EMPAT

1204 Words
Difollow dulu ya. tekan tombol lovenya Memiliki orang baru di dalam hidupnya. Kali ini dia tidak akan kesepian lagi di setiap harinya. Hari-hari di mana dia sarapan pagi harinya, makan malam sendirian pula. Bagi seorang Devan, memiliki keluarga adalah harapan terbesarnya. Akan tetapi masa kecilnya yang pernah begitu menyedihkan tidak membuatnya merasakan kebahagiaan seperti orang lain. Sifat di mana dia menjadi seorang pria galak di suatu waktu. Itu bukan karena dia benar-benar galak. Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat Devan hingga dia harus berlaku demikian. Dia hanya bisa memandangi foto papanya yang ada di ruang kerjanya. Sebab dia tidak ingin jika ada orang lain yang tahu mengenai foto papanya kecuali Bibi Zu. Perempuan paruh baya itu sudah seperti mama baginya. Karena sejak kecil, hanya Bibi Zu yang merawatnya. Keberadaan mamanya dia tidak tahu hingga saat ini. Devan terus memandangi foto itu, kepergian papanya yang sudah lebih dari 22 tahun lebih. Kerinduan sosok ayah sudah sangat lama sekali tidak dia rasakan. "Minum dulu kopinya!" ujar Bibi Zu kemudian mengelus punggungnya. Bahkan Devan sendiri tidak sadar kapan Bibi Zu datang kepadanya. Dia menganggukkan kepalanya saat perempuan paruh baya itu datang menenangkannya. "Berdoa saja semoga Papa tenang di sana," Suatu hal yang membuat Devan cemburu kepada teman-temannya. Adalah ketika semua temannya dulu diwakili oleh kedua orang tua saat mengambil rapor. "Bi, apa perempuan yang disebut Mama itu pantas dimaafkan?" "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Karena dia adalah perempuan yang menelantarkan kami berdua dulu," Bibi Zu menatapi pria yang sudah dirawatnya selama dua puluh tahun lebih. Akan tetapi dia pernah sekalipun memberontak mengenai keberadaan mamanya yang entah di mana. Bahkan Bibi Zu menganggap Devan seperti putranya sendiri. Devan tidak mengalihkan sedikitpun pandangannya dari foto almarhum papanya yang sudah meninggalkannya itu. Setelah papanya pergi, Bibi Zu adalah satu-satunya orang yang bersama dengan dirinya selama ini. Meskipun Devan tidak ingin jika Bibi Zu bekerja sebagai pelayannya, karena bagaimanapun juga perempuan tua itu adalah perempuan yang paling disayanginya. Rasa sakitnya, tidak ada orang yang tahu. Sifat dinginnya kadang tidak disukai oleh beberapa orang, tetapi ada penyebabnya hingga dia menjadi seperti itu. Sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya sekadar pergi bersama dengan keluarga yang lengkap. Dia merasa bahwa hidup ini tidaklah adil. Tapi suatu keberuntungan dirinya adalah, sebelum papanya pergi. Papanya telah mewariskan semua harta kekayaan serta beberapa perusahaan yang dikelola langsung oleh suami Bibi Zu dan beberapa persen Devan berikan untuk suami Bibi Zu karena kebaikan hatinya yang tidak mengusir Devan dan membuang Devan setelah dipercaya mengelola semua asset milik papa Devan dulu. "Bibi, apa tidak ada keinginan untuk menikmati masa tua Bibi sama Paman?" Devan yang berkata demikian tetapi tidak mengalihkan pandangannya. Dia tahu bahwa selama ini waktu yang dihabiskan oleh Bibi Zu hanyalah untuk merawatnya. Laura, perempuan yang bernasib sama juga seperti Devan. Semua pendidikan Laura ditanggung oleh dirinya saat Paman memilih untuk pensiun. Bibi Zu tidak menanggapi, tetapi dia paham bagaimana perasaan anak yang sudah begitu baik dia didik. Bahkan dulu, saat hidupnya dan suami hanyalah tukang kebun biasa, papa Devan meminta agar suaminya kuliah sambil bekerja di sana. Setelah itu, barulah papa Devan mulai mengajak suaminya masuk ke kantornya. Hal itu tidak akan pernah dilupakan oleh Bibi Zu, karena papa Devan sudah mengubah nasibnya dulu. Papa Devan juga yang mengajak Bibi Zu serta suaminya bekerja di rumah itu saat barang mereka di rampas ketika merantau ke Jakarta. Semua itu tidak bisa dibayar oleh Bibi Zu, dengan semua itu dia dan suaminya bertekad untuk merawat Devan, karena itu juga permintaan terakhir dari Papa Devan sebelum pergi. Sifat keras kepala Devan itu terbentuk karena masa kecilnya yang begitu menyedihkan. Jadi, saat Devan berbuat salah, apalagi sering main perempuan. Bibi Zu tidak bisa memarahi, karena hanya dia dan suaminya yang tahu tentang derita Devan dulu. Tapi, jika ada satu orang saja yang mengusik Laura. Devan adalah pria pertama yang akan menghancurkan bahkan rela menghancurkan tulang pria yang menyakiti hati Laura. Jika berpacaran pun, Laura harus benar-benar mendapatkan izin dari Devan. Dia tahu bahwa dia tidak berhak, akan tetapi perintah Bibi Zu adalah untuk menjaga Laura nantinya. Meski menjadi perempuan yang paling dicintai, Laura tetap saja begitu patuh kepada Devan. Karena waktu itu Laura masih bayi, dan Devan sudah mengklaim bahwa Laura adalah adiknya. Bahkan sampai mereka berdua masuk di sekolah yang sama. Usia mereka memang terpaut tidak jauh. Meski begitu, Devan masih sering menunggu dan satu mobil saat berangkat sekolah maupun pulang. Bibi Zu tahu diri, dia tidak mungkin untuk mengusir bahkan berbuat jahat. Andai Devan jatuh ke dalam pelukan yang salah. Tentu saja dia akan diusir bahkan dijadikan sebagai b***k di sana. semua kekayaan yang ditinggalkan papanya bahkan akan hilang direbut oleh orang itu. Tetapi, satu hal yang mampu membuat Devan begitu menyayangi Bibi Zu. Adalah ketika dia bertanya ke mana Mamanya. Justru Bibi Zu menjawab mama Devan adalah dirinya. Dia sampai di bangku kuliah memanggil Bibi Zu dengan sebutan nama. Akan tetapi beberapa waktu kemudian setelah dirinya kembali dari apartemen. Justru panggilan Mama itu sangat menjijikkan baginya, bahkan untuk siapa pun jua. Dan dari situ, dia memanggil Bibi kepada Bibi Zu, sampai detik ini. Tentang Laura, perempuan itu telah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya saat masih bayi akibat insiden kecelakaan. Bibi Zu sendiri memiliki anak kembar. Anggi dan Lingga. Keduanya sedang menempuh pendidikan di luar negeri karena keinginan Devan untuk membalas semua jasa-jasa Bibi Zu kepadanya sedari dulu. Berbeda halnya dengan Laura yang enggan untuk kuliah di luar negeri. Bahkan Devan membuat salon untuk Laura sambil kuliah. Karena gadis itu sangat senang tentang apa pun yang berbau dengan kecantikan. Berbeda dari jurusan kuliahnya yaitu mengambil jurusan ekonomi Manajemen. Bagaimanapun juga Devan ingin orang sekitarnya hidup jauh lebih baik dari sebelumnya. Dia membantu beberapa orang untuk urusan pendidikan agar orang-orang yang dibantunya kelak menjadi orang yang berguna. "Apa kamu akan perlakukan Alya juga sama seperti kamu memperlakukan Laura?" Devan kemudian melangkah menuju kursi tempat kerjanya. Kemudian dia memutar kursi tersebut dan menghadap kepada Bibi Zu. "Bi, sepertinya gadis itu keras kepala dan tidak mau mengalah. Berbeda halnya dengan Laura. Jadi, seperti yang aku katakan. Dia akan menjadi pelayan," "Pendidikan dia bagaimana?" "Dia akan tetap kuliah Bi. Bahkan akan masuk ke kampus bagus. Setelah dia mendapat didikan dari Laura. Nggak mungkin dong dia bawa noraknya ke kampus terbaik, yang ada ditertawakan. Kita tunggu saja nanti, Laura yang bakalan bantu ini semua kok," "Tujuan kamu bawa Alya tetap untuk muasin nafsu kamu?" Devan menatap ke arah Bibi Zu. Kemudian pria itu menjentikkan jarinya. "Tepat sekali, Bibi," "Bibi nggak setuju," "Sejak kapan Bibi menentang keputusan aku?" "Karena Bibi nggak mau lihat kamu rusak masa depan orang, Devan. Kamu lihat Laura. Kamu lihat Anggi dan Lingga. Mereka bertiga begitu kamu sayangi, apa kamu nggak mikirin perasaan orang tua Alya?" "Kali ini, tolong Bibi jangan ikut campur. Ada hal yang harus aku selesaikan sama gadis itu. Aku nggak bisa terus biarin dia seperti itu, Bi. Dia harus dapat pelajaran. Bibi tahu kalau gadis itu memang kurang ajar dari tadi  kan?" "Tapi, kamu nggak bisa seperti itu, Devan. Bagaimana kalau pacar kamu tahu nanti?" "Harus berapa kali aku perjelas, Bi. Aku memang punya pacar, walaupun dia sering ke sini. Siapa yang mau nikah, Bi? Bibi sendiri tahu kalau aku nggak percaya sama sekali sama perempuan. Kecuali kalian ber-4." Tutupnya pada pembicaraan malam itu.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD