurang sehat. Alya berpegangan kemudian merasakan bahwa suhu tubuh Alya benar-benar panas dan dia melepaskan selimut itu. Devan jatuh ke atas ranjang saat dia membantu Alya bangun. Posisinya Alya di atas tubuhnya. Kemudian Alya terdiam sambil memandanginya, gadis itu tersenyum akan tetapi bukannya hanya memandangi makhluk Tuhan yang dirasa sempurna itu, justru "Haaaaaaachiiiiih," Alya bersin tepat mengenai wajahnya. Perasaan Devan benar-benar kesal karena dibersinin oleh Alya. Dia menggertakan rahangnya dan langsung menyingkirkan Alya dari atas tubuhnya. "Jorok," Devan langsung mengunci tubuh Alya tepat dibawahnya. "Kamu jangan pernah mau main-main sama saya seperti ini. Kamu pikir saya nggak bisa berlaku kasar sama kamu? Hanya karena saya telponin dokter, bukan berarti kamu bebas berlaku seenaknya saat saya bantuin," "Upps," Laura yang baru saja masuk tanpa permisi membuat Devan langsung menyingkir dari atas tubuh Alya dan membersihkan wajahnya dengan tisu yang ada di sana. "Maaf pak," "Laura, lain kali kalau kamu mau setel suhu, jangan sampai keterlaluan seperti itu. Gadis kampung ini demam," Laura menunduk karena merasa bersalah. Dia lupa menaikkan suhu itu kembali dan ketika di kamar, justru dia menganggap bahwa Alya bisa melakukan itu. Akan tetapi pagi itu, dia harus menerima omelan dari Devan sepagi itu. "Maaf, Pak," Devan mengibaskan tangannya di udara. "Sudahlah, kamu urus saja dia. Jangan sampai dia tidak minum obat, kalau dia bandel. Bilang sama saya, biar saya suruh dokter suntik dia," Mata Alya langsung melotot mendengar itu. Akan tetapi dia merasa sangat di hargai meskipun dibawa paksa oleh Devan bahkan mengatakan akan menjadikan dirinya sebagai pelayan. Tetapi, Alya sangat senang karena masih ada orang yang peduli mengenai keadaannya yang kurang sehat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD